Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Terima Kasih Tarbiyah

Terima Kasih Tarbiyah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: inet)
Ilustrasi. (Foto: inet)

dakwatuna.com – Semua ini berawal saat penghujung semester pertama kelas X SMA. Kala itu aku hanyalah seorang remaja lugu yang awam akan ilmu agama, yang lahir dari keluarga yang awam agama pula. Meskipun aku lahir dan besar di sebuah kota kecil yang terkenal sebagai kota santri, tetapi aku sama sekali belum pernah menuntut ilmu di pesantren. Demikian aku hanya mendapatkan pendidikan agama ala kadarnya, hanya baca tulis huruf hijaiyah. Rasa iri pun tumbuh di hatiku terhadap teman-temanku yang mendapat kesempatan belajar di pesantren. Apalagi di kampungku ada anggapan bahwa anak pesantren adalah anak yang alim, cerdas dan saleh.

Pada bulan ramadhan saat penghujung semester pertama sekolahku di SMA, diadakanlah sebuah acara bernama “Pesantren Kilat Ramadhan”. Seluruh siswa kelas X yang beragama Islam wajib mengikuti acara ini. Awalnya aku tidak ingin ikut acara ini, karena memakan waktu berkumpul bersama keluarga. Apalagi aku termasuk tipe anak yang manja. Namun karena bersifat wajib, maka mau tak mau aku harus ikut acara ini. Di sisi lain, karena keinginanku untuk belajar ilmu agama lebih dalam, aku berharap acara ini dapat mengobati dahagaku akan ilmu agama.

Waktu pelaksanaan acara pesantren kilat pun tiba. Aku mengira acara ini akan sama dengan belajar di pesantren-pesantren tradisional yang banyak berdiri di kotaku, namun waktunya lebih singkat. Namun perkiraanku salah besar. Alih-alih belajar kitab kuning, dalam pesantren kilat ini aku belajar tentang syumuliyatul Islam, sejarah peradaban Islam, ghazwul fikr, dan tuntunan Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Semua materi-materi ini bagiku sungguh luar biasa, aku pun merasa takjub, membuatku semakin bangga menjadi seorang muslim. Pelajaran-pelajaran seperti ini tidak pernah aku dapatkan saat aku belajar di langgar, yang pengajarnya juga merupakan alumni pesantren tradisional, dan sistemnya juga meniru pesantren tradisional.

Sejak saat itu aku langsung jatuh cinta dengan sesuatu yang kini aku kenal dengan kata Tarbiyah. Ya, aku benar-benar jatuh cinta pada Tarbiyah. Selepas acara pesantren kilat, aku pun langsung menerima tawaran untuk ikut mentoring dengan kakak-kakak murabbi yang mengisi acara pesantren kilat. Selain itu aku juga mendaftar menjadi pengurus rohis sekolah. Setiap pekan aku pun menyempatkan waktu untuk ikut mentoring. Futur memang seringkali terjadi, namun aku tetap bertekad untuk terus menimba ilmu pada kakak murabbi. Dari sini aku memperoleh banyak pelajaran yang tak ternilai harganya, serta worldview yang sampai saat ini membentuk cara aku berpikir. Selain itu aku menjadi sangat giat membaca buku-buku Islam, terutama yang bertema pemikiran Islam, sains Islam, dan sejarah peradaban Islam.

Pro dan kontra memang selalu terjadi. Begitu juga hal ini terjadi pada diriku. Banyak yang menganggapku berubah setelah aku ikut mentoring. Tak hanya teman-temanku, bahkan keluargaku juga banyak yang menganggapku berubah. Bahkan, ada yang menuduhku ikut kelompok garis keras bahkan teroris. Ada yang menyuruhku berhenti ikut Tarbiyah, dan “kembali seperti dulu”. Ada pula yang menyuruhku berhenti ikut Tarbiyah dengan alasan menganggu pelajaran di sekolah. Sungguh semua ini merupakan ujian yang Allah berikan untuk menaikkan derajat hamba-Nya. Dan Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah satu persatu prasangka mereka berguguran. Alhamdulillah, bukannya prestasiku menurun, setelah ikut Tarbiyah justru prestasiku kian meningkat. Dari kelas XI sampai XII, aku selalu menduduki 3 besar di kelas. Selain itu, aku pun menjuarai olimpiade astronomi tingkat kabupaten dua tahun bertutut-turut, serta juara 3 lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Dan tuduhan bahwa aku terlibat dalam kelompok teroris pun tidak bisa dibuktikan, karena memang tidak ada buktinya.

Setelah lulus dari SMA, Alhamdulillah aku diterima di sebuah universitas ternama di Indonesia, yang selalu menduduki peringkat tiga besar nasional. Aku pun senang bukan kepalang. Namun kesenangan yang berlebihan inilah yang akhirnya menjadi racun bagi diriku. Pada waktu yang cukup panjang antara pengumuman penerimaan dan awal masuk kuliah, aku hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan dan main smartphone, sambil berkenalan dengan teman-teman baru. Aku pun banyak meninggalkan amalan-amalan harian yang dulu diajarkan selama proses Tarbiyah di SMA. Sungguh, futur telah menjangkiti diriku.

Di semester pertama kuliahku, aku mencoba melanjutkan langkah ber-Tarbiyah dengan mengikuti AAI (Asistensi Agama Islam) yang merupakan program wajib bagi seluruh mahasiswa muslim. Di semester selanjutnya aku pun mendaftar menjadi pemandu AAI. Namun ber-Tarbiyah saat kuliah ini tak lagi serajin dan sesemangat waktu SMA dulu. Mungkin karena terlena dengan lingkungan baru dan teman-teman baru, serta terlalu banyak bersenang-senang dan berhura-hura, aku pun mengalami futur parah.

Hari demi hari, kesibukan organisasi dan kuliah semakin padat. Kesibukan yang sebenarnya terlalu ku buat-buat ini akhirnya membuatku menghilang dari Tarbiyah dalam waktu yang cukup lama. Dalam rentang waktu yang cukup lama ini, aku sama sekali tak pernah mengikuti liqo’, jarang mengerjakan amalan harian, dan bahkan sudah sering tidak sholat berjamaah di Masjid. Astaghfirullahal’adhim, semoga Allah mengampuni segala kesalahanku ini. Yang lebih parah, aku bahkan pernah bergabung dengan sebuah organisasi yang ternyata berhaluan Islam liberal. Tak berlama-lama, aku pun segera keluar dari organisasi ini, meskipun harus menerima resiko dimusuhi anggota organisasi ini dan bahkan menjadi bahan bully-an.

Ternyata bergabung dengan organisasi berhaluan Islam liberal ini telah membuka mataku, yang selama ini tertutup oleh kabut futur. Dari sini aku menjadi teringat materi ghazwul fikr yang aku dapatkan dari proses Tarbiyah. Karena “filter” ghazwul fikr ini sudah ter-install dalam otakku, maka aku jadi tahu bahwa yang diucapkan oleh orang-orang di organisasi tersebut adalah salah. Dan akupun beberapa kali mencoba mengkoreksi pendapat mereka, namun hampir selalu berakhir dengan debat kusir. Akibat debat kusir ini aku pun sering menjadi bahan bully­-an diantara mereka, bahkan dengan kata-kata yang kasar. Tak tahan dengan perlakuan mereka, akupun memutuskan keluar dari organisasi liberal ini.

Setelah peristiwa ini, aku jadi teringat tentang murabbi yang mengajarkanku tentang materi ghazwul fikr saat SMA dulu. Aku juga sangat bersyukur, karena jika tidak pernah mendapat materi ghazwul fikr ini, mungkin aku sudah menjadi penganut Islam liberal. Dengan berjuta penyesalan, aku menyatakan sangat menyesal meninggalkan Tarbiyah. Apalagi setelah aku berkenalan dengan banyak teman baru yang tetap ber-Tarbiyah meskipun mempunyai kesibukan segudang. Hal ini membuatku semakin menyesal lagi, menyadari bahwa kesibukan tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan Tarbiyah. Dengan hati yang sangat rindu ini, akhirnya aku putuskan untuk kembali ke Tarbiyah. Alhamdulillah, hati ini menjadi lebih tenang setelah mengikuti Tarbiyah kembali. Memang, aku merasa dulu sering galau dan emosi labil ketika masa-masa suram saat menghilang dari Tarbiyah. Sungguh, aku menyatakan bahwa sampai kapanpun aku takkan bisa dipisahkan dari Tarbiyah.

Dari Tarbiyah, aku mendapat hidayah. Dengan Tarbiyah, aku menjalin intima’. Dari Tarbiyah, aku belajar bagaimana cara berpikir. Dari Tarbiyah, aku merasakan kebanggaan sebagai seorang muslim. Dan dari Tarbiyah, aku merasakan nikmatnya menjadi muslim seutuhnya. Terima kasih Tarbiyah. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiwa Fakultas Biologi UGM, peminat sejarah dan antropologi, pegiat pemikiran islam dan sains islam, Aktivis #IndonesiaTanpaJIL Chapter Jogja.

Lihat Juga

Liqa Itu Penting

Figure
Organization