Manusia Mengembara

Ilustrasi. (Foto: footage.shutterstock.com)

dakwatuna.com – Suatu hari, Rasulullah SAW memegang pundak Abdullah bin Umar. Beliau kemudian berpesan, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara”.

Rupanya, putra Umar bin Khattab itu sangat terkesan dengan ucapan singkat Rasulullah hingga dia berkata, antara lain, “jaga nikmat hidupmu sebelum ajal menjemputmu”.

Demikian pula seharusnya kita. Bukankah setiap capaian dunia hanyalah halte demi halte untuk sampai pada terminal akhir kehidupan yaitu kematian.

Pada hakikatnya, manusia memang hanya musafir, hingga Ibnul Qayyim berkata, “Manusia sejak tercipta dilahirkan untuk menjadi pengembara”.

Sifat pengembara dalam diri manusia merupakan sebuah keniscayaan kehidupan sebagaimana diungkapkan Imam Syafi’i, “Bahkan seekor singa tidak akan pandai memangsa jika tidak hidup di hamparan bumi yang luas, dan anak panah tak akan menemui sasarannya bila tak pernah dilepaskan dari busurnya”.

Sayangnya, sifat pengembaraan manusia sering membuatnya alpa dalam pengembaraannya di padang savana kehidupan. Manusia menjadi rakus dalam berburu rezeki. Manusia berpikir, rezeki adalah uang.

Padahal, sebuah cinta dari seorang istri pun adalah rezeki. Bukankah Rasulullah SAW menyebut cinta Khadijah dengan berkata, “Aku telah diberi rezeki dengan cintanya”.

Sering kali manusia tak pandai bersyukur atas karunia rezeki yang melimpah. Allah berjanji untuk memberi lebih jika manusia pandai bersyukur.

Karena itulah, Ibnul Qayyim berkata lagi, “Andai seorang hamba mendapat rezeki dunia dan seluruh isinya, kemudian dia berkata, “alhamdulillah”, niscaya pemberian Allah padanya dengan ucapan hamdallah itu akan lebih besar dari seluruh dunia dan seisinya. Mengapa? Sebab, segala kenikmatan dunia akan berakhir sementara pahala atas ucapan tahmid itu kekal hingga hari akhir”.

Manusia memang sering mengalami krisis keyakinan soal rezeki. Krisis itulah yang mengantarkan manusia menjadi serakah, korup, manipulatif dan merampas hak-hak orang lain.

Ulama mengatakan ada tiga konsep rezeki. Rizki yang telah dijamin (rizqul makful), rezeki yang dibagikan (rizkqul maqsum) dan rezeki yang dijanjikan (rizqul maw’ud).

Konsep rezeki pertama seperti udara yang kita hirup, angin yang berembus dan kenikmatan lainnya yang Allah berikan tanpa usaha manusia.

Pada dua konsep rezeki lainnya, manusia harus berusaha, tentu dengan cara yang halal. Itulah sebabnya Rasulullah SAW berkata, “mencari rezeki yang halal adalah (bersifat) wajib setelah kewajiban agama (seperti shalat dan puasa)”.Setelah segala kenikmatan rezeki diperoleh, manusia seharusnya berbagi.

Nasehat ringkas Ibnul Qayyim menarik untuk dikutip sekali lagi. Katanya, “Boleh jadi saat kau tertidur lelap, pintu-pintu langit tengah diketuk oleh puluhan doa; dari orang miskin yang kau tolong; dari orang lapar yang kau beri makan; dari orang yang sedih dan telah kau hibur; dari orang yang berjumpa denganmu dan kau berikan senyum. Karena itu jangan pernah meremehkan amal-amal kebaikan”.

Wallahua’lam. (dakwatuna.com/hdn)

Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: inayat4@yahoo.com Salam Inayatullah Hasyim
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...