Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Darah Yakjuj Makjuj Mei

Darah Yakjuj Makjuj Mei

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (blogspot.com)
Ilustrasi. (blogspot.com)

dakwatuna.com – “Tidaaak! Kakaaak! Mei tak mau mati!”

“Kau tak bisa mengelak dari ketetapan Allah sedikitpun, dengan rela atau terpaksa, ia tetap berlaku atasmu. Kau harus ikhlas!”

“Tidaaak! Kalian selalu menjanjikan indahnya kemenangan, tapi kenapa saat itu tiba, ketakutan seperti ini yang aku dapatkan?”

“Kau menakar kebahagiaan itu berhenti pada kehidupan dunia ini saja? Sekalipun tubuhmu tercabik-cabik luluh lantak, jika kau tetap dalam iman dan ridha, tak sedikitpun mengurangi kemuliaanmu di akhirat. Pahami itu!”

“Kakak, demi keimananku aku menjalani penderitaan bersama kalian, aku sakit dan terluka bersama kalian, aku lelah dan lapar bersama kalian, aku rela terusir, aku terkucil oleh ras dan bangsaku sendiri, aku kehilangan semua fasilitas yang harusnya aku nikmati. Tapi saat kalian menyongsong kemenangan dengan gegap gempita, aku sedikitpun tak mendapatkan bagian kebahagiaannya. Aku di sini menggigil ketakutan dikejar kematian yang menghampiriku kian dekat.”

“Kau salah Mei, jika engkau benar-benar beriman kau tak akan punya pikiran seperti ini.”

“Kakak, Mei ingin juga merasakan kebahagiaan itu, yang selalu kakak ceritakan di antara kepedihan kita, menjadi penguat kesabaran di antara penderitaan kita menetapi perjuangan ini. Kakak selalu cerita, kezhaliman dunia ini akan sirna berganti kedamaian, perbendaharaan dunia akan melimpah hingga kemakmuran akan meliputi seluruh penjurunya, sampai tak ada lagi orang yang mau menerima pemberian. Mengapa ketika bangsa yang zhalim itu bergelimpangan tak berdaya, bala’ itu juga mengejarku, mengenali darah Yakjuj Makjuj yang mengalir di tubuhku. Mengapa ia tak mengenali keimanan yang menyatu dalam jiwaku?”

“Mei, bersikaplah ridha atas ketetapan Allah, jika kau harus musnah bersama bangsamu, begitulah agar menjadi jalan untuk membersihkan dunia ini dari orang-orang yang berbuat kerusakan.”

“Bukankah aku beriman bersama kalian, bukankah di antara kami ada orang-orang yang beriman?”

“Benar, tapi sedikit sekali. Bahkan ketika bangsa-bangsa lain berbondong-bondong menerima Islam, Bangsa Romawi sekalipun, geliat Islam memancar di penjuru kota-kotanya, naluri kekafiran dalam diri kalian mengalir teramat kuat. Kalian menjadi membelenggu agama ini, berbuat kerusakan di muka bumi. Kelak jika kalian dibiarkan hidup, hanya akan melahirkan manusia-manusia yang fajir.”

“Tapi aku telah menjalani penderitaan demi menetapi agama ini, aku banyak berkorban untuknya. Lindungi aku Kakak, jangan engkau biarkan aku binasa.”

“Sedikitpun aku tak kuasa mendatangkan manfaat dan mudharat, bahkan terhadap diriku sendiri.”

“Selamatkan aku kakak.”

“Biarlah urusanmu dengan Allah.”

“Kakaaak!”

***

Astaghfirullah. Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kejahatan setan. Dan aku berlindung kepadamu dari mimpi buruk.

“Mei, sudah bangun?”

Belum sempat ku jawab pertanyaanku, kakak menghampiriku di pembaringan.

“Kamu masih ngantuk?” Ucapnya sambil menyeka keningku.

“Iya kak, Mei mau ambil air wudhu dulu.”

“Kenapa kau Mei, mimpi itu lagi? Besok jangan lupa berdoa sebelum tidur ya, agar terhindar dari mimpi buruk dan kamu bisa bangun lebih awal untuk melakukan qiyamulail.”

“Iya kak, InsyaAllah.” Jawabku.

Al Quran ini kupegang sejak Subuh tadi, tilawahku memang belum begitu lancar, tapi kali ini aku sangat tidak mood, belum selesai satu halaman yang aku baca.

“Minum dulu Mei, kakak lihat dari tadi kamu gelisah.” Kakak datang sambil membawa segelas teh hangat.

“Kak, mimpi itu datang lagi.”

“Mungkin engkau terlalu banyak pikiran. Perbanyak zikir, lebih tenangkan hatimu.”

Kakak tersenyum. Senyum seperti kemarin-kemarin. Aku berprasangka itu hanya untuk menghiburku saja, di baliknya sama seperti diriku, tersimpan kegelisahan. Ya Allah, kuatkan kami menghadapi cobaan berat ini, meniti jalan dakwah yang penuh rintangan ini.

“Ada apa Mei? Yuk diminum.”

Kakak menyadarkanku yang jadi terdiam.

“Kakak, bisa ngobrol sebentar?”

“Bisa, silakan.”

“Kak, benarkah ras dan bangsaku adalah Yakjuj Makjuj yang akan musnah di akhir zaman? Jika mereka musnah apakah Mei juga akan binasa bersama mereka, sekalipun Mei beriman dengan sebenarnya?”

“Adikku, jangan berprasangka yang bukan-bukan. Persisnya kakak sendiri juga tidak tahu. Allah yang lebih mengetahuinya. Kita beriman atas semua yang dikabarkan Rasulullah, bahwa semua itu benar adanya. Kita tidak bisa memastikan apa yang kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya.”

Kakak mengambil Al Quran terjemahan dan membukakan di hadapanku. “Kamu bisa baca di akhir Surat Al Kahfi dan Surat Al Anbiya’. Makanya kita diperintahkan membaca Surat Al Kahfi tiap hari Jumat, ini terkait dengan fitnah Dajal dan Yakjuj Makjuj, apalagi kita hidup di akhir zaman. Kalau kamu ingin tahu lebih banyak, besok kakak carikan buku yang membahasnya cukup baik.”

“Mei juga pernah baca kak, tapi banyak yang Mei tak mengerti.”

“Kakak juga demikian. Kita meyakini apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya memang pasti benar, tapi pengetahuan kita untuk memahaminya terbatas, apalagi menyangkut hal-hal yang gaib. Jadi kita mesti tetap hati-hati, sambil terus belajar.”

Kakak terdiam sebentar, seperti ada yang diingatnya. “Semua yang dikabarkan Rasul kita adalah benar, baik tentang masa lalu maupun masa depan. Banyak nubuwat tentang akhir zaman yang kita sendiri merasakannya, waktu yang cepat berlalu, dunia menjadi tanpa jarak, adanya gedung-gedung yang menjulang ke langit. Banyak sekali, semua itu telah terjadi di zaman kita. Semua itu akan menambah keyakinan kita akan kebenaran agama ini, sekalipun tipu daya dunia memoles agama ini dalam rupa yang seburuk-buruknya.”

Kemudian kakak melanjutkan, “Dajal dan Yakjuj Makjuj pasti akan datang di akhir zaman. Menjadi tanda akan dekatnya hari kiamat. Pada saatnya mereka keluar dari tembok ke seluruh penjuru dunia. Mereka beranak pinak banyak sekali. Mereka berbuat kerusakan di muka bumi, sangat tamaknya mereka hingga menghabiskan apa saja yang dijumpai. Mereka adalah fitnah terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Mereka datang dari timur, menerjang bagai air bah, meluluhlantakkan segalanya. Umat Islam tak berdaya, tak mampu menghadapinya, kecuali hanya menunggu pertolongan Allah. Maka ketika mereka merasa telah menyempurnakan tipu dayanya, Allah menyempurnakan tipu daya-Nya.”

“Mei merasa ciri-ciri itu ada pada ras dan bangsa Mei kak.”

“Mudah-mudahan bukan. Yang terpenting bagi kita adalah beriman dan beramal shalih. Agar cobaan kebaikan atau keburukan apapun yang menimpa kita seluruhnya menjadi kebaikan juga di akhirat, kehidupan yang sebenarnya.”

“Kak, jika iya?”

“Jangan berprasangka yang bukan-bukan. Doakan keluarga, saudara dan teman. Agar di antara mereka ada yang menjadi orang beriman. Jangan disedihkan oleh kehidupan dan kematian yang sementara, karena sesudah itu ada kehidupan yang kekal. Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Bukankah kakak pernah cerita, di akhir zaman akan ada pasukan yang menyerang Ka’bah, mereka dibinasakan seluruhnya. Tetapi ketika kelak dibangkitkan kelak, adalah sesuai dengan niatnya masing-masing. Jika di antara mereka ada orang-orang yang terpaksa.”

Kakak memandangku dengan tersenyum, lalu melanjutkan, “Bahkan jangankan Yakjuj Makjuj, semua orang beriman kelak akan dicabut nyawanya oleh Allah menjelang kiamat, tanpa tersisa satu pun. Tapi semua itu adalah kasih sayang Allah agar hanya orang-orang kafir yang menjumpai kiamat yang amat mengerikan.”

“Mei terlahir dari ras ini, Mei iri dengan kakak yang memiliki banyak saudara seiman, Mei merasa seperti sebatang kara.”

“Bisa jadi karena mereka belum mengenal agama yang mulia ini. Siapapun yang dikehendaki Allah menjadi orang yang beriman, Allah akan membuka hatinya. Jika tidak, bahkan dari anak istri nabi sekalipun, banyak yang tidak menerima seruan ini.”

“Iya kak, sekalipun mereka banyak menyakiti kita.”

“Semua umat manusia tetaplah berasal dari seorang yang satu, tidak dinilai dari warna kulit, ras dan suku bangsanya. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling bertakwa. Semuanya adalah saudaramu juga. Kakak dan saudara-saudaramu di sini mencintaimu karena Allah.”

Kakak membuka Al Quran dan menyodorkan kepadaku, “Bacalah ayat ini, Surat Ali Imran Ayat 186!”

Kubaca terjemahnya, “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”

“Kuatkan kesabaranmu ya, jika kita ditimpa kepedihan, mereka juga ditimpa kepedihan serupa. Tetapi kita memiliki pengharapan kepada Allah apa yang mereka tak memilikinya.”

Kemudian kakak mengambil sesuatu, diberikan kepadaku dan kubuka. Ternyata adalah gambar-gambar jagat raya.

“Mei perhatikanlah dengan seksama, gambaran ini bisa menjadi petunjuk agar kita mengerti betapa kecilnya diri kita di hadapan Rabb Semesta Alam. Jangankan diri kita, dunia ini sekalipun tak ada apa-apanya, kecil sekali. Seribu tahun di dunia ini, tak lebih dari sehari saja di akhirat. Bahkan lima puluh ribu tahun. Bertafakur tentang alam semesta membuat kakak paham, dunia ini nilainya tak lebih dari celupan sayap nyamuk di antara samudera luas.”

“Tapi sejak dulu Mei perhatikan, umat Islam selalu tertinggal dalam urusan duniawi. Apa memang umat Islam memandang remeh dunia ini dan mengesampingkannya, hingga menjadi lemah, tertindas dan terpinggirkan seperti ini?”

“Tidak juga adikku. Umat Islam pernah kuat dan menguasai dunia, bukan untuk membuat kerusakan dan mengeksploitasinya, tetapi untuk menebarkan kasih sayang dan keadilan. Kejayaan dan kemunduran senantiasa dipergilirkan oleh Allah untuk menguji siapa di antara kita yang terbaik amalnya. Jadikan dunia ini ladang akhirat. Begitu indah urusan seorang mukmin, apa yang kita usahakan di dunia, menjadi kebaikan pula di akhirat. Bukankah kakak pernah cerita, Rasulullah pernah memerintahkan kita, jika kita hendak menanam benih, sedang kita tahu esok akan kiamat, maka tetaplah ia di tanam.”

“Iya kak, ada pembelajaran yang dalam.”

“Matahari sudah agak tinggi, kakak ada kerjaan. Kita shalat dhuha dulu, kapan-kapan kita ngobrol lagi.”

“Baik kak.”

Ya Allah, melihat latar belakangku sebelumnya, sepertinya tak mungkin aku bertemu dengan keimanan ini. Tapi begitulah Engkau mendekatkan yang jauh ini. Tak ada yang lebih berharga, yang amat patut disyukuri daripada hidayah ini. Aku ikhlas atas apa-apa yang aku harus kehilangan demi keimanan ini. Ya Allah Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat, matikanlah aku dalam keadaan sebagai seorang muslim dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang yang shalih. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

Vampire Treatment, Kontroversi Hukum Perawatan Milennium

Figure
Organization