Teman Belajar Menghafal Alquran

Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Hujan semalam masih menyisakan jejak, setidaknya pagi ini anak-anak mendapati lapangan sekolah masih tergenang air, asap sudah hilang dari pandangan. Seminggu lalu asap menyebabkan anak libur sekolah. Kini hujan yang dinanti tibalah sudah. Rumput telah bersemi dikanan dan kiri tanggul parit, tak perlu waktu lama juga di depan dan sekeliling sekolah akan menjadi penuh dengan semak belukar lagi, setelah kemarau mereka mati kekeringan, di musim hujan mereka mengamuk memenuhi tiap sisi sekolah.

“Ayo disiapkan Nada”

“Siap berdiri salam” seru Nada

“Assalamualaiakum warohmatullahi wabarokatuuh”

Semua siswa berdoa mengalun tinggi rendah, menyimak mereka berdoa mataku memandang menyisir lantai kelas. Seperti hujan hari sebelumnya, hujan kali ini membuat lantai kelas berlumpur, beberapa anak tidak mengenakan sepatu, memakai sandal. Beberapa malah telanjang kaki. Lumpur jalanan terlalu lekat, belum lagi jarak anak anak ke sekolah dengan jalan kaki jika jalan becek seperti hari ini.  Satu persatu anak anak maju menyalamiku selesai berdoa

“Jangan lupa PR-nya ye..”pesanku tiap menyalami anak anak

“Awas, langsung pulang, jangan main anyau ye” pesanku lagi

Sayup terdengar suara riuh di kelas sebelah, kukunci kelas dan beranjak menuju ke sumber suara. Anak kelas satu telah pulang, tanpa istirahat, bagaimanapun air yang menggenang di depan sekolah terlalu menggoda mereka untuk bermain. Jika anak anak bermain anyau di depan sekolah, tak akan menunggu lama untuk lantai sekolah menjadi kotor berlumpur pula. Lebih baik langsung pulang. Musim hujan juga mendatangkan berkah bagi warga desa, hujan menandari berakhinya musim selatan beralih ke musim barat. Beralih dari musim kering berangin kuat, menjadi musim teduh yang membawa banyak hasil melimpah.

Mengajar bisa menjadi pekerjaan yang rutin, atau malah sangat rutin, saat melintas kelas akan didapati semua guru duduk di tempat duduk masing masing di depan kelas. Dan seperti halnya seorang guru dalam mengajar, murid murid juga menjadi rutin dalam kegiatan belajarnya. Duduk di kursi dan menyimak penjelasan guru. Kelas lima saja yang masih berkeliaran di luar. Dan Pak Syukur ada di tepi lapangan memandangi murid murid yang berbentuk lingkaran di tiga titik. Satu di dekat parit tepat didepan sekolah, dua di jebatan dan yang terjauh di depan masjid. Aku hampiri pak syukur yang sedang berdiri termangu di depan kelas.

“Oo pak guru”

“Iye Bu Ren,sudah dipulangkan ke anak anak kelas satu?

“Udah pak, udah siang ga..apa dibuat budak budak kelas lima tu?”

Dari tempat ini aku bisa melihat tiga kelompok itu bercakap dengan riuh, tapi tak terdengar jelas apa yang mereka cakapkan. Maka ku tanyakan.

“Lagi pada menghafal surat Al Alaq bu”

“Kok di luar? Kena hukum ke?”

“Ah tadak ga, mereka hafalan berkelompok bu, coba tengok masing-masing kelompok ada yang hafalannya cantik, yang disana ada maya, yang di jembatan ada muslimat dan yang di depan masjid ada devi,”

“Macem mana belajarnya tu?”

Darinya aku tahu, bahwa untuk bisa menghafal mereka butuh membaca sedang yang mampu membaca al quran tidaklah bayak. Kelas lima dibagi menjadi tiga kelompok, tiap kelompok ada yang pandai membaca sehingga yang pandai membaca membacakan bagi kelompoknya untuk ditirukan berulang ulang sampai hafal, jika hendak dihafalkan dikelas pasti akan riuh dan tidak jadi menghafal karenanya dilakukan di luar kelas. Bentuk kelompok juga memacu siswa untuk menjadi kelompok yang terbaik. Dan untuk mengantisipasi kesalahan dalam menghafal akan mustahil jika dalam satu kelompok ada yang tidak hafal dalam bagian yang sama. Itu yang aku tangkap. Sekali lagi aku memandang tiap kelompok.

“Kapan nak selesanya ni pak?”

“Satu jam bu, biar lo mereka menghafal,kan kita tadak payah gak”

“Mak, lama benar pak”

Aku sangka akan benar lama, tapi dalam perhitunganku kurang dari setengah jam Kelompok dekat parit sudah mendekat.

“Sudah hafal kelompokmu maya?”

“Sudah lah pak”

“Masuk lah, tunggu tim lainnya neh”

Tidak berselang lama tim lain melapor dan memasuki ruangan, aku amati cara belajar itu dari luar, selama ini jika aku ingin siswaku hafal maka aku bacakan berulang ulang dan mereka tirukan berulang sampai hafal, tapi hasilnya selalu ada siswa yang tidak bisa hafal dengan baik, malahan tetap perlu dihukum untuk memaksanya mau menghafal. Aku pandangi dari luar, pintu tidak ditutup, aku cukup melihat dari sini.

“Semua sudah hafal?”

“Sudah pak”

“Hm..tak percaya pak guru, pak guru nak cek lok”

“Kelompok parit baca semua..satu..dua…tiga..”

Kuat kelompok pimpinan maya itu membaca al alaq, aku perlu melongok lebih dalam untuk ikut memastikan sekua anggota membaca, dan pak syukur pun melakukan hal yang sama, mendekat dan mengamati tiap siswa yang membaca.

“Sodaqallah hul adzim”

“Good, mantaaap, kasih tempuk meriah nuh…”

“Prok prok prok”

“Sapa nak nantang tim Maya nih”

Dan dua tim tersisa berebut mengacungkan tangan untuk menghafalkan tugas mereka. Aku tidak menyangka bahwa anak anak akan menjadi antusias dalam menghafalkan. Tentu saja aku tidak akan mudah percaya andai pembelajaran ini sampai di hafalan perkelompok saja.

“Kalau main keroyokan pak guru tak heran dah..sekarang siapa nak berani maju sorang sorang?”

“Hm pak guru nih, macam kame tadak berani ja”

“Halah Kamal nih pandai bual ja, coba maju kalau berani”

“Nyaman yak, bentar lo hafalkan lok”

“Hayo sapa nak berani maju sorang, kita kasih nilai same same ye, nak lancar pak guru kasih 90, nak sendat kasih 80 nak putus kasih 70”

“Nak tadak maju, macem mana pak?

“Nak tadak maju satu kelompok tadak dapat nilai”

“Maaaak…pak guru ini”

“Yelah kan hafalannya berkelompok”

“Napa majunya sorang?”

“Ee kan tadi udah hafalan kelompoknya tinggal sorangan yang belum, hayo siapa berani”

Kelas jadi sepi lagi, aku lihat mereka menghafal ulang mungkin.

Kamal maju pertama, dan kelas menilai bersama bahwa kamal mendapat 80 segera setelah itu yang lain berebut maju, aku sadar bahwa pelajaran menghafal bisa menyenangkan bagi anak anak, seperti sedang bermain kontes musik. Pak syukur selalu demikian ketika hendak menyapa peserta bahkan hingga maju yang terahir yaitu Devi.

“Yak, peserta terahir kita, dengan rambut di kepang dua, kita sambut bersama inilah diaaa deeeviiiii”

Tanpa dikomando anak anak bertepuk tangan, bahkan ada yang menirukan bunyi siulan ketika selesaipun demikian jawabnya

“Yak beri tepuk tangan meriah” bagaimana, nak diberi nilai berapa ni si Devi

“Delapan pak, sembilan pak”

Aku meninggalkan halaman kelas lima yang sempit tak bersemen itu, kelas yang paling kecil dan pengap menjadi kelas pertunjukan dengan penuh suara riuh antusias, aku melangkah menuju rumah, melintuas beberapa kelas yang sudah kosong, hari sudah siang malah sudah terdengar adzan, anak anak masih semangat dan tak sadar tinggal mereka yang tersisa di sekolah. masih terdengar suara riuh rendah tepuk tangan. Ini bukan kontes dangdut, tapi ramainya tidak kalah. (dakwatuna.com/hdn)

Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...