Muhasabah Diri, Memantapkan Hidup

Ilustrasi. (digipraim.com)

dakwatuna.com – Di dalam kitab Shahihnya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu Az-Zinad,

إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي

“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].

Mungkin tulisan ini tidak layak sebagai orang yang dhaif dihadirkan ke hadapan para alim dan masyaikh sekalian. Namun kegundahan dalam hati yang menggerakkan tangan  untuk menggoreskan di atas kertas tak bernoktah.

Akhir-akhir ini, terutama dalam dunia organisasi menjadi booming dan memiliki nilai grad A di khalayak masyarakat. Di mulai dari istilah pemecatan, pencopotan, termasuk PAW. Ada yang salah dengan semua itu? Kejadian yang mengakibatkan keringat halus dan keringat kasar mengairi tengkuk dan membanjiri sekujur badan.

Hal menarik jika dilihat dari kacamata harakah dakwah yang sedang kita geluti. Memang suatu keanehan yang nyata dalam siklus pengaderan solid. Akan tetapi secara pribadi saya berkesimpulan bahwa semua itu lumrah terjadi di sebuah dinamika sosial.

Beberapa hari yang lalu saya dihadapkan oleh pertanyaan oleh seorang ustadz, “Apakah ketika Rasulullah SAW meninggal semua aktivitas kebaikan akan di hentikan? Apakah dakwah akan berhenti?” Dan jawabannya tentu sama di dalam hati dan pikiran kita semua. Kita akan terus maju.

Pagi ini juga saya berdiskusi dengan seorang aktivis dakwah. Beliau mengatakan kadang kita harus tepat dalam menentukan keputusan secara lembaga. Jika sudah disepakati maka segala konsekuensinya akan dengan sendirinya terakomodasi dalam solusi tepat.

Bagaimana dengan istilah yang di hadirkan sebelumnya di atas? Saya meminjam konsep dunia persilatan dalam serial Wiro Sableng karangan Bastian Tito “Naik Gunung dan Turun Gunung”.

Ketika seseorang sudah siap berperan di wilayah publik, maka dia akan diberikan kesempatan berkiprah di sana. Dan jika sebaliknya, harus ditarik dan didaur ulang agar memiliki bekal yang memadai.

Dikaitkan dengan sistem pergerakan, sederhananya untuk pemecatan, pencopotan jika kita tanggapi positif dalam kehidupan kita, akan sangat bermakna menjadi sebuah proses introspeksi diri. Dan ini bukan merupakan masalah putus hubungan dakwah atau cuci tangan dakwah.

Saya mendengar cerita, ada orang yang  berkredibel sebelumnya, memiliki kapasitas dan kapabilitas dinonaktifkan dalam aktivitas, dicopot segala ornamen kepangkatan. Akan tetapi dari titik nol yang dia dapati memosisikan dirinya kembali seperti awal lagi.

Kembali saya meminjam istilah seorang murabbiyah “liqa ulang”. Tepat sekali, orang yang di nonaktifkan tadi memulai pembinaan baru seperti beliau mengenal pergerakan ini di waktu awal. Kembali melewati proses pengaderan yang teratur sesuai marhalah. Dalam waktu dua tahunan saudara tersebut kembali menancapkan kakinya di wajihah harakah dengan amunisi baru. Sederhana sekali prosesnya.

Kebijakan kita mengakomodasi informasi media sangat diperlukan. Bagaimana mungkin, seorang Al Akh wa Al ukhti lebih mengedepankan pendapat media tanpa filter landasan dasarnya. Kita terasa jauh dari spirit Majmu Ar-Rasail, dan mungkin saja kita tidak membaca risalah pergerakan tersebut. Atau ketika kita baca, kita juga belum paham.

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].

Kita senantiasa bersyukur, ada orang di sekitar kita secara sukarela selalu mengingatkan kita. Sehingga segala kekhilafan menjadi bermakna dan memiliki nilai tambah yang bermanfaat untuk kehidupan kita. Atau kita lebih suka menjadikan khilaf sebagai bencana? Itu adalah pilihan kita sendiri. Marilah kita bijak untuk menyikapi keadaan. (dakwatuna.com/hdn)

Humas DPD PKS Ende Flores.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...