Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Dakwah Kampus, Gambaran Besar dan Arahnya ke Depan

Dakwah Kampus, Gambaran Besar dan Arahnya ke Depan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (fatman.fi)
Ilustrasi. (fatman.fi)

dakwatuna.com – Kalau kita buka-buka lagi dokumen manhaj dakwah kampus, kita akan menemukan dakwah kampus didefinisikan sebagai dakwah ammah dan harakah zhahirah dalam lingkup perguruan tinggi. Dakwah ammah berarti dakwah secara umum, dalam arti tidak ada kekhususan dalam aspek-aspek tertentu—adapun munculnya beberapa aspek/bidang dalam dakwah kampus adalah ikhtiar untuk mendefinisikan keumuman tersebut sekaligus kebutuhan dakwah di kampus. Harakah zhahirah berarti gerakan yang terbuka, gamblang, terlihat, dan tampak di permukaan. Definisi keterbukaan ini yang selalu mengalami dinamika, karena batasan-batasannya cenderung merupakan ijtihad masing-masing qiyadah di masanya. Selain itu, dalam dokumen manhaj kita juga akan menemukan bahwa medan dakwah kampus adalah lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dakwah kampus, meliputi personal, sarana, dan aturan main yang berlaku.

Saya sendiri lebih suka menjelaskan dakwah kampus melalui penggambaran tiga elemen dalam fiqih dakwah: mabadi’/manhaj, washilah, dan ghayah. Atau dalam bahasa yang lebih umum: landasan, sarana, dan tujuan. Landasan dakwah ini jelas, yaitu manhaj kenabian yang bersumber langsung dari Al-Quran dan sunnah. Sementara itu, tujuan dakwah biasanya saya bagi dua: tujuan pribadi dan tujuan gerakan. Tujuan pribadi berdakwah adalah keridhaan Allah swt dan surga-Nya yang telah dijanjikan. Tujuan gerakan dakwah, mengutip tingkatan amal Imam Al-Banna, adalah Islam sebagai ustadziatul ‘alam—menjadi soko guru bagi semesta alam. Di antara mabadi’ dan ghayah, terdapat washilah yang menjadi penghubung antar keduanya. Jika landasan dan tujuan adalah sesuatu yang baku, maka sarana sebagai jalannya tidak pernah baku; ia selalu dinamis dan sangat mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Dalam tataran yang lebih kecil, yaitu kampus, apa yang kita sebut sebagai “dakwah kampus” adalah sarana. Ia memiliki kaidah-kaidah dasar, yang paling utama adalah bersumberkan aqidah, fikrah, dan minhaj Islam. Ia memiliki tujuan, yaitu suplai alumni yang berafiliasi kepada Islam dan optimalisasi peran kampus dalam upaya mentransformasi masyarakat menuju masyarakat islami. Adapun bentuk dari dakwah kampus itu sendiri sebagai sarana, ia bisa jadi berubah-ubah dan menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Dan saya kira, kita sendiri menyaksikan langsung, atau setidaknya mendengarkan ceritanya langsung, bagaimana poros dakwah kampus perlahan-lahan bergerak.

Pada awalnya, dakwah kampus, atau istilah yang lebih tepat digunakan ketika itu adalah “dakwah di kampus”, bermula dari liqa/mentoring. Liqa merupakan kegiatan rutin pekanan yang membahas topik-topik keislaman dan kondisi masing-masing binaan. Hanya saja, pada waktu itu pemerintah (orde baru) sangat ketat dalam mengawasi aktivitas-aktivitas liqa, sehingga ia bergerak secara sembunyi-sembunyi. Tapi justru di bawah tekanan itulah terbentuk grup-grup liqa yang tangguh, yang siap bergerak dan digerakkan. Di bawah tekanan itu kaderisasi berjalan cepat, dari hanya satu atau dua grup liqaan, beranak pinak menjadi beberapa grup liqaan, bercucu-cicit hingga mencapai puluhan, dan masih terus berkembang hingga sekarang.

Sejalan dengan kaderisasi yang merayap tapi cepat, syiar bergerak di atas permukaan. Yang paling kita dengar barangkali adalah syiar hijab, terutama karena hijab adalah indikator syiar yang paling gampang untuk dilihat. Muncul juga daurah-daurah yang tidak lagi tertutup dan berusaha merangkul lebih banyak orang. Di waktu yang bersamaan, orde baru mulai tumbang, dan dengan demikian, dakwah semakin berani menampakkan dirinya ke permukaan. Pada titik inilah dakwah mulai mencari dan membentuk wadah formal, dan wadah formal itu hari ini kita kenal dengan Lembaga Dakwah. Salam UI, misalnya, didirikan pada tanggal 28 Oktober 1998, tahun-tahun di mana tekanan pemerintah terhadap dakwah kampus perlahan-lahan mulai hilang.

Lalu reformasi tiba. Kesadaran politik tiba-tiba memenuhi kepala kita, termasuk di kampus. Sebenarnya tidak tiba-tiba juga, karena prosesnya sudah dimulai dari pertengahan atau bahkan awal ‘90an. Aktivis Dakwah Kampus mulai masuk ke lembaga-lembaga kemahasiswaan yang sudah ada terutama yang strategis seperti lembaga eksekutif. Seiring berjalannya waktu, lahan sosial politik mendapatkan perhatian yang lebih serius dari sebelumnya, dan urusan-urusan seperti pemetaan serta kaderisasi sospol menjadi sesuatu yang sangat menyita perhatian kita. Di antara beberapa dialektika dakwah kampus, bahkan ada yang melihat kesan bahwa sosial politik bagi dakwah kampus sudah bergeser dari sebatas sarana menjadi tujuan. Namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa sosial politik merupakan medan dakwah yang penting untuk digarap dan diperhatikan.

Rentetan pergerakan poros itu sebenarnya tidak saling meniadakan satu sama lain. Semua berjalan bersama dengan porsinya masing-masing. Tapi barangkali kita bisa sepakat bahwa jika di tahun ‘80an kita bertanya kepada orang-orang, apa itu dakwah kampus, mereka yang paham akan menjawab, “dakwah kampus itu ya pengajiannya (liqa)”. Jika pertanyaan yang sama diajukan di tahun ‘90an, jawabannya adalah “dakwah kampus itu ya syiarnya, atau mushallanya, atau lembaganya”. Setidaknya yang saya tahu, di tahun-tahun ini FSI FE, Lembaga Dakwah MII, dan menyusul kemudian SALAM UI, berdiri. Jika pertanyaan yang sama diajukan awal tahun 2000, barangkali hingga sekarang, apa yang terlintas di benak orang ketika disebutkan dakwah kampus, sebagian mungkin akan menjawab “dakwah kampus itu ya mentoringnya”; sebagian lagi menjawab “dakwah kampus itu ya lembaganya”; namun kita akan menemukan jawaban baru yang barangkali akan banyak keluar dari mahasiswa yang memerhatikan dinamika kampus: “dakwah kampus itu ya.. politiknya”.

Terlepas dari semua itu, poin yang ingin saya sampaikan adalah bentuk dakwah kampus sebagai sebuah sarana selalu mengalami perubahan yang berasal baik dari dinamika internal maupun eksternal. Dinamika internal yang paling besar pengaruhnya adalah karakteristik generasi pengisi dakwah kampus yang senantiasa mengalami perubahan. Dinamika eksternal yang berpengaruh adalah kondisi mahasiswa secara umum, pergolakan kebijakan dan arah kampus, atau bahkan pergolakan di tingkat nasional. Pertanyaan besarnya adalah, menghadapi serangkaian dinamika serta latar sejarah itu, ke arah mana dakwah kampus ke depan bergerak?

Menurut saya, dakwah kampus ke depan akan bergerak ke arah keilmuan dan karakteristik karier kehidupan masing-masing aktivitas dakwah kampus. Ia harus menjadi jembatan antara kehidupan kampus dan kehidupan pasca kampus, karena hanya dengan cara itulah dakwah kampus tidak akan ditinggalkan oleh objek dakwahnya, atau bahkan juga oleh para aktivisnya.

Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, mahasiswa sudah mampu berpikir lebih jauh ke depan, atau dalam kata lain, visioner. Mereka sejak awal dibiasakan membangun peta hidupnya hingga 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan 20 tahun yang akan datang. Peta hidup yang diturunkan dari tujuan jangka panjang itulah yang kemudian menjadi pedoman selama kehidupan kampus: apa-apa saja yang harus dilakukan selama di kampus, siapa saja yang harus dikenal, kemampuan apa yang harus diambil, pengalaman seperti apa yang harus didapatkan, dan seterusnya. Sayangnya, sering kali tidak ada dakwah kampus di dalamnya, kecuali mungkin bagi segelintir orang saja (berapa banyak aktivis dakwah yang secara sadar menjadikan dakwah kampus sebagai satu langkah menuju cita-cita jangka panjangnya?).

Akhirnya, dakwah kampus hanya menjadi sampingan, sekedar menggugurkan kewajiban, tidak enak menolak amanah. Tapi barangkali mereka tidak bisa juga sepenuhnya disalahkan, karena alasannya jelas: dakwah kampus tidak mengarahkan mereka menuju masa depan, bahkan (mungkin) sering kali “menghambat” dan menyeret mereka untuk tetap berada di tempat. Fakta ini memang pahit, tidak seharusnya aktivis dakwah kampus beranggapan seperti ini. Seharusnya setiap aktivis dakwah kampus merasa bahwa jalan dakwah, sebagaimana persepsi yang coba dibangun oleh Ketua MS UI 19, adalah jalan cinta kita. Tapi karakteristik seperti itulah yang kita hadapi, suka atau tidak suka.

Sebaliknya, apa-apa yang mendukung karier pasca kampus, itulah yang menjadi fokus mahasiswa dan menjadi jalan utama, seperti IPK, skripsi, berbagai perlombaan, konferensi, pembentukan bisnis, keikutsertaan di organisasi ternama, asisten dosen/asisten lab, kegiatan sosial-masyarakat, dan sebagainya.

Kedua, secara eksternal kita dihadapkan pada keterbukaan dunia (globalisasi) yang semakin mengarah kepada keterbukaan lalu lintas barang maupun orang. Keterbukaan akses ini dilihat dari segi manapun akan semakin mendorong mahasiswa untuk mempersiapkan karier pasca kampusnya semenjak di bangku kuliah. Dilihat sebagai tantangan karena persaingan kerja akan semakin berat, globalisasi membuat mahasiswa terinsentif untuk mempertebal portofolio mereka selama di kampus dengan harapan itu bisa meningkatkan daya saing di pasar kerja. Jika dilihat sebagai peluang, maka globalisasi mendorong mahasiswa untuk semakin banyak menatap ke luar negeri, mencari kegiatan-kegiatan di luar sebagai pengalaman, dan menjadikan lanjut kuliah di luar negeri sebagai salah satu langkah mereka untuk mencapai cita-cita. Semua hal ini, jika dakwah kampus masih menggunakan desain lama, akan semakin menjauhkan mahasiswa daripadanya.

Maka, dihadapkan dengan tren seperti itu, dakwah kampus harus segera menyesuaikan diri. Ia, sebagai sebuah sarana, harus siap dengan perubahan zaman lalu cepat beradaptasi dengannya. Dan saya lihat, desain dakwah kampus yang mengarah kepada akselerasi mahasiswa selama di kampus agar siap menghadapi kehidupan pasca kampus merupakan desain terbaik yang bisa diterapkan di zaman sekarang. Dakwah kampus nantinya berfungsi sebagai jembatan, atau bahkan batu lompatan, sehingga dengan sendirinya orang-orang berdatangan dan bersemangat untuk ikut serta. Sekalipun, sekali lagi, bukan berarti sektor-sektor lain menjadi tidak penting. Semuanya tetap penting, hanya saja porosnya berubah. Perubahan poros itu tentu saja akan mengubah banyak hal, terutama cara pandang kita dalam melihat sektor-sektor di dakwah kampus.

Sebenarnya, ide untuk membawa dakwah kampus ke arah sana bukanlah ide yang benar-benar baru. Dalam Menuju Kemenangan Dakwah Kampus, Ahmad Atian (2010) mengedepankan bahwa salah satu format dakwah kampus ke depan adalah “dakwah prestatif”. Artinya, dakwah kampus harus menjadi rahim bagi karya-karya besar sekaligus basis prestasi. 3 tahun sebelumnya, Risalah Manajemen Dakwah Kampus edisi revisi (2007) menempatkan dakwah akademik dan profesi sebagai satu bab tersendiri, memperlihatkan betapa selama ini dakwah luput memperhatikan sektor tersebut, dan pentingnya ia untuk menjadi arah masa depan dakwah kampus. Menariknya, ia diletakkan di bab terakhir, berada setelah pembahasan panjang lebar mengenai kaderisasi dan manajemen SDM, sistem organisasi, manajemen syiar, keuangan, dan jaringan Lembaga Dakwah Kampus. Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa peletakannya di bagian akhir menunjukkan kecilnya urgensi sektor tersebut. Tapi menurut saya, ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, setelah panjang lebar kita bicara mengenai manajerial dakwah kampus, kita kelak akan segera bicara tentang dakwah kampus dalam perspektif akademik dan profesi, atau dalam bahasa saya: “dakwah kampus sebagai jembatan antara kehidupan kampus dan kehidupan pasca kampus”. Inilah masa depan. Dan ke arah sanalah kita harus bergerak.

Awalnya saya ingin mengakhiri tulisan ini di sini. Tapi ternyata tidak.

Ada satu pertimbangan lain yang barangkali luput kita pikirkan, yaitu ke arah mana dunia ini akan bergerak ke depan. Perlu menjadi catatan serius bahwa kita sekarang berada di akhir zaman. Jika melihat pada periodisasi zaman yang disabdakan oleh Rasulullah, kita sedang berada di periode keempat, yaitu periode “raja yang zhalim/menindas”. Periode ini pasti akan berlalu dan kita akan memasuki babak baru, yang sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, yaitu kekhilafahan yang tegak di atas manhaj kenabian. Proses pergeseran periode itu akan terjadi melalui beberapa penaklukan (jihad fii sabilillah), di mana kaum muslimin nantinya berada di bahwa satu kepemimpinan dengan satu orang pemimpin—orang-orang akan menyebutnya “Al-Mahdi”. Adapun orang-orang bathil akan berada di bawah penguasa-penguasa zhalim, dan puncaknya adalah kepemimpinan Dajjal.

Jika kita baca hadits-hadits yang menunjukkan tanda-tanda kiamat kecil, dengan mudah kita menemukan bahwa sebagian besar sudah terjadi sekarang. Jika kita baca hadits tentang tanda-tanda sebelum kemunculan Imam Mahdi, itupun sebagian sudah terjadi. Jika kita baca hadits Tamim ad-Dari misalnya, kita akan menemukan bahwa tanda-tanda kemunculan Dajjal sudah nyaris terjadi total hari-hari ini. Maka sebenarnya kita harus sadar bahwa kita kini berada di ambang sebuah skenario besar akhir zaman, yang kedatangannya tak bisa kita tolak sama sekali. Bisa jadi, berdasarkan bacaan kita atas nubuwat yang disabdakan Nabi saw, huru-hara itu akan terjadi di generasi kita, atau mungkin generasi setelah kita. Hanya Allah yang tahu.

Pertanyaan yang sering saya pikirkan adalah, seberapa penting karier akademik, bisnis, profesi, dst nantinya di hadapan huru-hara akhir zaman? Apakah itu yang lebih penting ataukah iman dan amal?

Pertimbangan inilah yang seharusnya dimasukkan juga dalam menentukan arah gerak dakwah kampus ke depannya. Di hadapan huru-hara akhir zaman, saya kira terlalu sempit rasanya jika dakwah kampus hanya diarahkan untuk persiapan karier pasca kampus. Kita punya satu agenda yang lebih besar, yaitu mempersiapkan umat agar siap tergabung dalam satu barisan kaum muslimin. Agenda besar itu sepertinya tidak akan jadi prioritas jika kita hanya mengikuti tren dinamika internal dan eksternal dakwah kampus, yaitu karier pasca kampus. Sudah seharusnya dakwah kampus berinisiatif mengambil peran strategis yang lebih dari itu, yaitu melahirkan anak-anak muda terdidik yang memiliki pemahaman Islam mendalam, dekat dengan Al-Quran dan sunnah, sehingga tidak canggung dan kaget dengan badai fitnah di akhir zaman serta siap melalui prosesnya dengan berada di barisan yang benar. Kalau kita perhatikan, peran strategis itu utamanya ada di bagian kaderisasi.

Maka, barangkali kita perlu juga menengok format lama. Kembali kepada ashalah dakwah, yaitu tarbiyah.

Jangan terjebak untuk mengartikan tarbiyah dalam arti yang sempit, apalagi hanya sebatas politik. Tarbiyah merupakan serangkaian proses pembinaan berkelanjutan seumur hidup, yang luas jangkauannya, mulia jalannya, dan besar cita-citanya. Proses tarbiyah dalam konteks militansi untuk dibina dan membina inilah yang mungkin perlahan-lahan mulai hilang dari jiwa para aktivis dakwah. Liqa hanya dipandang sebagai sebuah kegiatan rutin menjemukan, sehingga dampaknya pun tidak terasa hingga ke jiwa. Kesalahan pandang para aktivis dakwah terhadap ashalah dakwah yaitu tarbiyah harus dibenahi. Selama ini kita beranggapan bahwa yang namanya aktivis dakwah sudah pasti selesai dengan proses tarbiyahnya, sehingga bisa langsung mengisi peran-peran strategis dan amal-amal jama’i di kampus. Padahal jangan-jangan, objek dakwah tarbiyah yang paling urgen adalah para aktivis dakwah itu sendiri. Berapa banyak aktivis dakwah, mungkin termasuk saya, yang lemah pemahaman Islamnya, belum fasih tahsinnya, sedikit hafalan Quran dan haditsnya, rendah standar yaumiyahnya, dan payah dalam istiqamahnya? Saya kira, poros kaderisasi dakwah kampus perlu kembali diperkuat dan pembinaan harus kembali menjadi ruh dakwah kampus.

Maka, jika saya boleh menyimpulkan tulisan singkat ini, kira-kira kesimpulannya begini:

Dakwah kampus ke depan harus bergerak sebagai jembatan mahasiswa dari kehidupan kampus menuju kehidupan pasca kampus. Kecenderungan mahasiswa untuk menata kariernya ke depan dengan rapi harus kita wadahi, karena jika berhasil, kita akan menjadi gerakan kampus yang lebih maju dari gerakan-gerakan lainnya. Kita harus memiliki pemetaan dan pendataan yang rapi terkait jalan karier masing-masing aktivis dakwah kampus. Di saat yang bersamaan, karena kesadaran bahwa kita sedang berada di tengah skenario akhir zaman, dakwah kampus harus menekankan kembali pentingnya tarbiyah dan memastikan setiap aktivis dakwah bersetia di jalan pembinaannya dengan baik. Cara kita dalam memandang tarbiyah harus dipersepsi ulang, dari sebatas kebutuhan pengisi bahan bakar dakwah, menjadi cara untuk membangun generasi yang teguh di atas jalan kebenaran. Dengan cara itu, insya Allah, dakwah kampus akan memiliki internal yang solid dan kuat, serta ramah dan mendunia secara eksternal.

Saya kira itu garis besar dakwah kampus dan arahnya ke depan yang bisa saya tuangkan, terutama berdasarkan sedikit pengalaman dan pengamatan di dakwah kampus Universitas Indonesia. Ini hanya gambaran besar. Saya kira, jika berbicara teknis, lebih banyak lagi yang bisa kita diskusikan. Tentu saya sadari pemikiran ini sangat mungkin mengandung kesalahan atau ketidaksesuaian. Semoga Allah swt memaafkan segala khilaf dan senantiasa menunjukkan kita jalan yang benar. Wallahu a’lam. Salam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tertarik pada Ekonomi Internasional. Ketua Umum Forkoma UI Banten dan merupakan Santri Pesantren Mahasiswa Yayasan Keluarga Muslim FEB UI

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization