Tidak Ada Hari Libur di Negeri Kami

Ilustrasi (Reuters / tageswoche.ch)

dakwatuna.com – Long weekend menjadi momentum spesial bagi kebanyakan orang. Momentum bertemunya Ayah yang kerja di luar kota dengan rumah mungil beserta “isinya”, anak perantauan dengan orang tuanya, dan kakek nenek dengan cucu cucunya.

“Hari Rabu rasa Jumat” guyonan khas meme. Libur panjang menjadi angin segar bagi manusia-manusia yang sibuk dengan rutinitas kerjanya atau bagi mahasiswa dengan setumpuk buku tebal, tugas, dan praktikumnya. Itu di negeri kami, tanggal merah menjadi tanggal yang menyejukkan mata. Andai bisa, kami ingin membuatnya menjadi merah semua.

“Bahagianya kalian.” gumam mereka.

“Maksudmu?” aku balik bertanya.

“Tidak ada kah hari libur di negaramu?” aku penasaran.

Sekolah kami hancur. Kami tidak bisa sekolah lagi. Namun, bukan berarti kami libur, kami tetap belajar. Kami belajar dari desingan peluru yang menembus tubuh teman bermain kami. Kami belajar dari puing-puing rumah kami bahwa ketika kami bersatu maka akan menjadi bangunan yang kokoh tetapi jika berselisih maka hancurlah bangunan itu. Kami belajar dari langit bahwa kami harus hati-hati, bukan karena rudal yang sewaktu-waktu menghujam tanah kami tapi karena Allah selalu melihat gerak gerik inci demi inci.

Tempat bekerja Ayah rata dengan tanah. Namun, bukan berarti Ayah libur. Setiap hari Ayah dengan Ayah-Ayah yang lain sibuk membantu para petugas helm putih mencari saudara kami yang barangkali masih terjebak di bawah sana. Jam kerja Ayah tidak mengenal waktu, kapan pun Ayah harus siap bahkan hingga larut malam sekalipun. Ayah tidak memakai seragam atau kendaraan. Baju satu-satunya yang melekat di tubuh Ayah sudah membuat Ayah terlihat gagah bak pahlawan. Tak ada kendaraan, hanya kaki dengan sepatu lusuh yang menemani Ayah bekerja. Menggali, menyingkirkan, dan membersihkan reruntuhan. Ayah benar-benar sibuk.

Dapur rumah tak lagi mengepul. Ibu tidak bisa memasak. Namun, bukan berarti Ibu libur. Justru Ibu lebih sibuk dari biasanya. Mencari-cari makanan yang bisa kami makan. Menenangkan hati kami yang masih bergejolak. Mengobati luka dan trauma yang kami derita.

Rumah sakit kami tidak berbentuk lagi. Namun, bukan berarti kami libur. Semua menjadi dokter bagi sesama. Semua menjadi tim medis bagi saudara. Semua menjadi perawat atas luka yang menyayat.

Demi Dzat yang nyawa kami berada dalam genggamanNya. Rudal mereka tidak akan sedikit pun menggoyahkan kami teguh di atas agamaNya.

Demi Dzat yang nyawa kami berada dalam kuasaNya. Bom mereka tidak akan membuat kami lari dari tanah kami. Tanah yang akan menjadi saksi di hari pengadilan nanti.

Demi Dzat yang tak pernah menyalahi janji bahwa Ia akan mengangkat hambaNya yang setia kepadaNya ke Jannah yang tertinggi.

Kami bersyukur tidak ada hari libur di negeri kami karena tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia untuk berleha-leha.

Kami bersyukur tidak ada tanggal merah dalam kalender kami karena menggapai surgaNya tidak bisa ditempuh dengan usaha yang biasa biasa saja.

Kami bersyukur tidak ada hari libur di negeri kami… (dakwatuna.com/hdn)

Mahasiswi aktif jurusan S1 Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Seorang akuntan yang jatuh cinta pada tulisan.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...