Menyikapi Fenomena Fahri Hamzah: Sudahkah Kita Berlaku Adil?

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. (kompas.com)

dakwatuna.com – Saya ingat sekali dan bagi yang masih ingat ya…dulu ketika Fahri Hamzah gencar dan lantang membela Ust. LHI (yang menurut beliau memang layak untuk dibela), begitupun ketika Fahri Hamzah berseteru dengan KPK terutama bila berhadapan dengan Johan Budi (jubir KPK) serta beberapa peristiwa lainnya yang melibatkan beliau, seperti biasa dengan gayanya yang tegas, lugas dan keras, Fahri Hamzah begitu banyak mendapatkan aplaus serta simpati dari kader dan simpatisan PKS. Ini fakta, kawan.

Sangat jarang sekali terdengar ada kader yang memprotes (komplain) terhadap sikap beliau tersebut. Hampir rata-rata kader PKS mendukung dan menyukai gaya Fahri Hamzah yang terkenal dengan sebutan ‘singa parlemen” ini, yang memang sudah menjadi ciri khas beliau. Walaupun memang ada juga beberapa kader yang mengkritisinya (kontra), akan tetapi tak seberapa jumlahnya jika dibandingkan dengan yang mendukungnya (pro). Mengapa? Karena waktu itu Fahri Hamzah masih menjadi “kader” PKS, bahkan beliau merupakan salah satu kader unggulan (terbaik) dalam tubuh partai ini. Tak ada yang mampu memungkirinya.

Namun sekarang kenyataan itu berbalik 180 derajat. Pasca dipecatnya Fahri Hamzah dari PKS (3/4/16), suara kader PKS pun terpecah menjadi dua. Antara yang mendukung keputusan PKS dengan yang mendukung Fahri Hamzah. Kader yang masih “loyal” kepada Fahri Hamzah tetap konsisten membela beliau. Sedangkan kader PKS yang tadinya “pernah” mendukung (sepakat) dengan gaya beliau, sekarang ramai-ramai berbalik menghujat dan mem-bully beliau. Melihat kenyataan ini saya menjadi sangat miris dan cuma bisa tersenyum kecut sambil beristighfar, beginikah “nasib” seorang Fahri Hamzah yang sudah sekian tahun bersama PKS harus diperlakukan oleh saudara-saudaranya sendiri yang notabene adalah orang-orang yang juga pernah berjuang bersamanya membesarkan partai ini? Duh, alangkah naifnya.

Namun terlepas dari masalah ini maaf, tulisan saya ini tidak dalam kerangka membela atau men-judge siapa-siapa, baik itu Fahri Hamzah maupun kader PKS lainnya, baik yang pro ataupun yang kontra. Saya hanya mencoba bersikap fair dan realistis saja terhadap “fenomena” Fahri Hamzah ini. Begitu banyak pertanyaan pilu yang menggelayuti batin saya: apakah seseorang yang walau sebesar apapun juga dosa-dosanya seperti Fahri Hamzah ini, layak kita perlakukan dengan cara-cara yang tidak fair dan adil? Dengan cara-cara yang sangat menyakitkan? Seberapa besar dan beratnyakah kesalahan yang telah dilakukan oleh Fahri Hamzah? Tak adakah lagi lautan maaf dalam hati kita terhadap saudara kita Fahri Hamzah? Di mana sementara itu pintu ampunan dari Allah saja masih luas dan tetap terbuka lebar bagi setiap hamba-Nya yang mau bertobat. Sebegitu sucinyakah diri kita jika dibandingkan dengan saudara kita Fahri Hamzah?

Semua itu dilakukan hanya karena sekarang beliau sudah tak lagi “serumah” dengan kita? Dulu ketika dia masih bersama kita (hubungannya masih mesra), dia begitu dielu-elukan, disayang dan ditimang-timang. Namun ketika sudah berpisah (bercerai), lantas dia dibuang dan dianggap sebagai seorang pesakitan dan pecundang yang sudah melakukan sebuah kesalahan besar yang tak terampuni dosa-dosanya. Duhai, alangkah sedihnya. Jika saya, anda atau kalian yang berada di posisi Fahri Hamzah hari ini, bagaimanakah perasaan kita? Kemanakah perginya nurani kita? Apakah sudah hilang tersapu kebencian dan dendam yang bercokol kuat dalam diri kita? Astaghfirullah, mari kita sama-sama beristighfar, saudaraku.

Dan sekali lagi saya tegaskan, tulisan ini tidak dalam kerangka membela atau men-judge siapa-siapa, baik Fahri Hamzah atau kader PKS lainnya termasuk pengurus-pengurus PKS yang lebih “berkompeten” dengan masalah ini. Tidak sama sekali! Di sini saya hanya ingin kita sama-sama bisa berlaku adil terhadap siapapun juga termasuk Fahri Hamzah, walaupun mungkin tak bisa bulat 100% benar. Namun paling tidak, kita bisa menempatkan segala persoalan sesuai pada tempatnya dan apa adanya (asas proporsionalitas). Janganlah karena kita tidak senang kepada sesuatu atau seseorang, lantas membuat kita tidak bisa berlaku adil kepadanya. Yuk, mari masing-masing kita introspeksi (muhasabah) diri, mari kita sama-sama merenung, sesungguhnya siapakah diri kita ini?

Wallahu a’lam bishshawab, hanya kepada Allah kita semua minta ampun dan menggantungkan segala urusan. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing hati kita kepada kebenaran dan keadilan, amin.

Sekali lagi dengan segala kerendahan hati saya mohon maaf lahir-batin, jika ada yang tidak berkenan dengan tulisan saya ini. Saya lakukan karena cinta kepada saudara-saudara saya di PKS, partai (jamaah) yang selama hampir 25 tahun menyertai perjalanan dakwah saya. Salam ukhuwah. (sb/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 04/05/16 | 12:26 12:26

Ibu rumah tangga dengan 5 orang anak.Terus berkarya, baik dalam diam maupun bergerak, tak ada kata berhenti sampai Allah yang menghentikannya, tetap tegar walau badai menghadang.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...