Topic
Home / Berita / Opini / Pendidikan Keluarga Lindungi Anak dari Kejahatan Seksual Dan Seks Dini

Pendidikan Keluarga Lindungi Anak dari Kejahatan Seksual Dan Seks Dini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Dena Fadillah)
Ilustrasi. (Dena Fadillah)

dakwatuna.com – Indonesia makin tidak aman dan tak ramah untuk perempuan, khususnya anak-anak. Mereka terus diintai kejahatan seksual. Baru-baru ini publik dikejutkan oleh tragedi kejahatan seksual disertai pembunuhan yang menimpa seorang remaja putri di daerah Rejang Lebong, Bengkulu. Korban bernama Yuyun diperkosa oleh 14 remaja belasan tahun yang sedang pesta miras. Yuyun lalu dibunuh dan jasadnya secara keji dibuang ke jurang. Kisah mirip Yuyun terjadi di Surabaya, delapan pelajar cabuli sisiwi SMP. Yang membuat hati miris, peristiwa pencabulan terjadi sejak korban berusia 4 tahun. Ia rela dicabuli demi sebutir pil koplo. Belum selesai kasus-kasus tersebut ditangani kembali kita digegerkan dengan pembunuhan sadis dan bejat di Tangerang, pembunuhan yg melebihi binatang, pembunuhan diluar akal sehat. Korban diperkosa lalu dibunuh oleh tiga pemuda dengan cara memasukkan gagang cangkul ke kemaluannya. Dan yang menyayat hati adalah ternyata otak di belakang pembunuhan sadis ini adalah bocah ingusan yang masih duduk di bangku SMP.

Kasus kekerasan seksual pada anak ibarat fenomena gunung es, dimana kasus yang terjadi jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan. Menurut survey Komnas HAM, setiap hari sekitar 17 anak perempuan mengalami kekerasan seksual, terutama pemerkosaan. Maraknya beragam kasus pemerkosaan yang kian sadis menghadirkan pertanyaan besar di benak kita, ada apa dengan generasi negeri ini? Mengapa kekerasan seksual dan seks dini bisa terjadi?

Banyak faktor yang membuat angka kejahatan seksual dan seks dini semakin meningkat. Salah satu faktor pemicu adalah membludaknya konten pornografi melalui berbagai media. Pornografi bisa mendatangi anak-anak kita melalui internet, ponsel, TV, DVD, komik, bahkan games. Melalui ponsel, dengan sekali klik, video seks dan gambar porno dapat dengan mudah diakses anak. Melalui program TV, anak  disuguhi  berbagai tayangan yang mengandung  unsur kekerasan dan seks bebas. Melalui games, anak bahkan bisa belajar sekaligus menjadi “actor utama”, karena games menampilkan gambar yang lebih realistis dimana pemain bisa memilih karakter apa saja yang diinginkan. Bahaya games ini jangan dianggap sebelah  mata, karena pada faktanya ada games action yang berisi permainan tembak-tembakan, namun ternyata jika anak berhasil mencapai level akhir, bonus akhir levelnya adalah ML dengan PSK.  Ada juga games berjenis role playing yang inti permainannya adalah tentang bagaimana “memperkosa paling asyik”. Dengan kursor berbentuk tangan, anak bisa memilih perempuan model apa yang diinginkan –si perempuan tidak berbusana-, bagian tubuh mana yang mau dipegang pertama kali, dan seterusnya. Bila anak terus digempur dengan berbagai content pornografi, lama-lama anak bisa terangsang untuk melakukan tindakan asusila.

Bagaimana pola asuh dan pendidikan di keluarga turut pula menyumbang dekadansi moral remaja. Selama ini telah terjadi kesalahan budaya karena ada pemahaman bahwa mengasuh dan mendidik anak adalah tugas ibu. Tugas ayah hanya mencari nafkah. Padahal, pendidikan anak adalah tanggungjawab bersama antara ayah dan ibu. Selain itu, kesibukan kedua orangtua bekerja menyebabkan perhatian keluarga sangat lemah dalam menanamkan agama dan kasih sayang. Anak dipercayakan kepada pembantu. Orang tua kurang menghabiskan waktu dengan anak dan hanya menjadi weekend parent. Akibatnya, komunikasi yang terjalin adalah komunikasi yang kaku, kurang bersahabat dan penuh intimidasi. Pertanyaan orang tua ke anak hanya sebatas ‘Bagaimana les-nya tadi? Nilaimu berapa, Nak? Kamu nggak bolos kan? Kamu bisa ngerjain ujian hari ini?’ Akibatnya, anak-anak merasa kurang dihargai sehingga menjadi tertekan dan stress.

Dalam hal pendidikan agama, orang tua merasa cukup menyekolahkan anak-anak di sekolah berbasis agama, tanpa memberikan tauladan yang benar. Orang tua menyuruh anak shalat tepat waktu, sementara orang tua mengulur-ulur pelaksanaannya. Orang tua berpakaian tertutup, tetapi anaknya dibiarkan keluar rumah hanya memakai rok mini dan tanktop. Anak disuruh les mengaji, padahal orang tuanya sibuk menonton televisi.

Orangtua juga terkadang latah mengikuti trend. Kecanggihan teknologi dan perkembangannya telah menginspirasi orang tua menjadikan perangkat teknologi sebagai bagian dari gaya hidup anak. Orang tua membelikan anak perangkat teknologi (gadget, iPod, Play Station, dan lain-lain), tanpa peduli dampak negatifnya, tanpa penjelasan dan tanpa persyaratan untuk anak. Yang penting anak sekolah, les, diam di rumah depan komputer, games, ponsel dan TV. Padahal, perangkat teknologi bisa menjadi alat “cuci otak” yang ampuh bagi anak bila tanpa disertai pengawasan dan aturan yang ketat, terlebih bila orangtua pun tenyata gaptek alias gagap tekhnologi.

Sampai kapan ini akan berakhir? Apakah kita akan menunggu hingga satu persatu generasi penerus bangsa ini bergelimpangan terpapar virus pornografi? Apakah kita terus menunggu hingga anak kita sendiri yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan sadis, baru akan terbuka mata, telinga, dan hati kita bahwa Indonesia darurat kejahatan seksual pada anak?

Saatnya kita peduli. Mulailah dengan memperbaiki pola pengasuhan. Libatkan kedua-belah pihak. Awali dengan membangun kembali hubungan dekat dengan anak-anak kita. Jalin komunikasi hangat, bicara dari hati ke hati, buat anak merasa dihargai. Bekali anak dengan pendidikan agama, sehingga memiliki keimanan yang teguh, ibadah yang konsisten serta akhlak yang mulia. Bimbing anak agar bisa mandiri dan bertanggung jawab pada Tuhan, diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Ketika orangtua ingin memberikan fasilitas pada anak harus disertai persyaratan dan aturan ketat. Untuk menangkal pengaruh negatif yang datang melalui komik, games, internet, dan TV, orangtua hendaknya mengecek jenis bacaan anak, bila perlu mendiskusikannya sesekali bersama anak. Secara berkala periksa meja belajar/lemari/kolong tempat tidur anak, guna mengantisipasi adanya majalah ataupun komik porno yang disembunyikan anak.

Perhatikan letak komputer/video games di rumah, jangan pasang komputer/video games menghadap dinding sehingga apa yang dibuka dan dimainkan anak akan terpantau dengan jelas. Buat kesepakatan dengan anak tentang berapa kali dalam seminggu boleh bermain games dan internet, kapan waktu yang tepat untuk main, games/situs apa yang boleh dibuka dan dimainkan, serta sanksi apa yang diberlakukan jika anak melanggar. Lakukan filterisasi terhadap situs porno (pasang alat pemblokir situs porno). Secara berkala cek situs apa saja yang telah dibuka anak di komputer. Selain itu, atur jam menonton TV serta dampingi dan diskusikan tentang program TV yang baik dan buruk kepada anak.

Dengan mengembalikan fungsi keluarga sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak, diharapkan mampu meminimalisir kejahatan seksual anak yang saat ini sedang marak.

Wallahu a’lam bisshowab. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pemerhati Masalah Remaja, Guru Generasi.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization