Permasalahan Gizi Buruk dari Tahun ke Tahun Semakin Sulit Teratasi

Ilustrasi (blogspot.com/yusuftantowi)

dakwatuna.com – Gizi buruk di Indonesia masih seringkali menjadi masalah pelik yang belum dapat ditangani secara maksimal oleh pemerintah. Pasalnya, daerah yang terbiasa terkena gizi buruk rata-rata daerah yang jauh dari perkotaan atau pedalaman, sehingga menjadikan masyarakat enggan mengontrol dan memeriksa anak-anaknya ke puskesmas atau dokter, lantaran lokasinya cukup jauh. Ditambah lagi, anak yang terkena gizi buruk sebagian besar berasal dari keluarga yang perekonomiannya tidak mampu atau bisa dikatakan miskin. Inilah yang menjadi perhatian khusus dari pemerintah dari tahun ke tahun, di mana jumlah penderita gizi buruk di Indonesia tidak berkurang melainkan terus meningkat. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pemahaman dan sosialisasi yang diberikan petugas kesehatan kepada masyarakat umum khususnya daerah pedalaman. Selain itu, penyebaran terhadap akses dan tenaga medis di daerah pedalaman juga belum maksimal merata. Padahal, sejauh ini lulusan-lulusan muda dari kesehatan cukup banyak tapi hanya saja terkendala dengan moratorium yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Setidaknya pemerintah sebelum melakukan kebijakan moratorium, alangkah bagusnya dipikir ulang kembali, karena ini menyangkut pelayanan masyarakat terutama di daerah pedalaman yang masih membutuhkan konsultasi kesehatan terkait pemahaman gizi buruk, yang selama ini pengetahuan masyarakat masih dianggap kurang.

Permasalahan pelik ini perlu dicatat baik-baik oleh pemerintah dalam menangani kasus gizi buruk yang semakin parah. Pemerintah tidak seharusnya mementingkan proyek pembangunan, karena yang terlebih utama adalah menangani masalah kemiskinan yang terus membelenggu rakyat Indonesia tiap tahunnya tak kunjung usai. Ini dilihat dari data kemiskinan di Indonesia yang bikin miris. Dengan menggunakan cara pengukuran baru yang disebut Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) tahun 2014, hampir 30% penduduk se-Indonesia ternyata termasuk kategori warga miskin. Jumlah ini hampir tiga kali lipat lebih banyak, dibandingkan angka penyandang status miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS), yang masih menggunakan cara ukur dan paradigma lama. Dua tahun silam, jumlah rumah tangga kategori miskin tercatat masih di angka 29,7%. Itu berarti penyandang miskin di seluruh Indonesia jumlahnya 80-an juta. Menteri Bappenas Sofyan Djalil malah punya data yang lebih up to date: dibanding setahun sebelumnya, pada 2015 angka kemiskinan di Indonesia ternyata bukannya menyusut, tapi justru malah meningkat 0,63%. Dengan melihat data tersebut, ternyata Indonesia menempati urutan kelima gizi buruk di dunia dan inipun sangat miris sekaligus prihatin sekali, karena pada dasarnya negara kita memiliki banyak kekayaan alam terutama dalam hal pangan. Namun banyaknya kekayaan alam tersebut ternyata tidak diimbangi dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang layak. Mereka yang berpenghasilan rendah hanya bisa memberikan makan kepada keluarga terutama anak-anak sekadar yang ada saja, sehingga asupan gizi makanan terhadap anak pun kurang dan menjadikan tumbuh kembang anak terhambat. Ditambah lagi, tingkat kecerdasan anak dalam berpikir cenderung sulit menerima apa yang ditangkap dan berakibat pada disabilitas seperti cebol, juga bisa menyebabkan IQ-nya rendah dibawah 70, bahkan 60.

Meskipun Pemerintah selama ini telah berupaya mengentaskan permasalahan gizi buruk dengan berbagai cara yang ditempuhya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang diharapkan mampu mengurangi kondisi tersebut. Dengan PKH, pemerintah akan memberikan insentif Rp 1 juta khusus bagi ibu hamil dari keluarga miskin. Jadi kategori PKH adalah conditional cash transfer. Harapannya dengan diberikan itu, nantinya ibu hamil dari keluarga kurang mampu mendapatkan asupan gizi yang baik terhadap bayinya kelak saat akan melahirkan. PKH juga memberi jaminan kepada bagi sejak 0 hingga 6 tahun. Setiap tahun si anak akan mendapatkan uang Rp1 juta per tahun. Harapannya, lagi-lagi agar balita-balita di keluarga kurang mampu tersebut bisa mendapatkan gizi yang baik.

PKH ini satu pola penuntasan kemiskinan yang best practice di beberapa negara. Maka kemarin telah dirapatkan dengan Kemenkeu akan ada perluasan kembali kepada penerima PKH untuk tahun anggaran 2016. Selain itu, juga akan ada penerimaan pendamping baru sebanyak 20 ribu pendamping. Berdasarkan data, saat ini baru 3,5 juta keluarga penerima manfaat PKH. Tahun depan menurut kabar dari Menteri Sosial akan ditambah lagi dari 3 juta menjadi 6,5 juta. Semoga dengan adanya program ini bisa berhasil dan sekaligus mampu menurunkan gizi buruk yang terus melanda Indonesia. (dakwatuna.com/hdn)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...