Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Pemimpin Tawadhu, Harapan Rakyat

Pemimpin Tawadhu, Harapan Rakyat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (collegeaffairs.in)
Ilustrasi. (collegeaffairs.in)

dakwatuna.com – Di tengah krisis kepercayaan yang menimpa para pemimpin kita saat ini, ada baiknya kita merenungkan kembali pesan-pesan moral seperti penggalan dua kisah di bawah ini. Pertama terungkap dalam pidato Sayyida Abu Bakar Shiddiq ketika dilantik menjadi khalifah. Kedua masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat fenomenal. Dua kisah ini relevansinya sangat butuh saat ini.

Pertama, Sayyida Abu Bakar menyampaikan dalam pidato pelantikannya ”Wahai sekalian manusia, kamu telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku bukanlah yang terbaik di antara kamu, maka apabila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku. Tapi bila aku bertindak salah, betulkanlah aku. Berlaku jujur adalah amanah, dan berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah di antara kamu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, In Sya Allah. Siapa saja yang kuat di antara kamu, akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, In Sya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”.

Ini pesan utama Abu Bakar Shiddiq kepada rakyatnya yang disampaikan pada saat pelantikan menjadi khalifah. Pesan moral yang sangat menonjol seperti terungkap dalam pidato di atas, antara lain, adalah sikapnya yang sangat tawadhu, jauh dari sifat-sifat hegemonik seperti yang banyak menjangkiti sebagian para pemimpin zaman sekarang.

Kedua, Umar bin Abdul Aziz. Siapa yang tidak kenal Umar bin Abdul Aziz. Insan dengan sejarah menawan akan masa kepemimpinannya saat menjabat sebagai khalifah. Ia membalikkan 180 derajat keadaan hidupnya dari yang bermewah harta menjadi penuh dengan keterbatasan ketika dirinya diangkat sebagai khalifah. Ia juga yang dikenal sebagai khalifah yang mampu mengembalikan kesejahteraan umat Islam, hingga hampir saja pembagian zakat tak menemui si penerima karena kesejahteraan tiap muslim di kala itu. Ia juga yang menjadi penyelamat wajah Daulah Umayah di mana para raja berkuasa semena-mena dan perpecahan terjadi di mana-mana.

Tawadhu sendiri berasal dari wada’a yang berarti ‘merendahkan’. Tawadhu; merupakan perangai merendahkan kelebihan, menundukkan hati agar tidak menunjukkan ia lebih baik dari pada orang lain. Tawadhu berarti lawannya adalah riya, sombong dan ujub. Walau Sayyidina Abu Bakar Shiddiq merupakan salah seorang sahabat utama Rasulullah SAW dan sudah dijamin masuk surga, namun dalam pidatonya, Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik. Abu Bakar sadar bahwa sebagai seorang hamba dan makhluk ciptaan Allah, dia tidak sunyi dari memiliki kelemahan dan khilaf yang menjadi sifat utama makhluk Allah di bumi ini.

Karena itu untuk memimpin sekelompok umat, Abu Bakar perlu mempunyai teman yang mampu memberikan nasehat, mencetuskan ide-ide bernas, bahkan membuka hati dan minta untuk tetap memberikan teguran serta kritikan atas kinerja yang dicapainya. Andai saja sifat-sifat riya, sombong dan ujub yang menjadi pakaiannya, mana mungkin dia mau menerima ide atau pemikiran dan masukan dari orang-orang yang dipimpinnya. Apalagi untuk menerima teguran dan kritikan.

Begitu juga dengan Umar bin Abdul Aziz, tentu akan ada banyak karakteristik seorang mukmin yang bersemayam dalam diri Umar bin Abdul Aziz hingga dirinya ditaati sebagai pemimpin dan namanya tertera dalam daftar sejarah kebanggaan umat muslim. Termasuk salah satu di antaranya adalah sifat tawadhu’ beliau.

Jika sifat riya, sombong dan ujub dikekalkan, maka di antara akibat yang akan muncul adalah si pemimpin akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri. Rakyat akan di jadikan hamba abdi. Pemimpin seperti ini akan gila kekuasaan dan senantiasa minta disanjung dan dipuji. Lebih celaka lagi, rakyat akan dipimpin untuk memasuki ruang kehidupan melalui jalan-jalan maksiat sekaligus memprioritaskan program-program pembangunan yang memiliki muatan kemaksiatan. Karena itu tidak heran jika Allah dan Rasul-Nya mengisyaratkan bahwa sifat riya, sombong dan ujub merupakan penyebab utama lahirnya berbagai krisis dan persoalan bangsa, potensi yang membuat manusia terjerumus ke dalam kearogansiannya.

Tidak hina seorang pemimpin memiliki sifat tawadhu. Karena di situlah kasih sayang Allah bagi orang-orang yang senantiasa merendah hati, menundukkan sikap di hadapan manusia lainnya. Setiap manusia memiliki peluang untuk berlaku riya, sombong, dan ujub, terutama jika ada keinginan untuk memelihara dan memanfaatkannya demi kepentingan kekuasaan. Kesombongan juga dapat mengubah ketulusan menjadi nafsu tidak baik yang menempatkan rakyatnya sebagai sasaran pelampiasan nafsu kekuasaan.

Karena itu perlu disadari khususnya oleh pemimpin zaman ini, walau dirinya memimpin sebuah bangsa, hatinya tetap ingat bahwa dirinya adalah juga seorang hamba. Seorang hamba yang berwatak hamba, tuannya akan sayang kepadanya. Tetapi jika tuan berwatak hamba, Allah-lah yang akan sayang kepadanya, tiada satupun yang akan mampu menggugat dan menggusarkan dirinya.

Begitulah para pemimpin umat Islam terdahulu mengajarkan keteladanan pada kita. Umar bin Abdul Aziz memberikan gambaran keindahan tawadhu’, ketika seseorang menurunkan egonya untuk menyamakan dirinya di hadapan manusia dan merendahkan dirinya di hadapan Allah Azza wa Jala, maka ia dapatkan kemuliaan dirinya, penghargaan di hadapan manusia, dan ketinggian derajat diberikan oleh Allah.

Inilah di antara pesan moral yang masih sangat relevan dengan kehidupan bangsa kita hari ini. Para pemimpin yang baru saja terpilih, para pembawa amanah, adalah hamba-hamba Allah yang sejatinya hanya mengabdi kepada-Nya. Rakyat berharap banyak kepada pemimpinya untuk tetap santun dan merendah ketika bertemu dengannya. Pemimpin yang peduli dan tanggap dengan kondisi rakyat. Pemimpin yang tidak tuli dari kritikan dan masukan rakyatnya. Pemimpin yang mau makan satu meja dengan rakyatnya. Pemimpin yang siap turun ke bawah melihat penderitaan rakyatnya. Pemimpin yang pro terhadap program kesejahteraan rakyat, bukan mengungsikan rakyatnya demi kepentingan pengusaha dan segolongan orang. Inilah pemimpin yang diharapkan rakyat, pengabdian yang tulus dan tawadhu akan membuahkan hubungan yang mencintai di antara pemimpin dan rakyatnya. Pemerintahan yang baik adalah, pemimpin mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Pasaman bulan November 1984. Pendidikan terakhir UIN Bandung. Sekarang mengajar di SMP IT Darul hikmah Pasaman Barat Simatera Barat. Punya hobi menulis, membaca, traveling.

Lihat Juga

Harapan Masih Ada

Figure
Organization