Kemudahan dan Takdir Allah

Ilustrasi. (vivirconemociones.blogspot.co.id)

dakwatuna.com – ”Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Maksudnya: sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah Maka beribadahlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah).” (Q.S. Asy-Syarh (94) : 5-7)

“Suatu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, karena sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti terdapat kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti terdapat kemudahan” (Hadits Riwayat Ibnu Jarir dari Al-Hasan, dimuat dalam Tafsir “Ibnu Katsir)

Alhamdulillah, Allah swt telah memberikan kabar gembira bahwa setiap suatu kesulitan maka bersamanya ada kemudahan. Bahkan ‘Al ‘Usri (kesulitan) tertulis dalam bentuk mufrad (tunggal dan ma’rifat (dikenal, spesifik) sementara yusran (kemudahan) ditulis dalam bentuk nakirah (tidak spesifik, tidak ada ketentuannya) sehingga jumlahnya bisa banyak dan bermacam-macam bentuknya.

Jika kita mengimani Alquran, maka ayat-ayat tersebut tentunya akan menjadi :

  1. Motivasi yang hidup dalam hati kita, menjadi cahaya ketika kita menemui kesulitan hidup.
  2. Penguat harapan ketika kita berusaha mencari solusi atas kesulitan yang kita hadapi.
  3. Dan memudahkan kita untuk bersabar ketika kesulitan hidup, belum juga teratasi setelah berusaha dan berdo’a.

Mengimani Alquran tentu suatu kewajiban setiap Mukmin, karena Alquran adalah satu diantara kitab-kitab Allah yang wajib kita imani. Iman kepada Alquran berkaitan dengan kemudahan dan kesulitan, insya Allah kita akan lebih mudah kita miliki bila kita beriman kepada Qadha dan Qadar yang menjadi rukun iman ke-6, karena dengan takdir Allah jugalah bahwa kita harus beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadha dan Qadar-Nya.

Sungguh menarik untuk disimak perkataan Imam Al-Humaidy, salah seorang Guru dari Imam Al-Bukhori yang menjadikan pembahasan Iman Kepada Qadha dan Qadar dalam Bab Pertama. Beliau mengatakan: “Sunnah menurut kami (Imam Al Humaidiy) adalah seseorang beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit. Sepatutnya ia mengetahui bahwa musibah yang menimpa dirinya tidak akan meleset darinya, dan segala yang meleset darinya tidak akan menimpanya. Semua hal itu adalah al-qadha (ketentuan) dari Allah ‘Azza wa Jalla.” (Kitab Ushulushshunnah Bab 1)

Dengan mengimani Qadha dan Qadar sebagaimana perkataan Imam Al-Humaidy di atas, kerangka berpikir kita mengenai kemudahan dan kesulitan akan makin tepat. Bahwa segala yang terjadi tak ada yang luput dari kehendak Allah swt.

Masih berkaitan dengan tulisan Imam Al-Humaidy, dalam memahami konsep takdir Allah, kita wajib meyakini 4 (empat) tingkatan takdir atau disebut pula rukun takdir :

  1. Allah memiliki pengetahuan (Al-‘Ilm) atas apa saja yang akan terjadi di muka bumi.
  2. Mengimani bahwasanya Allah telah menulis (Al-Kitabah), di Lauh Mahfudz.
  3. Mengimani adanya kehendak Allah (Masyi’ah) bahwa segala sesuatu yang terjadi atau tidak terjadi itu karena kehendak Allah.
  4. Allah Maha Pencipta (Al-Khalq), menciptakan segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

Dengan meyakini rukun takdir tersebut, kita makin paham bahwa kesulitan apapun itu takdir Allah, dan kemudahan yang kita harapkan menghapus kesulitan tersebut juga dari Allah. Namun perlu menjadi catatan, bahwa kita sebagai manusia juga ditakdirkan Allah, memiliki kemauan dan kehendak untuk memilih apa yang kita kerjakan.

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang dzalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi (18) : 29)

Allah swt sangat terang menjelaskan bahwa apapun pilihan kita, telah Allah sediakan konsekuensi dari pilihan kita. Kaitannya dengan kemudahan dan kesulitan ataupun perihal kebaikan dan keburukan juga sudah Allah jelaskan dalam Alquran.

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?”

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisaa (4) : 78-79)

Jika kemudahan itu bagian dari nikmat, maka sudah dapat dipastikan datangnya dari Allah (min Allah = dari Allah). Sedangkan kesulitan, jika itu bagian dari musibah atau kesengsaraan maka itu berasal dari sebab perbuatan diri kita sendiri (min nafsika = dari nafsumu). Meskipun tidak selamanya kesulitan itu sesuatu yang negative

sebagaimana seseorang yang mengambil pekerjaan sebagai seorang direktur tentu mendapatkan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding seorang office boy dalam sebuah perusahaan.

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, juga menuturkan bagaimana cara mudah kita menyikapi takdir. Imam Ibnul Qayyim mengatakan dalam kitan “Thariqul Hijratain” bahwa hukum-hukum Allah berkaitan dengan Takdir Allah dibagi atas 3 tingkatan :

  1. Hukum-hukum yang telah terjadi berkaitan dengan syariat. Maka terhadap hukum-hukum yang sudah Allah takdirkan ini, kita wajib tunduk patuh tanpa perlu menanyakan hakikat hukum-hukum syariat tersebut baik yang berupa perintah maupun larangan Allah SWT.
  2. Hukum-hukum yang telah terjadi berkaitan dengan kesengsaraan atau hal-hal yang tidak kita senangi. Maka wajib bagi kita untuk menolaknya, sekuat tenaga dengan kekuatan kemauan dan kehendak yang Allah berikan kepada kita. Contoh : kelaparan maka harus kita tolak dengan memakan sesuatu dari rizki Allah. Kehausan harus kita tolak dengan meminum air. Sakit kita tolak dengan berobat atau menghindari sebab sakit tersebut.
  3. Hukum-hukum yang telah terjadi dengan diri kita, sementara kejadian tersebut tidak kita kehendaki sebelumnya, tiba-tiba dan kita tidak punya kuasa menolaknya. Maka terhadap hal ini kita wajib menyalahkan diri kita bila kejadian itu suatu keburukan dan mengembalikan pujian kepada Allah jika kejadian itu berupa kebaikan, karena Allah telah memonopoli segala kebaikan yang terjadi sementara keburukan itu berasal dari sebab manusia itu sendiri. (QS. An-Nisaa (4) :79)

Dari apa-apa yang kita baca dalam Alquran, Hadits Rasulullah SAW, perkataan Imam Al-Humaidy, perkataan Imam Ibnul Qayyim di atas, setidaknya ada sikap-sikap yang dapat kita terapkan dalam hidup kita, demi kemudahan hidup kita di dunia dan di akhirat yaitu :

1. Tunduk dan patuh terhadap semua hukum syariat Allah, dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, agar kita mendapatkan berbagai janji Allah yang diberikan bagi orang-orang yang taat di antaranya kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Dan juga kemudahan segala urusan, sebagaimana firman Allah : “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl (16) : 97).

“…..Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq (65) : 4)

2. Senantiasa menuntut ilmu sampai akhir hayat, meliputi ilmu-ilmu : Alquran dan Hadits agar dapat memahami hukum-hukum Syariat Islam sebagai panduan utama menjalani kehidupan. Di luar Alquran dan Hadits akan tetapi bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, contoh : keahlian tertentu untuk mendapatkan penghasilan, ilmu mengendarai kendaraan bermotor baik roda 2 maupun roda 4, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya

3. Berusaha, berikhtiar dengan ilmu-ilmu yang didapat untuk menghindari kesusahan, kesengsaraan hidup, kesulitan-kesulitan, dengan mengiringi ikhtiar tersebut dengan do’a baik sebelum maupun sesudah ikhtiar dilakukan agar apa yang diikhtiarkan diberkahi Allah dan bermanfaat dunia akhirat.

4. Senantiasa memperbanyak hamdalah, Alhamdulillah dalam segala keadaaan. Jika diberi nikmat atau sesuatu yang disukai maka kita mengucapkan “Alhamdulillah bini’matihi tatimmush shalihaat” (Segala puji bagi Allah dengan nikmat-Nya makin sempurna segala kebaikan), karena hakikatnya segala kebaikan berasal dari Allah, bukan dari kecerdasan atau kekuatan kita. Jika diberi azab atau sesuatu yang tidak disukai maka kita mengucapkan “Alhamdulillah ‘ala kulli haal “(Segala puji bagi Allah atas segala keadaan), karena hakikatnya pasti ada kesalahan atau sebab yang kita pilih sendiri sehingga azab atau sesuatu yang tidak kita senangi itu terjadi pada kita.

Yakinlah bahwa kalau sikap kita terhadap hukum-hukum syariat baik. Lalu kita senantiasa menuntut ilmu serta berikhtiar dengan cara yang baik pula sesuai syariat, maka hal-hal yang terjadi tanpa terduga adalah yang baik-baik. Sebagaimana firman Allah :

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan adakan baginya jalan keluar (atas kesulitannya) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq (65) : 2-3)

5. Senantiasa bersabar dan ber-husnudhan (berprasangka baik) kepada Allah, apabila kita sudah berusaha optimal dalam ketaatan, melakukan sikap-sikap sebagaimana tersebut dalam nomor 1-4, namun hidup tetap berasa tidak mudah, tetap kembalikan kepada diri sendiri, bisa jadi ada dosa yang belum teristighfari, atau ada ilmu yang belum kita ketahui dalam bidang yang tidak mudah tadi. Maka di sinilah kita kembali perlu bantuan orang lain, apapun bantuannya, meski hanya sekalimat do’a bisa jadi itu menjadi sebab hadirnya kemudahan. Atau bisa jadi ketidakmudahan hidup tersebut adalah ujian Allah untuk meningkatkan derajat kita ke derajat yang lebih tinggi di sisi Allah, namun kemungkinan terakhir ini hendaknya cukup disimpan dalam hati saja, tak perlu diumumkan kepada orang lain karena bisa menjadi sebab hadrinya penyakit hati berupa ujub (memuji diri sendiri) padahal pujian itu milik Allah atau hadir penyakit sombong yaitu perasaan sudah lebih baik dari orang lain, yang dalam waktu bersamaan berarti meremehkan orang lain.

Wallahu’alam. (dakwatuna.com/hdn)

Konten ini telah dimodifikasi pada 07/03/16 | 21:11 21:11

Seorang muslim Al-Faqir, menikah, 4 anak perempuan, hobi membaca, ingin terus aktif berdakwah dengan menjadi Guru, Pebisnis dan Penulis.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...