Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rintihan Pahlawanku

Rintihan Pahlawanku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Sakiiiit…sakiiiit…” ah rasanya hatiku seperti terisris-iris mendengar rintihannya. Aku tetap menahan air mataku.

Malam itu Depok begitu sunyi, sepulang dari kampus aku berbenah diri dan memasuki kamar tidur di rumah Quran yang menjadi tempat tinggal keduaku. Mataku rasanya tidak bisa membuka lebih lama lagi, kelopak bagian bawah dan bagian atas menempel serta tubuh ini lelah dengan aktivitas yang menjenuhkan. Karena aku sudah tidak bisa menahan, aku tertidur lelap. Tak biasanya aku lupa menyalakan alarm sebagai pengingat. Jangankan alarm, tugas manajemen yang seharusnya besok dikumpul belum tuntas ku kerjakan.

Pukul 01.00 WIB aku terbangun karena dihantui oleh tugas yang belum selesai. Langsung saja ku cari posisi yang nyaman untuk mengerjakan tugas. Sebelumnya aku mengeluarkan ponselku yang dari tadi malam mati kehabisan baterai. Ketika mengerjakan tugas, ponselku berbunyi berkali-kali tanda pemberitahuan pesan whatssapp dan sms dari ibuku yang biasa ku panggil “Ibun”. Keningku mengkerut, tak biasanya Ibun menghubungiku tengah malam begini. Mataku makin membesar ketika aku baca kata demi kata pesan singkat dari Ibun.

“Kak, Ayah kecelakaan. Sekarang di RSCM, kritis.” Mataku membelalak, otakku menegang, alisku mengkerut, air mataku jatuh, yang ada  saat itu rasa khawatir luar biasa. Jariku memijat ponsel untuk menghubungi Ibun dengan menelponnya langsung. Telpon yang pertama tidak dijawab, kucoba lagi sampai 5 kali tetap saja tidak ada jawaban sampai waktu sudah menunjukkan pukul 2 tepat. Begitu paniknya aku saat itu, aku mencoba menenangkan diri dengan solat tahajud terlebih dahulu.

Benar saja, setelah aku solat hati lumayan tenang. Aku kembali menghubungi Ibun dan kali ini dijawab. “Assalamualaikum Bun, Ayah kenapa?” tanyaku dengan buru-buru.

“Waalakumussalam Ka, Ayah jatuh dari motor ka. Keadaannya parah, matanya terbentur. Ibun butuh doa dari penuntut ilmu seperti kakak yang insyaAllah dikabulkan” jawabnya dengan suara lemas dan sangat berharap.

Setelah mendengar jawaban dan penjelasan dari Ibun, air mataku menetes. Aku jadi ingin datang saat itu juga ke rumah sakit. Tidak terbayang bila ayahku yang sekaligus teman, pahlawan, pembalap, koki, pelawak, teknisi, juga guru terbaring di rumah sakit dan kesakitan. Kala itu aku berpikir, jika saja Ayah kehilangan matanya bagaimana dia bekerja? Mungkin aku akan mencari uang yang banyak untuk menghidupi keluargaku atau bahkan aku tidak akan kuliah lagi untuk menyekolahkan adik-adikku.

“Oke Bun, aku ke RS sekarang.” Aku akhiri telpon dan langsung menghubungi saudaraku yang tinggal di daerah Jakarta Selatan dan memintanya untuk mengantarku ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Saat azan subuh berkumandang, mobil saudaraku sudah mendarat mulus di RSCM. Tak pakai menunggu, aku berlari ke UGD RSCM dan menemui ayahku.  Pertama kali aku lihat, Ayah seperti bukan ayahku yang biasanya. Ayah yang biasanya menjaga penampilannya, tampan, gagah, ramah, ceria dan penuh semangat.

Kini ia terbaring, pipi kirinya bengkak, robek, dan berlumur darah, bibirnya bengkak, dari matanya berlinang darah serta tubuhnya luka-luka. Seketika itu juga aku menutup mukaku dengan kedua tanganku, air mataku mengalir deras, aku beristighfar sebanyak-banyaknya.

Pundakku ditepuk Ibun lalu dipeluk. Aku tidak mau terlihat sedih, aku segera menghapus air mata juga menahannya di tenggorokkan. Aku harus menjadi penguat bagi Ibun. Ia menceritakan bagaimana kejadian yang dialami Ayah dengan raut muka yang sedih. Aku mencoba membawa suasana menjadi santai padahal aku sangat terpukul.

Karena Ayah sudah tenang dan sadar, Ibun menitipkan Ayah padaku dan ia mencari kamar inap untuk Ayah. Saat Ibun pergi, dokter datang dan meminta izin untuk membersihkan luka pada wajah Ayah. Ketika kapas yang dipegang dokter menyentuh pipi kiri Ayah, tangan Ayah spontan menahan tangan dokter. Aku diminta dokter untuk menahan tangan Ayah. Ayah meronta-ronta dan mengaduh-ngaduh “Sakiiiit…sakiiiit…” ah rasanya hatiku seperti terisris-iris mendengar rintihannya. Aku tetap menahan air mataku dan terus menuntun ayah agar terus beristighfar. Sungguh sebenarnya aku tak tahan, rasanya aku ingin lari saja dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak pernah melihat Ayah merintih atau bahkan mengeluh sedikit pun. Ayah adalah laki-laki yang sangat kuat bagiku, pelindung juga penghibur.

Semoga Ayah segera sembuh, beraktivitas kembali, dan menjadi jagoan Ibu serta Ayah yang hebat bagiku. Jangan sedih Ayah, mungkin dengan kejadian ini Allah memberikan waktu kepadamu istirahat dari kegiatan yang membuat tubuhmu lelah. Jangan khawatir Ayah, ada Ibun dan anakmu yang akan selalu berada di sampingmu. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan semester 4. Alumni Pondok Pesantren Husnul Khotimah angkatan 17.

Lihat Juga

Keikhlasan Dalan Kerja Dakwah

Figure
Organization