Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Berjalan Bersama Ayah, Ibu

Berjalan Bersama Ayah, Ibu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Abitri Negoro Hermanto)
Ilustrasi. (Abitri Negoro Hermanto)

dakwatuna.com – Sungguh ini memang jalan yang sudah ditentukanNya untukku. Meninggalkan jalan yang lalu dan berjalan di jalan yang indah penuh cobaan. Dia memang mengetahui apa yang terbaik bagi hambanya, sehingga Ia menuntunku ke jalan yang ini.

Dahulu terlihat berbeda dari sekarang, perubahan menyadarkanku suatu hal akan orang-orang terpenting disekitarku. Dahulu bukanlah seperti ini keadaannya, menjadi pribadi yang taat kepada-Nya baru kulakukan setelah lulus dari bangku sekolah menengah. Dahulu tanggung jawabku terhadap kedua orang tuaku terasa lebih ringan karena satu tujuanku, membahagiakan mereka dengan terus berprestasi.

Tapi kini tanggung jawabku tak hanya itu, di saat aku mengalami perubahan jalan hidup dengan mulai taat kepada-Nya, maka ayah dan ibuku adalah orang – orang pertama yang harus ku ajak untuk berjalan di jalan ketaatan ini.

Saat itu ibuku bertanya, “Mengapa secepat ini? Siapa saja temanmu, sehingga pakaian yang kau kenakan berubah? Dan mengapa kerudungmu sepanjang itu?”

Pertanyaan itu selalu menjadi sebuah ingatan yang tertanam di hati dan pikiranku. Saat itu aku merasa terjun ke dalam kubangan dangkal yang mudah aku lewati tetapi aku tak mampu untuk keluar dari kubangan tersebut.

Ayahku juga berkata, “Jangan bergaul dengan golongan sembarang, kita tidak tahu mana jalan yang benar mana pula jalan yang salah, jalankan sesuai keyakinanmu, Nak. Jangan menjadi seekstrim ini.”

Perkataan ayah semakin membuat kubangan itu terlihat tidak dangkal, sehingga aku semakin tak tau lagi cara apa yang akan aku lakukan untuk bebas dari kubangan tersebut. Dalam sangatlah dalam, sulit menemukan jalan yang merupakan jawaban baik untuk menjelaskannya  kepada mereka.

Lambat laun aku seperti terjerembab dalam kubangan dangkal, sulit menemukan jawaban, sehingga perubahanku ini tak lagi dilihat baik oleh kedua orang tuaku. Tetapi waktu terus berdetik maju dan pemahamanku pun terus bertambah, pada akhirnya aku menemukan jalan untuk keluar dari kubangan ini.

Aku menjadi paham, kata – kata orang tuaku adalah sebuah ketakutan di kala aku berjalan sendiri tak ada yang menemani langkahku berjuang di jalan ini. Mereka takut jika aku dianggap berbeda dengan keluargaku, berjalan sendiri tak ada yang menemani seperti aku bukan bagian dari mereka. Ini membuatku paham jika hal yang harus ku lakukan adalah mengajak kedua orang tuaku berjalan bersamaku dengan sama – sama berjuang di jalan ketaatan ini. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta semester 4 jurusan Teknik Grafika Penerbitan. Mahasiswi penerima basiswa Yayasan Indonesia Tangguh pada program beasiswa Beastudi Pemuda Indonesia.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization