Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Pendidikan Pemuda dan Penyakit Sekolahisme

Pendidikan Pemuda dan Penyakit Sekolahisme

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Permasalahan di Indonesia sepertinya sudah sangat terlihat konkrit dan mendalam. Hampir di segala bidang kerusakan sudah menyampaikan perwakilannya. Dari dunia pendidikan hingga para koruptor di kalangan DPR sudah sangat hambar didengar masyarakat manapun di Indonesia. Mereka terdiam seakan tak punya langkah untuk melakukan perubahan besar (pesimis). Sedangkan yang terlihat mampu merombak kehancuran, terlihat hanya mampu tersenyum atas perintah boss. Dan hal-hal yang tidak beradab kini menjadi tontonan gratis, sebagaimana virus HIV berlarian kesana-kemari tanpa batas.

Sebagai sebuah bangsa Indonesia harus bisa mengobati penyakit yang kini diderita bukan menunggunya sampai akut.“bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjangkau dan menemukan solusi atas berbagai tantangan yang menghinggapi dirinya.” begitulah anonim berkata. bahkan jika melihat kepada kaidah permasalahan dalam Alquran, Allah tidak memberikan sebuah ujian kepada manusia (bangsa) kecuali batas kemampuannya. Maka solusi bangsa Indonesia sebenarnya sudah tersedia Hanya bagaimana kita mencari dan berusaha. Tapi dalam perjalanannya, apa kita sedang bersama menuju arah sana. Atau justru sebagian besar memang membiarkan dan sengaja membiarkan bangsa dengan kepulauan terbesar ini hancur secara mental, keyakinan dan kekayaan alam.

Pendidikan adalah salah satu langkah besar untuk mengobati bobroknya mental dan pola pikir bangsa lebih lagi pemuda sebagai penerus bangsa. Di sisi lain pemuda sangat diagungkan sebagai agen of change tapi belahan lain justru pemuda yang paling besar mendapat pengaruh dari sekulerisasi pendidikan. Jika pendidikan sudah dijauhkan dari agama, sekularisme terus merajalela maka obat ini sudah terlihat seperti racun.

Dalam kitab almadzahib almu’ashiroh, sekularisme salah satunya didefinisikan ib’adud din ‘anil hayat (menjauhkan agama dari kehidupan). Barangkali beginilah pendidikan kita sehingga tak sampai pesan moral dan adab kepada para pelajar. Standar kelulusan bukan lagi taqwa dan akhlak mulia seperti dalam UU Pendidikan tapi hanya nilai-nilai berbentuk angka yang itupun sebagian sudah dimanipulasi. Akhirnya tidak ada educations effect berupa keilmuwan lebih lagi adab dan moral.

Kurikulum sekolah dan pendidik menjadi kunci dalam hal ini. Kualitas harus terjaga sebagaimana apa yang disampaikan kepada pelajar. Tercapai atau tidaknya bangsa ini kepada pancasila sila ke-2 tergantung pendidikannya. Jika pendidikan hanya sebatas nilai pelajaran dan melupakan penilaian sikap. Maka kemanusiaan yang adil dan beradab itu nonsense. Walaupun masih ada sarana pendidikan dalam ruang lingkup keluarga dan teman bermain. Tapi jika tidak ditopang dengan pendidikan formal yang benar hal ini akan terus bertabrakan.

Penyakit Sekolahisme

Pertama kali saya mendengar istilah sekolahisme dari Dr Adian Husaini dalam sebuah artikel yang berjudul “Dr Adian Husaini: Sekolahisme Bukan Pendidikan”. Tidak bisa disamakan antara sekolah dan pendidikan. Sifat pendidikan (tarbiyah) lebih fleksibel, rumah, tempat bermain dan sekolah itu sendiri adalah sarana untuk tarbiyah. Sedangkan sekolah hanya bagian dari pendidikan yang cukup berpengaruh. Pandangan sekolahisme adalah menganggap pendidikan itu sekolah, sekolah itu pendidikan. Seperti dikatakan Adian Husaini dalam artikel tersebut “… Sekolahisme adalah menyamakan pendidikan dengan sekolah”.

Efeknya adalah menganggap sekolah itu segalanya. Kelulusan menjadi harga mati ketimbang menanamkan nilai-nilai akhlak, adab dan moral. Melakukan segala sesuatu demi rapor yang baik. Bahkan akan sampai pada titik diskriminasi kepada mereka yang tidak sekolah (kuliah) atau mereka yang sekolah di tempat tidak familiar dan murahan. Sekolah akhirnya menjadi fashion pemuda.

Tragedi naas (efek sekolahisme) lainnya juga terdapat dikalangan mahasiswa. Mahasiswa yang dulunya seorang revolusioner ketika penggulingan orba kini terlihat sangat manja dengan jas alamamater, mereka berlindung di dalamnya. Ancaman nilai dari dosen lebih mereka takutI ketimbang kemelaratan masyarakat kelas bawah. Untuk ikut organisasi sebagai wasilah pengembangan diri kini menjadi hal kecil. Karena yang lebih besar adalah pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan cepat dan lulus cumlaude.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana vitalnya pendidikan bagi pemuda. kita sebagai pemuda bisa mengangkat martabat bangsa ini jika ikut berperan, peduli pendidikan kita dan tidak lupa sekitar. Karena pendidikan kita bisa membangun peradaban bukan justru melemahkan karakter. Dengan pendidikan (di manapun itu) kita berperan kepada negara bukan malah tauran sana-sini sesama pemuda. Pemuda bisa memulai langkah peradaban dengan pendidikan. Maksimalkan setiap pemuda dengan spesialisnya sehingga bangsa ini maju dalam segala aspek, ekonomi, politik, budaya, SDM memadai, kekayaan alam ditangan kita. Semoga saja. Wallahua’lam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Azhar Fakhru Rijal, Mahasiswa Ma�had Aly Annuaimy dan Anggota FLP Jakarta, pernah juga menjadi pimred madding Al-Furqon Post (ponpes Alfurqon).

Lihat Juga

Pantaskah untuk Menyakitinya?

Figure
Organization