Topic
Home / Berita / Opini / Muhammadiyah dan Kasus Siyono, antara Jebakan dan Peluang

Muhammadiyah dan Kasus Siyono, antara Jebakan dan Peluang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Keluarga Siyono membawa bungkusan uang yang diberikan Densus 88 saat mendatangi kantor Muhammadiyah Yogyakarta. (muhammadiyah.or.id)
Keluarga Siyono membawa bungkusan uang yang diberikan Densus 88 saat mendatangi kantor Muhammadiyah Yogyakarta. (muhammadiyah.or.id)

dakwatuna.com – Upaya Muhammadiyah dalam mengawal pengungkapan kasus kematian korban penangkapan Densus 88 Siyono, mendapat perhatian masyarakat secara meluas. Tetapi ada sesuatu yang menjadi pertanyaan dan perlu juga untuk dicermati, mengingat upaya serupa yang telah sering dilakukan Muhammadiyah sebelumnya tidak terekspos secara meluas.

Perlu dicermati apakah misalnya ada kepentingan lain yang sengaja menyeret Muhammadiyah untuk masuk dalam peran ini. Kita berada pada era bertarungnya berbagai kepentingan besar. Kasus terorisme, sebagaimana kasus korupsi, politik dan lainnya, tentunya juga tidak berdiri sendiri, sekaligus rawan festivalisasi untuk kepentingan-kepentingan di baliknya.

Berbeda dengan alm. Siyono yang diakui bukan merupakan warga Muhammadiyah, kasus-kasus terkait tindakan Densus 88 sebelumnya seperti di Tulungagung dan Temanggung bahkan menyangkut warga Muhammadiyah sendiri. Pada kasus-kasus sebelumnya benar-benar ada indikasi kuat mereka merupakan korban salah tangkap, jadi bukan hanya menyangkut persoalan kemanusiaan semata, HAM, atau kesalahan prosedur penanganan kasus terorisme.

Penting juga untuk diperhatikan oleh Muhammadiyah, mengingat Kapolri saat ini Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti berasal dari keluarga Muhammadiyah. Kasus kematian Siyono bisa jadi dikehendaki dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin untuk mengadu domba antara Muhammadiyah dengan Polri. Ketika saat ini bisa dikatakan Muhammadiyah sepenuhnya terlempar dari pemerintahan, dimana tak seorang pun dalam kabinet yang merepresentasikan perwakilan Muhammadiyah, kasus Siyono bisa merupakan test loyalitas bagi Muhammadiyah, batu uji untuk memisahkan Polri dari Muhammadiyah.

Muhammadiyah perlu belajar dari Reformasi 1998, Muhammadiyah saat itu mendapatkan posisi cukup baik pada pemerintahan Orde Baru, terutama pada periode akhirnya, kemudian Muhammadiyah justru menjadi motor untuk menumbangkan pemerintahan saat itu. Di antara euforia arus dukungan Muhammadiyah pada Reformasi 1998, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah saat itu Hajriyanto Y. Tohari, memberikan sebuah opini berbeda sebagai warning bagi Muhammadiyah, NU akan segera bertukar posisi mengungguli Muhammadiyah, dan ternyata benar. Hasil yang kemudian didapat Muhammadiyah dari reformasi tersebut adalah, Muhammadiyah terlempar dari kekuasaan, bahkan perannya dalam kehidupan bangsa ini termarjinalisasi, sementara cita-cita ideal yang diharapkan dari reformasi belum terwujud, jika tidak dikatakan makin jauh.

Di antara euforia melambungnya Muhammadiyah dalam persoalan Siyono ini, Muhammadiyah perlu tetap berada pada peran tengahnya, menjaga sikap proporsionalitasnya serta tidak terjebak pada sikap emosionalitas sesaat. Sehingga Muhammadiyah bisa menempatkan diri, berperan lebih komprehensif, menyuarakan sikap kritisnya tanpa kehilangan kesempatan untuk melakukan perbaikan dari dalam.

Dari satu sisi saja, ketika pimpinan Polri dipimpin oleh orang yang berasal dari keluarga Muhammadiyah, ada sisi-sisi perubahan positif yang dicapai. Salah satunya yang tampak adalah merebaknya anjuran untuk shalat tepat waktu dan berjamaah pada jajaran kepolisian. Jangan sampai sisi-sisi positif ini kemudian pupus, jangan sampai Muhammadiyah mendapatkan sesuatu tetapi kehilangan sesuatu yang lebih besar.

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah ini sekaligus juga merupakan peluang, sejauh mana Muhammadiyah bisa memainkan peran secara apik menyangkut persoalan bangsa. Serupa dengan yang dilakukan NU ketika berhadapan dengan upaya marjinalisasi, kemudian keluar dari zona tersebut dan mengambil alih posisi dominan yang dipegang Muhammadiyah sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga akhir Orde Baru. Peran untuk menempatkan diri pada perputaran roda zaman, antara naik dan tergilas. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

Musyawarah, Kunci Penyelesaian Kasus Pencubitan Siswa di Sidoarjo

Figure
Organization