Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pembelajar Sejati

Pembelajar Sejati

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Achmad Salido)
Ilustrasi. (Achmad Salido)

dakwatuna.com – Menuntu ilmu merupakan kebutuhan utama bagi setiap manusia. Siapapun dia jika ingin mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat maka ilmulah solusinya. Karna sejatinya ilmu ada untuk menjadi patron bagi manusia dalam bersikap. Ilmu dapat memberi informasi untuk menakar sikap baik dan buruk ataupun benar dan salah. Keutamaan lain dari mereka yang berilmu adalah akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Al Mujadilah: 11 “…….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. …….”.

Pepatah lama mengatakan, “Belajar di hari muda ibarat memahat di atas batu, belajar di hari tua seperti mengukir di atas pasir”. Pepatah ini pernah kujumpai saat duduk di bangku sekolah dasar dulu. Ia seolah menggambarkan betapa susahnya belajar di usia tua. Namun saat ini kusadari bahwa pepatah ini ternyata tidak berlaku umum. Tergantung mereka yang mengalaminya. Bagaimana ia memandang dan memaknai setiap usahanya dalam belajar. Seberapa tekun dan sungguh-sungguh dia. Karena tidak adil rupanya jika setiap kita hanya bersandar pada satu pepatah. Kalaupun kita menjadikan pepatah sebagai sandaran, maka pun ada pepatah lain yang mengatakan “ala bisa karena biasa”. Kurang lebih maknanya adalah pemahaman dan ilmu didapatkan karena ketekunan berupa pengulangan secara rutin. Bukankah seorang Ibnu Hajar Al Asqalani pengarang kitab Fathul Bari, juga mulai belajar bukan diusia mudanya. Karena ia fokus, akhirnya mampu menjadi seorang pembelajar sekaligus ulama yang hebat. Sehingga sesusah apapun ilmu, ketika ditekuni maka yang sulitpun akan menjadi mudah.

Ilmu akan menghampiri mereka yang tekun mempelajarinya. Menghampiri mereka yang mau meluangkan waktu untuk menekuninya. Apalagi di tengah kesibukan yang begitu padat, tetap mengusahakan waktu untuk belajar. Karena ilmu sangat erat kaitannya dengan proses berpikir. Mereka yang menganggap ilmu sebagai bekal utama dalam mengarungi hidup, maka akan selalu menyediakan waktu untuk belajar. Ketika belajar sudah menjadi kebutuhan utama, maka ruang dan waktupun tidak menjadi kendala dalam melakoninya. Kepada siapapun mereka belajar tidak menjadi masalah baginya.

Hari ini semangat menjadi seorang pembelajar itu betul-betul saya rasakan. Saat saya menjalankan amanah sebagai Guru Konsultan di sekolah tapal batas Madrasah Ibtidaiyah Darul Furqon. Karena menjadi guru konsultan bagi saya, tidaklah saja sekadar melihat profesi guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Akan tetapi lebih dari itu, menjadi seorang guru itu sebenarnya sedang menjadikan diri sebagai seorang pembelajar sejati. Karena saat proses pembelajaran di kelas berlangsung, sesungguhnya bukanlah kita yang sedang mengajar. Saat itu kita sedang menjadi seorang pembelajaran dalam laboratorium kelas. Belajar tentang cara menyampaikan ilmu secara tepat, belajar memilih kata-kata yang sesuai dengan pemahaman peserta didik, belajar tentang karakter peserta didik, dan banyak lagi segi-segi lainnya. Karena saat kita berhenti belajar maka sebenarnya saat itu kita sedang berusaha untuk mengerdilkan diri. Karena sejatinya ilmu itu tidak ada batas tamatnya. Bahkan imam Abu Hanifah menyampaikan kepada muridnya, “Wahai muridku kita akan berhenti belajar saat sebelah kaki kita telah menginjak surga”.

Hari ini saya berkesempatan mendampingi Ummi Suraidah mengunjungi kelompok binaan siswa paket A di desa Aji Kuning. Tetanggaan dengan desa Sungai Limau tempat saya menetap selama 12 purnama di kecamatan Sebatik Tengah. Kagum luar biasa bagi saya saat melihat siswa-siswa yang ada di tempat itu. Menurut laporan dari pengajarnya, ada 50 orang siswa yang tengah mengikuti program paket A di desa itu. Program pendidikan luar sekolah yang setara dengan Sekolah Dasar. Program ini formal dari dinas pendidikan dan ditempuh dalam waktu 3 tahun. Kegiatan persekolahannya diadakan setiap 2 kali seminggu yaitu hari jum’at dan sabtu. Setelah dinyatakan lulus, para siswa program paket A ini akan mendapatkan ijazah dari dinas pendidikan dan raport hasil belajar. Kehadiran siswa hari ini memang tidak sampai setengah dari total siswa yang ada. Hanya 12 orang saja yang hadir dan mengisi kursi-kursi plastik kosong yang sudah disediakan oleh para tutor. Mereka belajar di bawah kolong rumah tutornya.

Kekaguman saya hari ini adalah pada siswa-siswanya. Mereka bukanlah anak-anak muda pengejar ijazah. Akan tetapi mayoritas orang-orang tua yang sudah lanjut usia. Bahkan untuk melihat tulisan di papan tulis pun sudah kurang jelas. Walaupun mereka menggunakan kaca mata berlensa. Sesekali kulihat mereka menundukan kepala sambil menerawang papan tulis untuk melihat tulisan dari sisi lensa yang bisa terlihat jelas. Bahkan mereka sering memangil tutornya untuk memperjelas suatu materi yang mereka terima. Menimbang dari segi produktifitas kerja, mereka bukan lagi job oriented . Sebab sebagian mereka sudah usia pensiun. Ataupun kalau ada yang usianya belum pensiun, maka perjalanannya masih cukup panjang. Masih harus menempuh tiga level pendidikan lagi baru bisa dapat bekerja di instansi yang bersertifikat. Level paket B, paket C dan bangku kuliah. Semangat orang-orang tua ini membuat saya malu. Karena tidak bisa dipungkiri kebanyakan dari kita menjadikan pendidikan itu sebagai dunia untuk mencari pekerjaan.

Ketika kita menelusuri sedikit tentang program ini, mungkin kita akan beranggapan mereka semangat karena tidak ada pungutan biaya di dalamnya. Karena tutornya dibiayai langsung oleh Dinas Pendidikan setempat, walaupun dengan tunjangan yang tidak seberapa. Namun harus kita sadari juga bahwa orang-orang tua ini seharusnya tidak perlu lagi meltihkan dirinya dalam pendidikan. Apalagi level pendidikan yang hanya setara dengan Sekolah Dasar. Harusnya mereka saat ini duduk santai saja di rumah masing-masing, bermain dengan cucu sambil menikmati hari tuanya. Sesekali kulihat tutornya menyapa siswa-siswanya tersebut dengan sapaan maci. Sapaan yang ditujukan untuk seseorang yang secara usia lebih tua dari yang menyapa. Para orang tua sekaligus siswa ini, juga tidak merasa minder saat diajak oleh yang jauh lebih muda dari mereka. Apalagi sesekali juga ada pekerjaan rumah dari sekolah yang harus mereka selesaikan di rumah. Tidak perasaan angkuh nan sombong untu menolak tugas-tugas tersebut. Semua dilalui penuh kehangatan dan keikhlasan. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Guru Konsultan Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization