Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Muhammad bin Wasi’, Murabbi yang Rabbani

Muhammad bin Wasi’, Murabbi yang Rabbani

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (vivirconemociones.blogspot.co.id)
Ilustrasi. (vivirconemociones.blogspot.co.id)

dakwatuna.com – Generasi terbaik adalah generasi sahabat, kemudian generasi tabiin, kemudian generasi tabiit tabiin. Di antara sebabnya adalah karena dekatnya mereka dengan ruh dan nilai kenabian, banyaknya ulama, murabbi, dan pemimpin yang terpercaya dan andal yang membimbing, mengarahkan dan menjaga umat dari ketergelinciran.

Di antara tokoh ulama dan murabbi terbaik pada masa tabiin adalah Muhammad bin Wasi’. Nama lengkap beliau Muhammad bin Wasi’ bin Jabir bin Akhnas, imam rabbani, sang teladan, Abu Bakar al-Azdi al-Bashri.

Muhammad bin Wasi’ adalah seorang imam rabbani, perawi hadis yang terpercaya, panutan dan tokoh ulama tabiin dari Bashrah, integritas ilmu dan keshalihannya sudah diakui oleh ulama di zamannya maupun generasi setelahnya.

Beliau adalah murid sahabat yang agung, Anas bin Malik, beliau juga sahabat karib tokoh besar Malik bin Dinar, dan Hasan Al-Bashri yang merupakan syaikh tabiin menjulukinya dengan zainul Quran. Ibnu Syudzab berkata: Jika di tanya siapa penduduk Bashrah yang paling utama, maka dia adalah Muhammad bin Wasi’.

Beliau meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Ubaid bin Amr, Mutarrif bin Syakhir, Abdullah bin Shamit dan Abu Shalih Siman, dan Sirin, serta ulama’ lainnya. Beliau meriwayatkan sekitar lima belas hadis.

Murabbi yang Rabbani

Muhammad bin Wasi’ di kenal sebagai salah seorang ulama rabbani yang haus ilmu, semangat mengamalkan apa yang telah dipelajarinya, kemudian menyadari tugas dan tanggung jawabnya mendidik dan mentarbiyah masyarakat dengan nilai-nilai Rabbaniyah, nilai-nilai keislaman yang sempurna dan menyeluruh, yang tidak rela kecuali pemahaman yang utuh.

Tidak mengasingkan diri dan menjauh dari keramaian masyarakat dan hanya puas dengan puasa, shalat, dan bermunajat saja, tapi terus menempa diri dengan sikap keras terhadap hawa nafsunya, namun sekaligus menerjunkan diri dalam hiruk pikuk permasalahan yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya, kemudian berkontribusi untuk menyelesaikan persoalan zamannya.

Beliau juga menjadi murabbi yang sukses menggabungkan kekuatan sisi spiritual, kemudian diiringi dengan terjun ke medan perang menyambut seruan jihad. Tidak banyak mereka yang bisa merasakan manisnya air mata yang tertumpah saat bermunajat dan berkhalwat, dengan panasnya debu dan darah di medan perjuangan.

Kehadiran ulama rabbani dalam medan jihad adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh pasukan Islam, karena mereka memberikan suntikan semangat dengan kekuatan ruh mereka. Maka wajar jika wali Khurasan, Qutaibah bin Muslim saat melawan tentara musuh yang menggetarkan, ia mencari-cari sosok Muhammad bin Wasi’ dan ketika ia mendapati ulama’ tadi lengkap dengan senjata panahnya dan menengadahkan jemari tangannya, berdoa khusyu’ di pojok masjid, maka Quaibah berkata : Sungguh, jari-jemari itu lebih aku sukai daripada seratus ribu pedang yang terhunus dan seratus ribu pemuda yang gagah perkasa.

Maka wajar pula jika Al-Warraq berkata: Kita akan tetap dalam kebaikan sepanjang Tsabit al-Banani, dan Muhammad bin Wasi’ ada di tengah –tengah kita. Iya, karena merekalah yang menjaga gawang akidah dan akhlak umat, yang membersamai mereka dengan ilmu dan taujihat.

Mendidik dengan keteladanan

Tak bisa dipungkiri bahwa qudwah atau keteladanan mutlak dibutuhkan oleh masyarakat. Karena manusia diciptakan dengan karakter suka memperhatikan, meniru, dan mencontoh orang lain, terutama orang yang di anggap lebih darinya, baik dari sisi keilmuan atau yang lain. Dan teladan yang baik adalah modal mendidik dan mengajak orang lain pada kebaikan. Sebaliknya, contoh yang buruk akan menjadi alasan dan pembenaran orang-orang menolak kebenaran dan melakukan keburukan.

Imam Ibnu Qayyim menyebutkan penyebab fenomena berpalingnya manusia dari dai dan ulama dan keengganan mereka mengambil hikmah adalah karena banyak dari duat dan ulama itu tidak memberikan keteladanan:

“Ulama yang buruk itu adalah mereka yang duduk di pintu surga. Dengan perkataannya mereka mengajak manusia untuk memasuki surga. Namun dengan perilakunya, mereka mengajak manusia untuk masuk neraka. Maka setiap kali lidah mereka berkata kepada manusia: “Kemarilah kalian”, namun pada saat yang sama perilaku mereka berkata: “jangan dengarkan ucapannya”! Seandainya ajakannya itu benar, maka mereka adalah orang-orang yang pertama kali melaksanakannya. Sosok mereka adalah penunjuk jalan, namun pada kenyataannya mereka adalah para begal” .[1]

Muhammad bin Wasi’ termasuk ulama yang sukses mendidik masyarakat dengan keilmuan serta contoh nyata, dengan qudwah melalui kepribadiannya yang agung dan karakternya yang penuh karisma.

Ahli ibadah

Muhammad bin Wasi’ terkenal dengan kekuatannya melaksanakan ibadah yang luar biasa. Abu Thoyyib Musa bin Yasar memberikan kesaksiannya: Aku menemani Muhammad bin Wasi’ ke Mekkah, dan ia shalat sepanjang malam di atas kendaraan dan dengan isyarat.

Sulaiman At-Timi berkata: Tidak seorang pun yang aku ingin menjumpai Allah dengan catatan seperti amalnya selain Muhammad bin Wasi’.

Ja’far bin Sulaiman: Jika aku merasa hatiku keras, maka aku pergi dan memandang wajah Muhammad bin Wasi’.

Mu’tamir menceritakan perkataan ayahnya: Aku tak pernah menjumpai seorang pun yang lebih khusyu’ dari Muhammad bin Wasi’.

Menyembunyikan ibadah dan ketaatan

Menyembunyikan ketaatan agar menjadi rahasia antara dirinya dengan Rabbnya semata adalah salah satu sifat yang utama, namun ia bukanlah perkara yang mudah. Dan ulama rabbani berjuang keras agar keutamaan dan keshalihannya tidak tersebar dan menjadi pembicaraan orang banyak. Ada di antara mereka yang pura-pura flu ketika ketahuan sedang menangis dalam ibadah. Mereka menumpahkan air mata saat bermunajat dalam kamar pribadinya. Atau berpuasa tanpa ada yang menyadarinya.

Ketika berkenalan dengan seseorang yang di beri gelar Yahya si tukang tangis, Muhammad bin Wasi’ mengingkari hal itu dan berkata: Sesungguhnya hari terburuk kalian adalah saat kalian dinisbahkan pada tangisan dan terkenal karena banyak menangis.

Muhammad bin Wasi’ menceritakan ada seorang laki-laki yang menangis selama dua puluh tahun tanpa di ketahui oleh istrinya. Sebenarnya ini adalah pengalaman pribadinya, namun beliau menceritakan dengan halus dan dengan tokoh fiktif agar orang meneladani sikapnya, bukan memujinya.

Wara’ dan Zuhud pada Dunia

Banyak riwayat tentang ucapan dan sikap Muhammad bin Wasi’ yang menunjukkan sikap zuhudnya. Sebagai misal, suatu hari Muhammad bin Wasi’ makan roti kering yang dibasahi dengan air dan diberi garam, lalu berkata: Barang siapa ridha dengan ini, dia tidak akan membutuhkan bantuan orang lain.

Atau perkataannya: “Beruntunglah orang yang saat sarapan, ia belum mendapat apa yang akan di makan untuk makan malam dan Allah ridha padanya”.

Hamad bin Zaid meminta nasehat dan Muhammad berkata: Aku berwasiat kepadamu agar menjadi raja dunia dan akhirat, dengan zuhud pada dunia.

Muhammad bin Wasi’ berkata: Aku benar-benar iri pada orang yang memiliki kekuatan agama tapi tak punya dunia dan ia ridha dengan hal itu.

Bahkan ketika ada urusan yang mendesak dan terpaksa butuh pertolongan, ia tetap berharap pada Allah semata dan tidak meminta dengan memaksa, seperti saat ia mendatangi Qutaibah bin Muslim, ia mengatakan: Aku punya keperluan yang telah aku sampaikan pada Allah sebelum mendatangimu. Jika engkau membantuku, maka aku memuji Allah dan berterima kasih padamu. Namun jika tidak, aku memuji Allah dan memaklumimu.

Rendah hati

Ulama sekaliber Muhammad bin wasi’, dengan berbagai prestasi gemilang, namun dari lesannya keluar ungkapan yang penuh kerendahan hati ini: “Jika dosa itu menebarkan baunya, maka tak seorang pun mau duduk denganku”.

Suatu ketika ada seseorang yang mengeluhkan sikap anaknya, maka Muhammad bin Wasi’ menasihati anaknya: Apakah kau akan berlaku semena-mena, sedangkan ibumu dulu aku beli dengan harga empat ratus Dirham, dan ayahmu ini, semoga Allah tidak memperbanyak orang sepertiku di kalangan kaum muslimin.

Bahkan saat sakaratul maut ia berkata pada orang-orang yang mengunjunginya: wahai Ikhwah, tahukah kalian ke mana Allah akan membawaku? Kepada neraka atau Allah kan mengampuniku.

Wara’

Imam Muhammad bin Wasi’ juga terkenal dengan sikap wara’ atau kehati-hatian dengan meninggalkan hal-hal yang di boleh agar selamat dari hal yang dilarang.

Di antara sikap kehati-hatiannya adalah saat beliau menolak jabatan meski di ancam akan dicambuk sebanyak tiga ratus cambukan. Karena baginya direndahkan manusia di dunia lebih baik daripada dihinakan di akhirat bila tak mampu menunaikan amanah. Dan menurutnya orang pertama yang di panggil untuk di hisab adalah hakim.

Suatu hari ia di undang oleh seorang pejabat dan ia menawarkan sesuatu tapi ditolaknya, maka pejabat tadi berkata: Kamu ini bodoh. tapi dengan santai Muhammad bin Wasi’ menjawab: Aku sudah terbiasa di hina dengan kata ‘kamu bodoh’ sejak aku masih kecil.

Hati yang penuh ma’rifah

Suatu hari Muhammad bin Wasi’ ditanya tentang kabarnya, dan ia menjawab: Ajalku telah dekat, harapanku masih jauh, dan amalku amat buruk.

Di antara hasil renungannya adalah: “Aku tak menginginkan dari dunia ini kecuali tiga hal: Saudara yang meluruskanku jika aku bengkok, rizki sederhana yang tak akan di pertanggungjawabkan, serta shalat jamaah yang menghapus kelalaian shalatku dan keutamaan yang di tulis untukku.

Muhammad bin Wasi’ berkata pada Malik bin Dinar: Wahai Abu Yahya, menjaga lesan lebih berat bagi manusia daripada menjaga dinar dan dirham.

Seseorang melihat luka di kaki Muhammad dan berkata; Sungguh aku kasihan melihat korengmu ini. Maka beliau menjawab: Sungguh aku sangat bersyukur sejak luka ini muncul, karena ia tidak tumbuh di mataku

Setiap hari bada shalat subuh Muhammad bin Wasi’ berdoa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah menguasakan atas kami musuh yang mana ia dan kawannya melihat kami sedangkan kami tak mampu melihat mereka, maka buatlah mereka berputus asa mengganggu kami sebagaimana Engkau telah membuatnya berputus asa dari rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maka Kuasa atas segala sesuatu.

Ia juga berkata: Jika seorang hamba menghadapkan kepada Allah dengan segenap hatinya, maka Allah akan menghadapkan hati-hati hambanya kepadanya.

Meski demikian, Muhammad bin Wasi’ bukanlah pribadi yang sangat serius dan kaku. Beliau juga memiliki sahabat dan bergaul akrab dengan mereka. Sampai –sampai ia pernah masuk dalam rumah Al-Hasan dan memakan hidangannya tanpa ijin karena kedekatan persahabatan antar mereka.

Imam yang agung, qudwah, murabbi andal dan penjaga agama ini wafat tahun 123 Hijriyah, semoga Allah merahmati beliau dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang meneladani kebaikannya.

Sumber: Siyar A’lam an-Nubala’, Ihya’ dan lainnya.

(dakwatuna.com/hdn)

[1] ( Al Fawaid hal. 61)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar dan penerjemah yang memiliki minat pada issu seputar wanita dan pendidikan.

Lihat Juga

Lelah dalam Ketaatan

Figure
Organization