Ini Tak Terlambat

Ilustrasi (kawanimut)

dakwatuna.com – Untuk pertama kali, kamu benar-benar patah hati. Kamu yang memutuskan untuk berubah, hijrah dan berharap keimanan terus bertambah, diuji sebab tak terjaganya pandangan mata. Saat itu, kamu berjanji kepada dirimu sendiri, takkan lagi menyia-nyiakan keringat ibumu dengan melanjutkan kuliah di luar kota tapi sebenarnya kamu malah menghampiri banyak wanita. Kamu berjanji kepada yang sedang duka di hadapan cermin, bahwa ibumu harus melihat kamu wisuda dalam waktu yang selama ini kamu tunda.

***

Beberapa tahun berjalan tanpa kebetulan, tentu adalah kerahasiaan dari-Nya yang dijalani dalam keseharian. Memang, kamu tak lagi peduli kepada wanita yang pernah kamu datangi hatinya atau bahkan wanita yang mencoba memaksa masuk ke dalam hatimu. Kamu merasa kuat dan merasa bahwa kamu bisa melewati hari tanpa lagi ada waktu yang tersia. Banyak dari wanita-wanita itu yang semakin tertarik padamu sebab kamu terlalu dingin dan mereka anggap harus ada dari mereka yang bisa menghangatkan, mencairkan hatimu yang telah menjadi gunung salju.

Dulu, kamu sangat tidak bisa melihat wanita cantik apalagi kata orang-orang begitu baik. Tapi, sayang, katamu; cantik memang, tapi begitu mudah ditaklukkan, membosankan, tak ada tantangan dan palingan hanya melihat ketampanan. Namun, suatu hari kamu membawaku duduk-duduk di teras mushalla kampus dan menceritakan sesuatu yang tak terduga.

“Aku bosan dinilai begitu dangkal. Mengapa mereka hanya melihatku dari ketampanan, bahkan tak peduli dengan bentuk hati seperti apa yang aku miliki,”

“Kata siapa kamu tampan?”

“Siapa lagi kalau bukan ibuku, dan yang pasti kodratku. Mana ada lelaki yang cantik atau anggun, hahahaha,” jawabmu. Lalu aku menahan tawa dengan bekas senyum di wajah.

“Jika saja Tuhan memberiku tubuh yang pendek, kulit gelap, dan wajah pas-pasan, apa masih ada wanita yang mengejarku? Nothing!

“Bukankah kamu sudah menyadari banyak nikmat yang Allah beri? Mengapa malah menjadikan nikmat itu sebagai sesuatu yang menjauhkan-Nya darimu? Kamu tak perlu membuat banyak wanita mencintaimu. Kamu tak perlu membuat banyak hati terluka. Aku khawatir, suatu saat kamu pun akan merasakan luka bahkan lebih berat dari yang mereka rasa,”

“Jadi, aku harus bagaimana? Wanita-wanita itu yang mendekatiku. Aku hanya mencoba untuk ramah”

“Ramah? Jangan bangga karena banyak wanita yang mengincarmu. Jangan bangga hanya karena banyak wanita yang bertengkar karenamu. Malah, jika membayangkan aku ada di posisimu, aku merasa ngeri sebab nanti akan banyak masalah dengan istriku. Mau ajak dia ke sini jumpa mantan, ajak ke sana jumpa mantan, di mana-mana ada mantan, kan bahaya, jangan-jangan satu komplek isinya mantan semua. Hehehe.” Mendengarku kamu sempat tertawa tapi buru-buru terdiam. Kamu tak pernah memikirkan itu sebelumnya, dan kini aku harap kamu memikirkannya.

“Seseorang yang adalah jodohmu nanti, hanya akan membiarkanmu sampai Allah menggerakkan hati kalian untuk saling bertemu entah lewat takdir seperti apa,”

“Seperti kamu dengan istrimu? Pertemuan kalian yang lewat taaruf itu? Bagaimana aku bisa…”

“Bisa. Tapi, kamu harus menjadi serupa agar bisa mendapatkannya. Apa yang kamu usahakan, itu yang akan kamu dapatkan,”

“Maksudmu?”

“Bukankah untuk bisa memperoleh gelar sarjana kamu harus menyelesaikan ratusan SKS dan menyelesaikan tugas akhir? Apakah kamu bisa memperoleh gelar itu hanya dengan bermain, tanpa berlarut-larut menemui dosen, atau mengejar para informan? Kamu harus melewati banyak proses untuk mendapatkannya. Dan ketika kamu sampai pada tahap akhir, ilmu yang kamu pelajari teraplikasi dengan baik, InsyaaAllah kamu wisuda pada waktunya. Begitu juga dengan soalan jodoh yang sejak dulu kamu ceritakan padaku.

Dari Santi, Ana, Icha, Tika, Putri, Wenti, Yani, Sila, Linda, Mita, ah sampai siapa yang terakhir kemarin? Aku tak bisa menyebutkan semuanya sebab terlalu banyak. Sepertinya seimbang dengan setengah dari jumlah mata kuliah yang telah kamu selesaikan di semester 10 ini. Hehehe.” Lalu kamu hanya bisa tersenyum kecil dan mulai mengingat masa lalu bahkan beberapa jam sebelum pertemuan ini.

“Aku semester 8, bukan 10.”

“Sama saja bagiku. Sebab kita masuk kuliah di tahun yang sama. Semester 8 hanya bahasa halus dari cutinya kamu selama 2 semester lalu menyulap uang kuliahmu menjadi surprise yang tak penting untuk pacar-pacarmu,”

“Ssstt.. kamu tak perlu mengatakan itu, aku menyesal sudah,”

“Alhamdulillah kalau begitu. Hm, sahabatku… ketika kamu percaya, bahwa Allah akan menghadirkan sesuatu pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, InsyaaAllah kamu benar-benar akan mendapatkannya. Tentu, di dalam ikhtiar tak hanya doa, tak hanya usaha melainkan keduanya. Coba pikirkan, dengan uang yang telah dikirim ibumu setiap bulannya, berapa yang sudah kamu tabungkan? Atau semuanya habis untuk menemani wanita berbelanja mulai parfum, aksesoris hingga kado ulang tahun mereka?

Apa kamu pernah memberikan kado untuk ibumu? Kamu pernah menghabiskan banyak waktu bersama ibumu? Bukankah karena kamu merasa kesepian kamu mendekati dan membiarkan dirimu didekati banyak wanita? Kamu tahu bagaimana rasanya kesepian hingga kamu menjadi seperti sekarang, tetapi kamu membiarkan ibumu kesepian terlalu lama,” bola matamu benar-benar mencair seperti bongkahan es yang terbiar di bawah terik matahari.

“Jangan buang waktu lagi. Kamu seharusnya sudah wisuda bersamaku setahun yang lalu.” Lanjutku.

Lalu pikiran kamu berkelebat sejak itu. Aku tak bisa ikut campur ke dalamnya sebab aku ingin kamu benar-benar berubah dengan sendirinya. Di rumah kontrakan, kamu menawan dirimu. Membiarkan beberapa waktu berlalu dengan renungan panjang yang terhenti karena adzan zuhur. Dan untuk pertama kalinya, aku melihatmu menyegerakan wudhu, langkah kakimu bergegas ke masjid yang tak jauh dari rumah kontrakan itu. Aku hanya terpelongo mengikutimu dari belakang. Dan setelah kamu berdoa panjang, kamu pulang dengan membuat janji dengan dirimu sendiri. Aku pun pulang membawa senyum sebab melihat perubahanmu.

***

Kamu menenggelamkan diri dalam rutinitas penelitian tugas akhir dan perbaikan diri yang sempat kamu rasa begitu terlambat untuk lelaki 23 tahun sepertimu. Kamu juga merasa bahagia karena ternyata tanpa mencari-cari cinta wanita yang belum hakmu, kamu meniti jalan menuju cinta hakiki. Kamu menyadari, kini banyak waktu menghubungi ibumu. Mengirimkannya hadiah, minimal baju daster. Ibumu pasti semakin menyayangimu. Doanya pasti terus melangit dan tentu, selain kamu, ia terus juga mendoakan belahan jiwanya yang telah dahulu kembali pada Sang Pencipta. Kamu pun begitu, kamu banyak waktu untuk mendoakan ayahmu dan mendoakan kesehatan ibumu.

Namun lihatlah, sekarang kamu terluka. Kamu kalah bahkan setelah lama mengunci hati terhadap rasa yang tak semestinya. Dan herannya, yang ini lebih dahsyat, bahkan lebih sensitif, lebih membuat kamu tergagap dan pipimu merona. Apa kamu teringat kata-kataku dulu, dan kamu benar-benar sedang merasakannya? Aku harap kamu percaya ini bukanlah karma sebab aku yakin bahwa kamu yakin, setiap yang terjadi adalah skenario dari-Nya.

Beberapa kali kamu meyakinkan dirimu, bahwa kekuatan itu ada karena kamu yang menghadirkannya, dan kerapuhan pun hadir karena kamu yang membiarkannya. Beberapa kali juga kamu berusaha mencari keburukannya agar tak lagi suka. Kamu membaca banyak buku tentang cinta. Tapi, kamu tetap tak bisa. Padahal, dulu kamu sering mengatakan kamu jatuh cinta. Lalu jenis cinta apa yang sekarang tengah bersarang dalam dadamu? Bahkan terhadap seorang muslimah yang menjaga izah dan ifahnya?

Kamu meyakinkan lagi dirimu, bahwa kamu hanya sebatas kagum dengan kecerdasan dan keahliannya dalam mengolah kata-kata. Kamu tak melihat rupa meski ia jelita dengan khimar dan gamisnya. Kamu bahkan tak pernah mendengar ia berbicara selain membaca setiap jengkal kata yang sering ia tempel di majalah dinding mushalla. Kamu hanya, hanya dan hanya. Kamu sebatas, sebatas dan sebatas. Tapi, lagi-lagi tapi, kamu tak mampu mengelakkannya. Kamu memendam begitu lama. Kamu berharap rasa itu hilang seperti ketika kamu tak mengenal dia.

Kamu mulai menimang-nimang suatu keputusan. Kamu yang ingin wisuda segera, kamu yang belum bekerja, dan kamu yang masih meminta uang bulanan dengan ibumu. Bagaimana kamu bisa mempertanggungjawabkan cintamu jika seperti itu? Dan kamu juga adalah orang yang tidak mampu memikirkan banyak hal. Kamu tak mampu memiliki pikiran bercabang, karena kamu lelaki, seperti itulah yang banyak kita baca di buku psikologi yang kita gemari.

Kamu tak bisa berbuat apa-apa hingga kamu mulai futur. Kamu jarang tilawah. Tak ada murottal selain musik sendu seperti ketika kamu galau-galau dulu. Aku khawatir melihatmu. Semangatmu mulai kendur. Waktu shalat mulai kamu ulur-ulur. Duhai, jika memang dia adalah cintamu, yang kelak akan semakin mendekatkan kamu pada-Nya, mengapa kamu malah semakin jauh dari-Nya?

Waktu terus berlalu, hingga pada suatu waktu, tiba-tiba kamu mendapat undangan walimah dari seseorang itu. Tentu aku sedih mendengarmu berbicara dengan nada putus asa. Kamu terluka oleh keputusanmu sendiri dan aku pun hanya bisa membantumu dalam doa dini hari. Dengan luka itu, kamu memaksa menyelesaikan kuliah dan mengejar wisuda. Air mata kamu pendam dalam-dalam, karena kamu lelaki. Kamu banyak menyendiri bahkan dalam waktu yang cukup lama, berkontemplasi, ya, karena kamu lelaki. Kamu membiarkan rasa sakit itu menguatkanmu. Kamu berjuang hingga akhirnya meraih gelar sarjana dan ibumu bahagia melihat putra semata wayangnya memakai toga.

Kini, kekhawatiran ibumu sudah berubah. Bukan lagi soalan kuliah. Tapi, soalan nikah. Padahal, ketika masih berstatus mahasiswa, ketika awal-awal hijrah, kamu merasa tidak sabaran untuk menikah usai wisuda. Tapi, kini? Setelah luka itu, kamu tak terlalu berpikir tentang jodoh. Bahkan, ketika diingatkan oleh ibumu, kamu merengut dan merasa bersalah karena telah membiarkan hatimu jatuh oleh sebuah pandangan dan penilaian terhadap seseorang yang dulu itu.

Jadi, kamu sekarang menyadari, seorang manusia tetaplah manusia sekuat apa pun ia di mata manusia lainnya. Ikhwan tetaplah lelaki biasa dengan segala kelemahan sebab tak menjaga pandangan mata. Aku pun setuju dengan itu. Kadang, manusia memang butuh uji hati agar ia tahu sedalam apa hatinya mencintai Rabbnya, agar ia tahu bagaimana sebuah masalah bermuara pada doa yang penuh airmata, dan pada Rabbnya ia terus berkata-kata, hingga ia memahami bagaimana kesejatian cinta.

Berkali-kali ibumu menyindir agar kamu mau menikah, berkali-kali kamu mengubah topik pembicaraan yang menurutmu hanya mengingatkanmu pada luka itu. Ibumu tentu khawatir, dan pastinya ia telah menebak apa yang terjadi pada dirimu. Ibumu pasti heran dengan banyak perubahan yang terjadi padamu. Duh, kamu yang dulu pernah jatuh cinta berkali-kali, putus-jadian, putus-jadian, selingkuh-diselingkuhi, sekarang harus diingatkan berkali-kali untuk membuka hati. Kini, kamu belajar lagi mencintai Dia, sebab kamu yakin, kamu akan dicintakan-Nya pada seseorang yang juga sedang belajar untuk mencintai Dia.

“Karena satu rasa sakit yang tak pernah kukira sebelumnya, aku mulai mengasingkan diri. Ketika nanti rasa sakit dan lukaku berkurang, aku akan belajar untuk mencintai seseorang. Aku tak ingin memulai sesuatu jika yang lama belum berakhir. Aku takkan membuka hati jika bayangan masa lalu masih terpikir. Aku menunggu waktu untuk sembuh. Kamu menunggu waktu untuk bertemu. Kita sama-sama menunggu dalam penantian yang penuh kerahasiaan ini. Dan aku percaya, ini tak terlambat. Sebab segala sesuatu akan Allah hadirkan di saat yang tepat.” (dakwatuna.com/hdn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 24/03/16 | 06:46 06:46

DP Anggi, mahasiswi Ilmu Pemerintahan Universitas Riau. Senang berpuisi, menulis cerpen, design grafis, dan fotografi. Buku Puisi tunggalnya; Raudah-Raudah Sajadah (2013) dan Novel Islami terbarunya Hati yang Lillah Mencintai (2016).
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...