Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Tidak Ada Istirahat di Jalan Perjuangan

Tidak Ada Istirahat di Jalan Perjuangan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Alkisah seorang sahabat senior yang sudah sangat tua umurnya, lemah badannya, tertatih jalannya, ditegur oleh seorang muda yang merasa kasian ketika melihatnya. Sahabat senior tersebut dengan segala keterbatasannya masih semangat untuk berjihad fi sabilillah, padahal umurnya sudah mendekati satu abad. Ia merupakan seorang yang tak pernah absen dalam jihad fii sabilillah, kecuali pada satu waktu ketika ia izin untuk menunaikan ibadah haji. Telah banyak perjuangan dan pengorbanannya untuk tegaknya agama Islam. Kini ketika usianya menua, sudah sepantasnya ia menikmati istirahat yang nyaman. Mempergilirkan tongkat perjuangan kepada generasi di bawahnya. Dan itulah yang ada di pikiran si anak muda. Menurutnya, dan memang semua orang secara umum ketika itu berpendapat begitu—bahkan Yazid bin Muawiyah pada episode lain juga berpendapat yang sama: sudahlah pak, Anda sudah tua, biarkan perjuangan ini jadi tanggung jawab kami yang muda, silakan Anda istirahat saja menikmati masa tua Anda. Sejujurnya kami tidak tega melihat orang setua Anda harus terjun ke medan perang….

Tapi orang tua ini tak gentar. Ia adalah seorang yang mendengar langsung Nabi  bersabda “Latuftahannal qastanthiniyyah, falani’mal amiir amiiruha, walani’mal jaisy, dzalikal jaisy”. “Sungguh akan takluk Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan itu, dan sebaik-baik pasukan adalah yang membersamainya”. Orang tua itu akhirnya diketahui bernama Abu Ayyub Al-Anshari, seorang yang ikut serta dalam baiat Aqabah kedua ketika usianya sekitar 47 tahun.

Melihat kegigihan orang tua tersebut, anak muda yang merasa sangat kasian melihatnya harus turun perang di umurnya yang sudah sangat tua ini kemudian mengutip ayat Al-Quran, Al-Baqarah ayat 195:

Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Dalam pengertian dia, ayat ini menjadi dalil agar orang tua itu “tidak menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan”. Tentu saja, bukankah ikut perang di usia yang sudah senja, dengan gerakan yang tak lagi segesit ketika muda, sama dengan menjatuhkan diri pada kematian? Anak muda ini begitu khawatir orang tua itu justru menjerumuskan dirinya sendiri dengan ikut perang, dan dengan dalil ayat ini ia sangat yakin sebaiknya orang tua tersebut menepi saja. Masuk akal, bukan? Seorang yang sudah sangat tua, keikutsertaannya di perang justru akan membinasakan dirinya, sementara Alquran melarang membinasakan diri sendiri, sehingga seharusnya orang tua itu tak ikut perang. Begitulah yang ada di pikiran si anak muda.

Namun alih-alih gentar, ketika anak muda itu membacakan ayat tersebut, Abu Ayyub justru gusar. Ia lalu bertanya, “wahai anak muda, tahukan kau apa makna ayat yang kau bacakan itu?”

Sebab Abu Ayyub tahu betul apa maknanya. Ia hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat 195 dari surat Al-Baqarah tersebut. Dan konteksnya sangat berbeda dengan yang dimaksud oleh si anak muda.

Ayat itu turun ketika kaum Anshar (orang-orang asli Madinah yang menerima dan terus membersamai beliau semenjak hijrah) meminta keringanan kepada Rasulullah untuk “cuti dari perjuangan—jihad fii sabiilillah”. Mereka merasa sudah terus bersetia dalam mendukung dan membantu Rasulullah beserta para Muhajirin. Mereka menyediakan tempat tinggal, menyiapkan makanan, ikut dalam semua peperangan untuk mempertahankan agama Islam, berjuang bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu peperangan terjadi begitu banyaknya, dari mulai yang besar sampai yang kecil, dari mulai yang defensif mempertahankan Madinah dari gempuran musuh, sampai yang ekspansif menyerang kediaman musuh pasca perang Khandaq, dari mulai peperangan dengan perlawanan sampai peperangan tanpa kekerasan karena musuh memilih untuk menyerah duluan. Kaum Anshar ikut dalam semua proses itu, terlibat langsung sebagai salah satu tokoh utama yang berperan besar dalam meraih kemenangan.

Wajar jika kemudian mereka meminta keringanan untuk beristirahat sejenak. Alasan mereka pun sangat masuk akal: “wahai Rasulullah, kami harus mengurusi kebun-kebun kami, mengurusi keluarga-keluarga kami”. Ketika itu peperangan memang sangat banyak jumlahnya, jarak antara satu perang dengan perang berikutnya begitu pendeknya, sehingga sering kali tak memberikan jeda bagi mereka untuk beraktivitas seperti biasa. Jika mereka terus-terusan berada di medan perang, lantas siapa yang mengurusi kebun-kebun dan keluarga mereka? Bukankah aktivitas ekonomi dan keluarga tak kalah pentingnya?

Dan apa jawaban Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau hanya mengutip sebuah ayat:

Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Ya, ayat yang dikutip beliau adalah Al-Baqarah ayat 195, ayat yang sama yang kelak dibacakan si anak muda kepada Abu Ayyub, tapi dalam pemaknaan yang jauh berbeda. Ayat itu turun bukan sebagai pembenaran untuk menepi dari jalan perjuangan, tapi justru sebagai sanggahan atau penolakan terhadap permintaan “cuti” yang diajukan oleh kaum Anshar. Mereka memang sudah berjuang banyak, berkorban begitu dahsyat, bersetia tanpa syarat, tapi itu semua tidak bisa menjadi alasan untuk sejenak berhenti dari keikutsertaan dalam peperangan. Tidak ada urusan perizinan dalam masalah ini!

Yang dimaksud oleh ayat tersebut dengan “menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri” bukanlah berangkat perang dengan “modal nekat” seumpama Abu Ayyub dalam pandangan si anak muda, tapi yang dimaksud adalah menyengaja (yang artinya dengan sepenuh kesadaran) untuk tidak ikut serta dalam peperangan, atau dalam konteks yang lebih luas: menyengaja untuk izin dan cari-cari alasan untuk menghindar dari agenda dakwah dan perjuangan. Dan, Masya Allah, Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu begitu memahami ayat ini sehingga di usia senjanya masih semangat untuk berangkat perang, menegakkan kalimat Islam.

Ikhwah fillah, kisah tersebut seharusnya jadi tamparan keras buat kita. Siapa kita dibandingkan Abu Ayyub Al-Anshari? Siapa kita dibandingkan orang-orang Anshar? Betapa jauh pengorbanan dan perjuangan kita di jalan dakwah dibandingkan dengan mereka, tapi kenapa sering kali kita merasa memiliki hak untuk menepi, beristirahat menikmati diri sendiri? Betapa sering kemudian kita merasa telah berkorban banyak, lalu menganggap diri sudah tua dan menyerahkan seluruhnya kepada kawan atau orang-orang di bawah kita? Seberapa sering kita merasa jumawa, merasa yang paling mengerti dan paling berbuat banyak untuk dakwah, lalu menjadikannya alasan untuk sejenak (yang biasanya kebablasan) berhenti dari agenda perjuangan? Kita padahal baru bicara perjuangan dengan semampu kita dan belum bicara perang.

Atau jangan-jangan, kita ini memang “generasi afwan”.

“Afwan ustadz, ane gak bisa hadir liqa karena harus ngerjain tugas kuliah”. “Afwan akh ane gak bisa bantu di kepanitiaan syiar ini karena takut kecapekan dan gak bisa ngatur waktu”. “Afwan ane lagi ngurusin bisnis, belum bisa bantu-bantu di dakwah”. “Afwan dek, sekarang giliran antum yang ngurusin, ane istirahat ya karena tahun kemarin udah ngurusin banyak”. “Afwan…”

Subhanallah, dengan semua alasan yang kita kemukakan untuk menepi dari jihad fii sabilillah, tanpa sadar kita sebenarnya sedang dalam proses menjerumuskan diri kita sendiri dalam kebinasaan, sebagaimana makna yang terkandung dalam Al-Baqarah ayat 195. Jika para aktivisnya menjerumuskan diri dalam kebinasaan, pantas jika kemudian gerak perjuangan itu sendiri seolah-olah buntu dan terasa tak berkembang.

Padahal jalan perjuangan ini adalah satu-satunya jalan yang tak memiliki batas waktu, tidak seperti jam kuliah dan jam kerja. Kuliah dan kerja ada waktunya sendiri, dan ia terbatas, di luar itu kita bebas. Tapi jalan ini waktunya tak terbatas, sebagaimana curhatan Nuh ‘alaihissalam kepada Allah yang diabadikan di surat Nuh: “Ya Allah.. sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam..”. Dakwah ini menuntut 24 jam dalam sehari kita, 30 hari dalam sebulan kita, 12 bulan dalam setahun kita, dan seluruh tahun dalam umur kita, tanpa ada waktu cuti atau jeda. Karena memang tak ada waktu istirahat. “Laa raahah illaa fil-jannah”. Istirahat kita adalah di surga Allah (Aamin yaa rabbal ‘aalamiin, semoga Allah memasukkan kita ke sana). Dan mau tidak mau kita harus siap, jangan lemah dan jangan melemah-lemahkan kekuatan kita, karena sesungguhnya Allah tidak akan membebani melampaui kesanggupan kita. Hanya saja sering kali justru kita sendiri yang menurunkan standar kesanggupan kita.

Ikhwah fillah, alasan bisa dicari-cari, tapi Allah Maha Tahu apa yang ada di dalam hati. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan.

Wallahu a’lam bishshowaab

Elaborasi materi Madzik 1, 20 Februari 2016

(dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Tertarik pada Ekonomi Internasional. Ketua Umum Forkoma UI Banten dan merupakan Santri Pesantren Mahasiswa Yayasan Keluarga Muslim FEB UI

Lihat Juga

Kau Pejuang atau Pecundang?

Figure
Organization