Saat Menderita Penyakit, Tak Halangi Rasa Syukur

Ilustrasi (cdn.k.dk)

dakwatuna.com – Ancaman penyakit kanker kerap menghantui masyarakat di zaman modern dan serba instan ini. Sekitar 10 tahun lalu, seorang bidan, yang dikenal ramah dan baik di desanya, mengalami penyakit tersebut, yaitu kanker paru stadium IIIB.

Tentang beliau

Beliau adalah Dini Sugihartini, seorang bidan yang membuka praktek di Desa Purwadana, Karawang. Selain membantu proses persalinan, beliau juga mampu mengobati penyakit umum lainnya. Seorang yang pernah bekerja sebagai asisten dokter spesialis kandungan ini, dikenal sebagai bidan yang ramah dan penuh keikhlasan. Beliau adalah bidan, di zaman modern ini, yang masih menarik tarif pengobatan dengan harga murah. Beliau bahkan sering membiarkan pasien yang tidak memiliki uang untuk bayar di lain waktu atau bahkan tidak usah membayar biaya pengobatan. Sungguh, tidak mudah menemukan bidan seperti beliau.

Tentang penyakitnya

Awalnya, beliau mengalami batuk lebih dari 2 minggu. Merasa khawatir batuknya tak kunjung sembuh, beliau memutuskan melakukan rontgen (tindakan menggunakan radiasi untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang) yang hasilnya Tumor Bronkus Dextra (tumor paru). Belum puas dengan hasil rontgen, beliau juga melakukan pemeriksaan CT Scan Paru (salah satu metode pencitraan yang digunakan untuk mendiagnosa dan memantau kondisi paru-paru) yang hasilnya sama. Setelah mendapatkan hasil, beliau kembali melakukan Bronchoscopy (prosedur yang memungkinkan dokter untuk melihat ke dalam paru-paru), di Rumah Sakit Persahabatan atau disingkat RS Persahabatan, Jakarta Timur, yang akhirnya memvonis menderita Adeno Carcinoma Bronchus Stadium IIIB atau kanker paru. Pengobatan pun beliau lakukan mulai saat itu.

Melepas pekerjaan

Ibu dari 2 orang anak tersebut, divonis dokter hanya bertahan selama 6 bulan. Mendapat kabar seperti itu, membuat pekerjaan yang selama ini beliau lakukan pun, terpaksa ia tinggalkan demi melakukan pengobatan. Saat penyakit mendesaknya mengeluarkan dana yang sangat besar, beliau harus rela melepas pekerjaannya. Namun, apa daya, tak ada pilihan lain.

Alhamdullilah saya masih lebih beruntung dari pada mereka.”

Sebagai penderita kanker, berbagai cara beliau lakukan demi mendapat kesembuhan. Beliau melakukan pengobatan di RS Persahabatan, Jakarta Timur. Di sana, sama seperti penderita kanker pada umumnya, beliau melakukan kemoterapi sebanyak 6 kali. Rutin mengkonsumsi obat medis dan segala macam pengobatan yang dilakukan penderita kanker pada umumnya. Efek dari kemoterapi pun juga dirasakannya, meski tidak banyak, seperti rambut rontok saat melakukan pengobatan.

Saat melakukan pengobatan di RS Persahabatan, Jakarta Timur, ada yang membuatnya merasa beruntung. Di sana, beliau ditemukan dengan banyak pasien lain yang menderita hal serupa, bahkan lebih parah. Melihat pasien lain yang jauh lebih parah, bahkan ada pasien baru satu hari datang langsung meninggal besoknya. Di situlah ia bersyukur, meski beliau tidak mengetahui apa ia bisa sembuh atau tidak, setidaknya ia bisa lebih bertahan daripada mereka. Masih diberi kehidupan, masih diberi kesempatan.

“Di rumah sakit, ada yang jauh lebih menderita dari saya. Waktu kemo saya enggak mengalami kejang-kejang, hanya mual-mual biasa pengaruh kemo. Di sana banyak yang baru sampai, besoknya udah enggak ada. Alhamdullilah masih lebih beruntung dari pada mereka,” ungkapnya dengan penuh syukur.

Pantang menyerah sebelum sembuh

Selain mendapatkan pengobatan di RS Persahabatan, Jakarta Timur, beliau melakukan pengobatan rutin di 2 tempat lainnya. Beliau berobat ke Alternatif Pak Haji Junaedi, Sukabumi, dan melakukan pengobatan Akupresur Ny. Yuli Susianti, Jl. Buah Batu No.142 C, Bandung. Beliau rutin melakukan pengobatan setiap 1 bulan sekali. Jarak yang cukup jauh dari Karawang-Bandung atau Karawang-Sukabumi tidak pernah menjadi masalah baginya. Beliau bahkan rela menginap di pengobatan Alternatif Pak Haji Junaedi, Sukabumi, yang banyak memiliki pasien.

Bukan hanya itu, beliau pun mengkonsumsi berbagai minuman herbal demi kesembuhannya. Obat herbal yang ia konsumsi adalah Keladi Tikus, Rumput Mutiara, Temu Putih, Tapak Dadar, Cakar Ayam, dan Sambiloto.

Sampai sekarang, beliau masih rutin melakukan pengobatan alternatif, akupresur, dan mengkonsumsi obat herbal. Demi kesembuhan, ia melakukan segalanya.

Saat divonis

Saat divonis dokter hanya memiliki waktu 6 bulan, hal yang paling beliau takuti ialah meninggalkan suami dan ke-2 anaknya. Melihat anak ke-2nya yang baru menginjak 1 tahun, membuatnya khawatir akan masa depan buah hatinya. Hampir setiap hari, beliau memikirkan kematian. Namun, hal paling ia takuti untuk ditinggalkan juga adalah hal yang membantunya bertahan. Dukungan penuh keluarga, membantunya bertahan…. sampai sekarang.

Bertahan

Sejak divonis menderita kanker paru di tahun 2006, akhirnya beliau sembuh dan dinyatakan bersih dari kanker di tahun 2008. Dua tahun sudah ia berjuang sebagai penderita kanker. Dua tahun yang membuatnya menguras semua tenaga, waktu, bahkan dana. Tidak ada lagi rambut rontok ataupun mual-mual akibat kemo. Beliau sembuh. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beliau tetap melakukan pengobatan rutin alternatif dan akupresur. Mengkonsumsi obat herbal juga tetap beliau lakukan, meski tidak se-rutin dulu, namun tetap rajin mengkonsumsi.

Dalam kisah beliau, banyak hal yang bisa dipetik. Beliau memperlihatkan bahwa tidak perlu takut oleh penyakit, tidak menyerah dalam segala situasi, bahkan saat sudah divonis sekalipun, sabar, dan yang paling utama selalu menganggap diri kita beruntung. Harus sadar bukan hanya kita yang mengalami masalah, banyak, bahkan banyak yang lebih buruk. (dakwatuna.com/hdn)

Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Jurnalistik. Berasal dari keluarga sederhana yang beranggota 5 orang. Bercita-cita menjadi seorang jurnalis yang dapat memperbaiki citra jurnalis dan membuat inovasi baru untuk Indonesia. Jurnalis yang membanggakan untuk orang lain dan diri sendiri.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...