Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Teguran Dari Sang Pencipta

Teguran Dari Sang Pencipta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (hdn)
Ilustrasi (hdn)

dakwatuna.com – “Bu, Pak,  aku kecelakaan, kakiku robek, sekarang aku ada di RSUD Cibinong,” itulah isi pesanku yang aku kirimkan kepada kedua orang tuaku. Aku baru saja menabrak sebuah motor di daerah Cibinong, Bogor. Peristiwa itu terjadi ketika aku hendak pergi ke rumah temanku untuk bekerja kelompok. Brak! Tiba – tiba saja aku menabrak sebuah motor yang ada di depanku yang ingin belok ke kanan.

Pengendara sepeda motor itu tidak memberikan sen ke kanan. Kuakui aku juga salah karena telah membawa motor dengan kecepatan penuh. Tanpa sadar, kaki kiriku sudah robek disertai darah yang keluar. Aku langsung dibawa ke rumah sakit terdekat oleh temanku karena pada saat itu temanku juga membawa motor tepat di depanku.

Tak kuasa menahan sakit, aku pun akhirnya menangis. Aku tak memerhatikan orang – orang melihatku, yang aku inginkan kaki aku cepat diurus. Kakiku langsung dibersihkan oleh perawat dan bersiap – siap untuk dijahit.

Entah ini sudah suntikan yang ke berapa, aku tak kuat menahan rasa sakit suntikan tersebut. “Aaaaaaa” teriakku sekencang – kencangnya saat suntikan itu melayang ke kaki dan tanganku. Aku sudah mengabari kedua orang tuaku, mungkin mereka sedang di jalan. Tak lama setelah kakiku sudah dijahit, Ayahku datang menghampiriku.

“Bapaaak saakiiiit,” tangisku kepada Ayah. “Sudah.. sudah, gimana kok bisa kecelakaan?” tanya Ayahku. “Iya, tadi motor depan aku pas mau belok ke kanannya gak ngasih sen, terus aku juga bawanya ngebut,” jelasku sambil menangis. “Yaudah tunggu bentar ya, Bapak mau ngurus bayarnya dulu,” katanya lalu meninggalkanku.

Samijan itulah nama Ayahku yang biasa ku panggil dengan sebutan Bapak. Setelah semua administrasi diurus, aku diantarkan pulang olehnya dengan kendaraan roda dua. Butuh perjalanan satu jam kurang untuk sampai di rumahku di daerah Gunung Putri, Bogor. Sesampainya di rumah, Ibuku dan para tetanggaku sudah menunggu di depan rumah. Mereka penasaran dengan apa yang menimpa diriku.

Ibuku, Muji Endayani, lalu menuntunku menuju ke kamarku. Ibuku terus melihat kondisi kakiku tanpa ada sepatah kata yang dikeluarkan. Di situ aku melihat tetesan air mata turun begitu saja membasahi mukanya. Mungkin Ibuku tak sadar, kalau aku sudah melihatnya menangis.

Ayahku dengan salah satu tetanggaku balik ke lokasi kejadian untuk mengambil motorku yang rusak parah. Di kamar, aku diam – diam menangis karena merasa tak bersalah kepada kedua orang tuaku. Terlebih, biaya rumah sakit dan juga biaya perbaikan motorku yang rusak.

“Ibu, aku mau pipis,”  kataku. Ibuku yang sedang menonton TV langsung ke kamarku dan menuntunku ke kamar mandi. Saat aku berjalan, darah yang ada di kakiku masih keluar. Benar – benar rasanya sakit sekali untuk berdiri apalagi untuk berjalan. Ibuku menungguku di kamar mandi hingga aku selesai buang air kecil. Begitulah Ibuku selalu menuntunku di saat aku sedang terjatuh.

Azan pun berkumandang, aku langsung bertayamum karena tak memungkinkan untuk berwudhu. Sesudah aku salat, aku menangis merasa menyesal karena sudah merasa jauh dari Sang Pencipta. Waktu itu aku berpikir sangat pendek, “Malas banget shalat, yang penting aku ingat Allah.”

Aku hanya shalat jika di rumah, itu pun disuruh oleh kedua orang tuaku. Jujur saja saat aku sekolah, aku tak pernah shalat dzuhur. Faktor dari teman, salah satu aku tidak melaksanakan kewajiban tersebut.

Dulu aku tenggelam dengan nikmatnya dunia, hingga lupa dengan perintah-Nya. Semenjak kejadian tersebut, aku sangat menyesal dengan perbuatanku. Sungguh aku malu dengan-Nya, Allah masih menyelamatkanku, padahal aku menyembah-Nya saja sangat jarang.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al Baqarah: 286). Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya, dengan adanya kedua orang tuaku, aku bisa menjalani kehidupan sehari – hari dengan kaki yang luka parah. Begitu pun, teman – temanku yang sudah memberikanku dorongan dan semangat agar aku cepat pulih. Bersyukur bisa memiliki mereka yang selalu hadir di kala senang maupun susah. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang perempuan yang masih proses dalam belajar menulis.

Lihat Juga

Melihat Penciptaan Mengimani Kebangkitan

Figure
Organization