Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Lentera Jiwa

Lentera Jiwa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (markazimammalik.com)
Ilustrasi. (markazimammalik.com)

dakwatuna.com – Jiwa manusia lapuk. Jika tidak mendapat asupan  iman maka ia menjadi keruh ataupun gersang. Pemiliknya akan merasa tidak ada penghambaan juga ketaatan. Maka yakinlah akan merajalela kemaksiatan, dan kita tinggal menunggu kehancuran. Itulah salah satu potret kehidupan tanpa adanya iman.

Tapi apa jadinya jika di dalam jiwa dihiasi dengan kenikmatan iman. Ruhani yang senantiasa memuji akan kebesaran dan Maha Agungnya penguasa semesta alam. Kehidupan akan penuh dengan ketaatan dan penghambaan, lisan-lisan akan saja terus mengucap dzikir dan syukur.

Maka kenikmatan itulah yang dirasakan oleh Abbad bin Bisyr pada saat diminta oleh Rasulullah untuk berjaga pada suatu perjalanan malam. Hatinya tergiur untuk melakukan ibadah. Memuji Allah dan segala keagungan-Nya. Ia larut dalam lantunan tilawah yang indah dan syahdu. Hingga suatu ketika seorang musuh datang mengintai dan melepaskan anak panah tepat mengenai dirinya. Ia hanya mencabut anak panah itu kemudian melanjutkan bacaan dan kembali tenggelam dalam kekhusyukan shalat. Anak panah kedua kembali bersarang di tubuhnya, lalu dicabutnya seperti semula. Kemudian kembali anak panah ketiga mengenainya, lalu ia kembali cabut seperti semula.

Pasca kejadian itu rekannya bertanya kepada Abbad, lalu ia hanya menjawab,  “Aku sedang membaca Al-Quran dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah kalaulah tidak karena takut menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dalam shalat,” jawab Abbad. Subhanallah!

Iman itu tumbuh di dalam diri para sahabat Rasulullah ketika mendakwahkan Islam. Ia mendapat penerang yang bisa kita sebut dengan lentera jiwa. Kita melihat betapa indah curhat salah sahabat kepada Abu Bakar perihal dirinya. Ia mengadukan bahwa dirinya telah menjadi munafik. Abu Bakar pada suatu kesempatan bertemu dengan Hanzhalah seraya berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?” sahabatnya  menjawab, “Munafiklah Hanzhalah!” Abu Bakar terkejut seraya berkata, “Subhanallah! Apa yang kau katakan?” Sahabat ini menimpali, “Kami pernah berada di sisi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang mengingatkan kami mengenai neraka dan surga hingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala kami. Akan tetapi ketika kami beranjak dari sisi beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam, kami kembali tersibukkan dengan istri-istri dan anak-anak kami, kami kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan kami banyak lalai.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami pun sering seperti itu.”

Lentera jiwa begitu dahsyat pengaruhnya. Cahayanya menerangi kehidupan manusia yang awalnya dipenuhi dengan kegelapan. Hingga Islam ini bisa menguasai dua pertiga daratan dunia. Menebar rahmat menumpas segala kesewenang-wenangan.

Lentera jiwa bisa menerangi kehidupan seseorang itu butuh namanya perantara. Media yang bisa menyatukan frekuensi antara masing-masing orang agar bisa menjadi satu visi. Saling menguatkan antara satu dengan yang lain agar tetap menyatu di dalam satu barisan yang kokoh dan rapi . Dan media itulah yang kita sebut dengan tarbiyah.

Tarbiyah, di mana ia menjadi madrasah Rasulullah untuk melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki cerita menyejarah. Masing-masing sosok yang memiliki ciri khas dan juga kharisma. Kehadirannya  dilirik dan menyita perhatian dunia. Dan tarbiyah inilah yang dilakukan oleh Rasulullah kepada orang-orang di Makkah dan Madinah sehingga mereka berubah dari segi pemikiran, akhlak, perilaku tapi tidak mengubah karakter.

Tarbiyah yang mengubah sosok anak muda yang kita kenal dengan nama Abdullah bin Zubair menjadi orang yang tangguh di dalam medan laga. Usianya baru 17 tahun sudah menjalankan  ekspedisi besar menggempur Afrika membebaskan mereka dari kesesatan. Keluar dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah. Karena selalu saja tarbiyah orientasinya adalah perubahan, dan perubahan adalah suatu kepastian. Jika bukan kira yang berubah atau mengubah, maka harus bersiap-siap diubah oleh zaman.

Di tengah prestasi Islam di masa silam, juga tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih ada yang kurang. Lentera itu masih seolah redup di sekitar kita. Tidak bayak yang paham tentangnya, mau membawa panjinya apalagi memikul berat bebannya. Memang ia tidak terang benderang dengan kilatan cahaya yang menyilaukan. Ia bergerak dan beranjak dari kesederhanaan, dan membawa manusia pada penerangan iman untuk sebuah misi perubahan yang besar.

Walaupun hanya sekedar lentera, tapi bukan berarti dengan frasa itu dia tidak memiliki arti apa-apa. Walau hanya sekedar lentera tapi degan kesederhanaan, ia mampu tetap hidup walau diterpa badai dan angin kencang. Karena pada dasarnya ia memiliki marwah untuk tetap bisa hidup.

Bersama dengan lentera itu yang memiliki cahaya redup,  kita juga diajak untuk memiliki kepekaan hati, ketajaman rasa, keluasan ilmu, kedalaman pemahaman, keluhuran budi pekerti, kelapangan dada, kesabaran memaknai keadaan yang ada. Maka dengannya tarbiyah harus senantiasa terjaga, untuk tetap menghidupkan ruh iman di dalam jiwa, sebagaimana para sahabat Rasulullah yang merasakan kelesuan iman jika telah meninggalkan majelis beliau.

Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa lentera jiwa yang medianya adalah tarbiyah bukan satu-satunya sarana untuk menerangi hati manusia dari kegelapan itu. Kata bukan memang menjadi penyadaran bahwa lentera ini tidak menjadi keniscayaan, tapi kehadirannya bukan berarti untuk dinafikan. Karena sekali lagi di sini kita sedang berbicara tentang perjuangan.  Maka ia tidak akan pernah lepas dari yang kita sebut dengan pengorbanan.

Bukan pula dalam konteks berbicara soal jumlah, kuantitas, tapi lebih dari sekedar itu. Karena pada dasarnya pengorbanan bukan harus selalu diukur dengan semua logika itu. Ia memiliki cerita dan kisahnya sendiri yakni seberapa besar kerelaan orang-orang yang ada di dalamnya dalam mengemban tugas mulia itu. Dan inilah yang kita sebut dengan kata ikhlas.

Sebab ruh perjuangan hanya bisa menggerakkan raga manusia ketika telah berdiri di atas dasar akidah yang kuat, akhlak yang mulia, pemaham bersih dan keikhlasan dari masing-masing pribadi. Tanpa itu semua maka jiwa seseorang masih butuh lentera, ia memerlukan penerangan dengan tarbiyah, dan ia hanya ditemukan di dalam jamaah. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization