Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Keluarga, Belakang Panggung Sandiwara

Keluarga, Belakang Panggung Sandiwara

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Jika diibaratkan seperti panggung sandiwara, keluargaku ada di posisi belakang panggung. Kenapa? karena setelah diri ini selesai bersandiwara lalu berjalan ke belakang panggung lantas kembali untuk menjadi diri sendiri. Ya, seperti itulah gambaran posisi keluarga bagiku. Tak perlu semua orang tahu, namun sangat penting bagiku.

Keluarga adalah persinggahan terakhir yang tidak bisa dilepaskan dari raga. Satu-satunya tempat yang tahu apa yang tersembunyi dibalik topeng sandiwara ini. Bapak, Ibu, dan kedua adikku, mereka adalah orang-orang yang sangat mengetahui bagaimana aku, watak, sifat, dan keadaanku. Bisa dibilang, aku orang yang sangat tertutup bahkan ke keluargaku sendiri. Segala permasalahan yang menimpaku, emosi dan perasaan yang meracau hanya bisa  ku rasakan sendiri.  Namun, hal itu tidak membuat aku jauh dari keluargaku, jika orang lain dapat mengumbar rasa sayang pada Bapak Ibunya secara langsung lain halnya dengan keluargaku. Boleh percaya atau tidak, setiap ada yang berulang tahun di keluarga ini, tidak ada ucapan secara langsung dan pemberian kado seperti keluarga lainnya. Jika Bapak dan Ibu berulang tahun, aku dan kedua adikku bertingkah laku seperti biasa. Kata “gengsi” mungkin tepat untuk mewakilkannya. Ya, aku terlalu gengsi untuk mengumbar kata “sayang dan cinta”, namun bukan berarti aku tidak menyayangi mereka. Mungkin dalam diam itulah caraku untuk selalu mencintai dan menyayangi mereka, terutama pada ibuku.

Ibu, menurutku beliau adalah “wanita tangguh yang tidak mengenal kata rapuh”. Selama 21 tahun hidup bersama bapak, ibu sangat sabar menghadapinya. Mengapa? karena Bapak merupakan tipikal orang yang pendiam, jarang berbicara, namun sangat perfeksionis. Apalagi, semenjak ia sudah tidak bekerja dan tak lama setelah itu terserang penyakit stroke ringan, bapak cenderung lebih cepat marah. Hal itu, membuat Ibu lebih ekstra sabar menghadapinya. Ibuku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi dan bergelar sarjana, namun ia selalu mengajarkanku untuk mengedepankan sopan santun dan tetap tersenyum di depan orang. Baginya, mau setinggi apapun pendidikan jika orang itu tidak mengedepankan sopan santun mustahil ia bisa diterima orang banyak apalagi jika nantinya mulai terjun ke dunia pekerjaan. Sopan, santun dan senyum, 3 hal itulah yang selalu ada dalam dirinya.

Ya inilah keluargaku, merekalah tempatku pulang meskipun tahu buruknya diri ini selama 20 tahun hidup. Merekalah yang akan selalu menerimaku dengan tangan terbuka melebihi sahabat terbaik di dunia ini. Satu-satunya tempat menjadi diriku sendiri, satu-satunya tempatku melepas semua topeng kehidupan, tempat yang memperlakukan aku dengan jujur tanpa kemunafikan. Tak pernah bisa lepas dari raga, siapa lagi kalau bukan keluarga. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
tulis apa yang kamu rasakan dan rasakan apa yang kamu tulis.

Lihat Juga

Carilah Keutamaan Ramadhan

Figure
Organization