Literasi dan Peradaban Manusia

Ilustrasi. (dakwatuna.com)

dakwatuna.com – Menulis dan membaca merupakan dua kemampuan dasar yang menjadi cikal lahirnya peradaban manusia sampai sekarang.  Lahirnya tulisan menjadi tanda pemisah zaman manusia, prasejarah dan sejarah. Kemampuan dasar tersebut seolah muncul secara alamiah atas dasar tuntutan alam, ketika zaman prasejarah manusia berkomunikasi hanya melalui lisan atau isyarat, namun seiring berjalan waktu manusia  mulai berpikir bahwa komunikasi lisan bersifat sementara  dengan ruang lingkup yang relatif kecil, maka dibutuhkan sebuah cara berkomunikasi lebih tahan lama yaitu tulisan. Tulisan itu tentu tak dapat dimengerti selain oleh si pembuatnya, maka lahirlah kesepakatan cara menafsirkan komunikasi tulisan yaitu bagaimana cara membacanya. Begitulah kurang lebih bagaimana menulis dan membaca lahir mengawali peradaban manusia.

Menulis dan membaca kemudian menjadi sebuah keniscayaan yang mengiringi pergantian zaman peradaban, aktivitas manusia tak akan pernah terlepas dari dua hal tersebut, hingga akhirnya saat ini manusia memiliki kesepakatan tentang berbagai simbol tulisan dan bagaimana cara membacanya. Bagaimanapun simbol tulisan pada dasarnya menulis adalah aktivitas mengemukakan apa saja ide yang ada di pikiran ataupun segala perasaan di hati kita dan membaca adalah cara awal untuk dapat memahami pikiran atau perasaan orang lain tersebut, keduanya erat berkaitan saling mempengaruhi hingga akhirnya menulis dan membaca telah menjadi salah satu budaya manusia itu sendiri yang saat ini populer disebut literasi.

Literasi menjadi salah satu hal yang penting dimiliki seorang individu untuk terus mengekspresikan diri di dunia ini, kemampuan literasi telah menjadi salah satu aspek dasar yang harus dimiliki sebagai gerbang pemahaman kita akan ilmu-ilmu lainnya, oleh karena itu saat ini literasi menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Seberapa banyak buku yang dibaca dan tulisan yang dibuat oleh keseluruhan penduduk suatu negara menjadi indikator sederhananya, mengapa demikian? Karena literasi berarti berhubungan erat dengan melek aksara, seberapa besar tingkat melek aksara penduduk suatu negara tentu berkorelasi dengan seberapa besar kesadaran dalam hal mengenyam pendidikan.

Pendidikan merupakan modal dasar yang sangat erat kaitannya dengan kemajuan bangsa di berbagai bidang lain seperti ekonomi dan kesejahteraan. Ketika ada kesenjangan kesejahteraan maka pendidikanlah harapan utamanya, maka wajar jika saat ini literasi menjadi salah satu indikator pengukur sudah sejauh mana tingkat kemajuan suatu bangsa. Saat ini tak sedikit lembaga yang mengeluarkan angka dalam statistik seberapa banyak karya yang dibaca dan ditulis sebagai media perbandingan kemajuan antarnegara.

Menulis dan membaca ibarat dua mata uang bersisian, tak bernilai jika salah satunya tak ada. Ibarat pertanyaan lebih dulu mana ayam atau telur, menulis dan membaca juga berkaitan erat dan sulit secara valid mana dulu yang harus dilakukan. Jika membaca lebih dulu tentu pertanyaan sederhananya apa yang dibaca kalau bukan tulisan? Jika menulis lebih dulu, walau bisa hanya berdasar pengalaman, tapi pengayaan tulisan tak dapat dipungkiri merupakan hasil dari pengayaan pengalaman berdasarkan banyak buku yang kita baca. Oleh karena itu dua hal ini sulit untuk dinilai saling terpisah, mesti dinilai sebagai suatu kesatuan budaya, yaitu literasi.

Literasi juga berkaitan dengan kekayaan budaya suatu bangsa, banyaknya karya yang ditulis menunjukkan kekayaan pengalaman penduduk dalam menyikapi kehidupannya. Dengan banyaknya karya maka sebakin banyak juga varian bacaan yang akan memperkaya khazanah keilmuan suatu bangsa, begitulah menulis dan membaca menjadi sebuah siklus tak putus yang mengembangkan kesadaran diri akan hausnya ilmu pengetahuan.  Dengan demikian literasi menjadi suatu hal penting yang harus dimiliki setiap individu untuk menjalani kehidupannya, kekayaan literasi yang muncul dari setiap individu pun tidak hanya berdampak bagi dirinya sendiri, tapi akan menjadi jembatan perbaikan kualitas peradaban manusia di masa yang akan datang. (dakwatuna.com/hdn)

 

Lulusan jurusan pendidikan matematika FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, setelah lulus kemudian mengikuti program sekolah guru Indonesia Dompet Dhuafa, selama tiga bulan bersama 18 mahasiswa SGI lainnya mendapat pembinaan. Selepas masa pembinaan mendapat amanah untuk mendampingi sekolah-sekolah di pelosok Indonesia selama satu tahun dan mendapat amanah mendampingi SDN 012 Tubbi Kec. Tutar Kab. Polewali Mandar Sulbar.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...