Hukum Oral dalam Hubungan Intim

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum, apa hukum oral seks? (dari 081546143xxx)

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah was Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalhi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Ilustrasi (singkawangstrike.blogspot.com)

dakwatuna.com – Hukum oral seks, baik yang melakukan adalah suami (cunilingus), atau istri (fellatio), para sejak dulu dan sekarang berbeda pendapat. Mereka terbagi atas tiga golongan. Ada yang mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkan. Wallahu a’lam.

Golongan yang mengharamkan, mereka beralasan dengan najisnya madzi yang ada pada kemaluan baik laki atau wanita ketika sedang syahwat, yang jika tertelan maka itu haram. Tentang najisnya madzi, para ulama kita semua sepakat, tidak berbeda pendapat.

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ رَجُلًا أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَسَأَلَ فَقَالَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Dari ‘Ali, dia berkata, “Saya adalah laki-laki yang mudah keluar madzi, maka aku perintah seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantaran posisiku sebagai mantu beliau (maksudnya Ali malu bertanya sendiri), maka orang itu bertanya, lalu Rasulullah menjawab, “Wudhulah dan cuci kemaluanmu.” (HR. Bukhari No. 269)

Hadits ini menunjukkan kenajisan madzi, hanya saja tidaklah wajib mandi janabah, melainkan hanya wudhu sebagaimana teks hadits tersebut. Oleh karena madzi adalah najis maka ia haram tertelan, yang sangat mungkin terjadi ketika oral seks. Alasan lainnya, karena oral seks merupakan cara binatang, dan kita dilarang menyerupai binatang. Wallahu A’lam.

Imam Abul Walid Ahmad bin Rusyd Rahimahullah mengatakan, “Dalam kitab Ibnul Mawaz disebutkan menjilat dengan lidah adalah lebih jelek.” (Al Bayan wat Tahshil, 5/79)

Golongan yang memakruhkan, mereka beralasan bahwa oral seks belum tentu menelan madzi melainkan hanya sekedar kena, baik karena dikecup atau jilat. Mulut atau lidah yang terkena madzi, tentunya sama saja dengan kemaluan suami yang menyentuh madzi istri ketika coitus (jima’). Sebab ketika jima’, otomatis madzi tersebut pasti mengenai kemaluan ‘lawannya.’ Nah, jika itu boleh, lalu apa bedanya jika mengenai anggota tubuh lainnya, seperti mulut? Sama saja. Hanya saja, hal tersebut merusak muru’ah (akhlak baik) dan menjijikan. Lagi pula tidak sepantasnya, mulut dan lidah yang senantiasa berdzikir dan membaca Al Quran, digunakan untuk hal itu. Oleh karena itu bagi mereka hal tersebut adalah makruh, tidak sampai haram.

Jangankan menjilat kemaluan, sebagian ulama ada yang memakruhkan melihat kemaluan istri seperti yang masyhur dari Imam Al Ghazali Rahimahullah. Namun, hadits-hadits larangan melihat kemaluan istri adalah dhaif bahkan palsu, dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang justru membolehkannya.

Golongan yang membolehkan, mereka beralasan bahwa suami bagi istri, atau istri bagi suami adalah halal seluruhnya, kecuali dubur dan ketika haid. Sedangkan alasan-alasan pihak yang mengharamkan (tertelannya madzi) sudah dijawab, dan alasan pihak yang memakruhkan (merusak muru’ah dan menjijikkan) pun bagi golongan ini tidak bisa diterima.

Alasan merusak muru’ah (citra diri/akhlak baik) adalah alasan yang lemah, sebab dahulu Umar bin Al Khathab ketika dia menjima’ istrinya dari belakang (tapi bukan dari dubur) istilahnya doggy style yang jelas-jelas menyerupai binatang, ternyata itu dibolehkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal Umar Radhiallahu ‘Anhu merasa bersalah, karena itu bukan kebiasaannya dan bukan kebiasaan kaumnya. Sebagaimana oral seks hari ini bukanlah kebiasaan orang Timur, melainkan kebiasaan orang Barat. Namun, demikian tidak ada satu pun riwayat yang berindikasi mencela Umar dalam hal ini, yang ada justru sebaliknya.

Alasan menjijikan juga alasan yang lemah, sebab jijik atau tidak, sifatnya sangat relatif dan personally (pribadi). Tidak sama pada masing-masing orang. Bila ada orang merasa jijik dengan kulit ayam, tidak berarti kulit ayam adalah haram atau makruh. Khalid bin Walid pernah makan Dhab (mirip biawak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam namun tidak dilarang oleh Rasulullah, walau pun dia tidak suka, walau itu menjijikan, karena makan Dhab bukanlah kebiasaan manusia di daerah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

.

Dalam riwayat yang shahih dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyuruh suku Urainah untuk meminum air kencing Unta untuk obat. Padahal, bisa jadi bagi sebagian orang kencing Unta adalah menjijikan, tapi riwayat itu dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang sucinya air kencing Unta. Wal hasil, masalah ‘perasaan’ jijik bukanlah ukuran dan alasan diharamkannya sesuatu.

Golongan yang membolehkan juga beralasan pada ayat berikut:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah: 223)

Anna syi’tum (bagaimana saja kamu kehendaki) hanya berlaku pada qubul (kemaluan) bukan dubur.

Pendapat Ulama Terdahulu

Imam Al Qurthubi –seorang ulama tafsir madzhab Maliki- berkata:

وقد قال أصبغ من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه.

“Telah berkata Ashbagh dari golongan ulama kami (Maliki), “Boleh bagi suami menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Juz. 12, Hal. 222. Dar Ihya Ats Turats Al ‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H)

Imam Al Hathab Rahimahullah berkata:

قد روي عن مالك أنه قال: لا بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع ، وزاد في رواية: ويلحسه بلسانه ، وهو مبالغة في الإباحة ، وليس كذلك على ظاهره

Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia berkata, “Tidak apa-apa melihat kemaluan istri ketika jima’.” Dia menambahkan dalam riwayat lain, “Dan dia menjilatnya dengan lidahnya,” dan ini merupakan penekanan atas kebolehannya, namun tidak demikian pada kenyataannya(Mawahib Al Jalil, 5/23. Cet edisi khusus. 2003M-1423H. Dar ‘Alim Al Kutub)

Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah mengatakan dalam Ashlus Sima’ tentang pertanyaan seorang suami yang melihat kemaluan istrinya ketika jima’, dia berkata, “Ya (boleh), dan dia menjilatnya.” (Ibid, 5/24)

Para ulama Syafi’iyyah pun membolehkan, Imam Zainuddin Al Malibari Rahimahullah mengatakan:

يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلقة دبرها ولو بمص بظرها ….

Dibolehkan bagi suami semua bentuk bersenang-senang terhadap istrinya, kecuali pada duburnya, walau pun menjilat clitoris istrinya… (Fathul Mu’in, 3/340. Darul Fikr. Beirut)

Imam Abu Bakar Ad Dimyathi Rahimahullah menjelaskan kalimat di atas:

أي ولو كان التمتع بمص بظرها فإنه جائز

Yaitu walau dia bersenang-senang dengan menjilat clitorisnya maka itu boleh. (I’anatuth Thalibin, 3/340. Darul Fikr. Beirut)

Sementara pandangan kalangan Hambaliyah, disebutkan Imam Al Buhuti Rahimahullah:

(قال القاضي يجوز تقبيل فرج المرأة قبل الجماع ويكره) تقبيله (بعده)

Berkata Al Qadhi, “Boleh mencium kemaluan istri sebelum jima’ dan dimakruhkan menciumnya setelah jima’.” (Kasyaf Al Qina’, 1/2. Darul Fikr)

 

Pandangan Syaikh Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah:

Beliau berkata, “Di dalam masyarakat seperti Amerika dan masyarakat Barat lainnya, terdapat tradisi dan kebiasaan dalam hubungan biologis antara suami istri yang berbeda dengan kebiasaan kita, seperti bertelanjang bulat, suami melihat kemaluan istri, atau istri mempermainkan kemaluan suami, atau mengecup kemaluan suami, dan sebagainya yang apabila telah menjadi biasa menjadi tidak menarik dan membangkitkan syahwat lagi, sehingga memerlukan cara-cara lain yang kadang hati kita tidak menyetujuinya. Ini merupakan suatu persoalan dan mengharamkannya –atas nama agama- juga merupakan persoalan lain lagi. Dan tidak boleh sesuatu diharamkan kecuali jika ditemukan nash (teks agama) yang sharih (jelas) dari Al Quran dan As Sunnah yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash, maka pada dasarnya adalah boleh.

Ternyata, tidak ada nash yang shahih dan sharih yang menunjukkan haramnya tindakan suami istri seperti itu. Oleh karena itu, dalam kunjungan saya ke Amerika yakni ketika menghadiri Muktamar Persatuan Mahasiswa Islam dan mengunjungi pusat-pusat Islam di berbagai wilayah di sana, apabila saya menerima pertanyaan mengenai masalah itu –biasanya pertanyaan datangnya dari wanita muslimah Amerika- maka saya cenderung memudahkannya, bukan mempersulit, melonggarkannya bukan mengetatkannya, memperbolehkannya dan tidak melarangnya.” (Dr. Yusuf Al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid. 2, Hal. 492-493. Cet. 2 1996M. Gema Insani Press, Jakarta) Demikian, wallahu a’lam. (sb/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 11/05/16 | 18:45 18:45

Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...