Topic

Senandika

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Andi Gunawan)
Ilustrasi. (Andi Gunawan)

dakwatuna.com – Namamu yang tertulis dalam sajak-sajakku tak berjarak. Ayah, engkau adalah karya Tuhan terindah dalam hidupku. Apakah kau ingat saat engkau menimangku dahulu? Apakah kau ingat saat tangisku dulu mengganggu tidurmu yang lelap, ayah? Apakah kau ingat saat kau mengajarkanku berjalanan? Apakah kau ingat saat kau mengajakku bermain di taman dahulu? Memorabilia itu seakan tidak akan sirna, meski waktu menjemput umurmu yang kian menua, dan aku yang semakin dewasa.

Hiruk pikuk kehidupan membuat kau dan aku semakin sibuk untuk bercanda tawa seperti dahulu. Engkau yang sibuk dengan pekerjaan, dan aku yang sibuk dengan perkuliahan. Memang waktu tidak bisa berputar kembali ke masa saat aku dalam gendongmu. Kebiasaan yang kita lakukan dahulu kian lesap di terjang waktu.

Walau begitu, kau adalah idolaku. Tidak seperti anak-anak  lainnya yang mungkin mengidolakan artis, pemusik atau sejenisnya. Kau rela bekerja keras demi kelangsungan kehidupan keluarga ini. Kau rela disengat terik matahari untuk mencari secercah harapan demi menghidupi keluargamu yang menunggu di rumah.

Hingga hujan pun tak sanggup menghentikan semangatmu, untukku anakmu. Ku ingat nasihatmu sewaktu kududuk di bangku sekolah menengah pertama  “Hidup dapat menjatuhkanmu nak, tapi kamu bisa memilih untuk bangkit atau terus terjatuh”, kata-kata itu tidak pernah hilang di ingatanku sampai saat ini.

Di pagi buta, di saat kuterlelap tidur, engkau sudah bersiap berangkat bekerja dengan penuh harapan. Harapan agar aku dapat menimba ilmu setinggi-tingginya. Hanya doa yang dapat kuberi, untuk keselamatanmu dalam melakukan segala aktifitas. Karena bagiku, di setiap tetesan keringatmu itu merupakan inspirasi bagiku.

Meski tulang-tulangmu telah rapuh, kutau kau masih mempunyai semangat yang tak akan pernah rapuh, walau dimakan oleh rayap-rayap usia. Semangatmu kutuangkan dalam kehidupanku sehari hari seperti pepatah buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Dahulu saat aku SMA, aku pernah mengecewakanmu, kau temui sebungkus rokok dalam tasku. Walau aku sempat mengelak bahwa itu bukan punyaku, apa daya sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh jua. Kau begitu marah dan tidak mengajakku berbicara selama dua hari. Akhirnya kau pun memaafkanku atas dasar kekhilafanku.

Dahulu, kenapa kau ajarkanku berjalan? Kau ajarkanku berjalan agar kutahu, cepat atau lambat aku akan tumbuh menjadi laki-laki yang matang, penuh tanggung jawab, hingga bisa berlari mengejar cita-citamu yang tertanam sejak kecil.

Dahulu, kenapa kau sering mengajakku bermain ke taman? Mungkin kau ingin aku lebih cinta terhadap alam, bahwa aku berada di bumi untuk saling mencinta, bukan saling membenci, aku berada di bumi bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menjaganya.

Dahulu, kenapa kau mengajarkanku bersepeda?  Kau ajarkanku bersepeda agar aku tahu, bahwa kehidupan seperti mengayuh sepeda, agar tetap seimbang, kau harus terus mengayuh sepeda itu. Banyak pelajaran hidup yang kau ajarkan kepadaku tentang kehidupan.

Ayah, keringatmu menjadi inspirasiku, bahwa apa yang kau kerjakan mempunyai nilai yang tidak terhingga. Mungkin sajakku ini tak berarti apa-apa bagimu, karena kasih sayang dan pengorbananmu tidak akan terbayar oleh apapun. Terimakasih Ayah. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa. Lahir di Jakarta sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Agama Islam dan status lajang.

Lihat Juga

Doa Terbaik untuk Ayahanda Harvino, Co-pilot Pesawat Lion Air dan Ayah bagi 10 Anak Yatim

Figure
Organization