Beramal untuk Siapa?

Ilustrasi. (wantyoucity.com)

dakwatuna.com – Dari Abu Hurairah radhifyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling pertama diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid. Ia dihadapkan, lalu Allah swt mengingatkannya pada berbagai nikmat yang telah Allah swt berikan padanya, dan ia pun mengakuinya. Lantas Allah swt bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya telah berperang karena-Mu sehingga saya mati syahid.’ Allah swt berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu berperang agar namamu disebut-sebut sebagai orang yang pemberani. Dan ternyata kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Selanjutnya adalah orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Alquran. Ia dihadapkan lalu Allah swt mengingatkannya pada berbagai nikmat yang telah Allah swt berikan padanya, dan ia pun mengakuinya. Lantas Allah swt bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya telah mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Alquran karena-Mu. Allah swt berfirman, ‘Kamu berdusta. Akan tetapi kamu belajar agar kamu disebut-sebut sebagai orang alim dan kamu membaca Alquran agar kamu disebut-sebut sebagai qari’ dan kenyataannya kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Selanjutnya seorang yang diberi keleluasaan oleh Allah swt dan dikaruniai beragam harta benda, lantas ia dihadapkan, lalu Allah swt mengingatkan kepadanya berbagai nikmat yang telah Allah swt berikan padanya, dan ia pun mengakuinya. Lantas Allah swt bertanya, ‘Apa yang telah engkau perbuat dengan berbagai nikmat itu?’ Ia menjawab,’Saya tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau buka melainkan saya pasti berinfaq padanya karena-Mu.’ Allah swt berfirman, ‘Kamu berdusta. Akan tetapi kamu melakukan hal tersebut agar kamu disebut-sebut sebagai orang yang dermawan. Dan kenyataannya kamu telah disebut-sebut demikian.’ Kemudian orang tersebut diperintahkan agar diseret pada wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”

Naudzubillahimindzalik..

Alangkah merugi mereka yang beramal dengan banyaknya namun ternyata hanya kesia-siaan bersebab niat yang salah, amalan itu tak mendatangkan apapun bagi mereka melainkan celaka saja.

Dalam beramal, kita senantiasa dituntut untuk melakukan upaya terbaik. Sejak dulu kita diperkenalkan dengan kata-kata bijak ‘Barangsiapa menanam maka ia akan menuai’, ‘Upaya terbaik menciptakan hasil terbaik’. Setiap orang berlomba-lomba melakukan yang terbaik, menjadi yang terbaik, dan menghasilkan yang terbaik. Begitu pula dalam hidup seorang muslim. Seperti dikatakan dalam ayat Alquran,

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An Najm:39)

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (At Taubah:105)

Amalan seorang muslim disebut sebagai perwujudan dari cinta kepada-Nya. Maka sebesar kecintaannya pada Allah, sebesar itu pula seseorang akan berusaha melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan dalam amalnya. Pertanyaannya, adakah amalan kita selama ini kita tujukan untuk-Nya?

Pertama kali membaca hadits di atas, saya berpikir adakah kita benar-benar dapat mengetahui, amalan-amalan yang kita kerjakan itu dilakukan semata karena Allah atau tidak? Mungkin kita dapat selalu meyakinkan diri kita dengan bisikan ke dalam hati “Ya, Aku melakukan ini karena Allah”, tetapi bila pada akhirnya amalan itu diikuti keinginan “Agar kita terlihat unggul”, “Agar orang-orang tahu seberapa baik diri kita”, masih ikhlaskah kita? Karena rasa sombong dan merasa lebih baik dari yang lain itu amat halus jalan datangnya. Boleh jadi kita tidak betul-betul tahu perasaan semacam itu ada menyelinap di hati kita atau tidak. Ini juga berlaku untuk kita yang bekerja di dalam sebuah lembaga atau organisasi. Penting untuk selalu merenungkan atas dasar apa sebetulnya kita berjuang, sebatas nama baik organisasi kah atau semata-mata ingin menunjukkan pada Allah bukti cinta yang dilakukan dengan perjuangan demi mendapatkan ridho-Nya?

Barangkali inilah yang kemudian membuat manusia sepatutnya selalu berada di antara khauf dan raj’a, yaitu rasa takut sekaligus harap. Takut dan bertanya-tanya atas kejujuran hati dan kebersihan niat yang kita jadikan landasan dalam beramal. Juga harap bahwa Allah tak akan mungkin menyia-nyiakan keimanan dan ikhtiar hamba-Nya walau mungkin ia tidak sempurna.

Karena kita diperintahkan untuk beramal dengan upaya terbaik namun amal pun tiada dapat menjamin keridhoan Allah atas diri kita. Maka pastikan kejujuran hati dan kekuatan iman tertanam dalam-dalam di hati kita. Ini juga salah satunya mengapa Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bermuhasabah atau mengevaluasi diri. Agar ketika menyadari penyakit hati telah datang sembunyi-sembunyi, kita dapat segera beristighfar, bertaubat, dan kembali lagi pada Allah. Karena siapa lagi yang dapat menjamin diri kita selain Allah Azza wa Jalla?

Wallahu’alam bishshowab..

Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin..
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seluruh alam.” (dakwatuna.com/hdn)

Copywriter di perusahaan software development bervisi Islami di Depok, PT. Badr Interactive. Passionate dalam menyampaikan dakwah melalui teknologi dan konten marketing.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...