Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Jalan Baru Ghazwul Fikri

Jalan Baru Ghazwul Fikri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Grafis LGBT adalah penyakit. (facebook)
Grafis LGBT adalah penyakit. (facebook)

dakwatuna.com – Isu mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) selalu mengundang pro dan kontra masyarakat. Hal ini disebabkan pada beberapa waktu terakhir, LGBT menjadi populer di masyarakat. Tahun 2015 lalu, Amerika Serikat mengesahkan pernikahan sesama jenis. Sedangkan di awal tahun ini, masyarakat kembali heboh karena di beberapa perguruan tinggi ditemukan kelompok yang mendukung LGBT. Mengapa LGBT kini begitu meresahkan masyarakat? Padahal pada beberapa puluh tahun silam, tidak pernah heboh dengan masalah seperti ini. Jawabannya, inilah salah satu jalan daripada ghazwul fikr terhadap umat Islam.

Ghazwul Fikr memiliki arti perang pemikiran. Dapat diartikan pula perang antar ideologi. Dalam hal ini, adalah ideologi Islam dan ideologi non-Islam, terutama dari penganut paham kebebasan. Ghazwul fikr menjadi hal yang sangat strategis untuk menghancurkan umat Islam tanpa perlu memeranginya secara fisik. Media massa menjadi jalan tercepat untuk menyebarkan paham-paham mereka. Apalagi saat ini era globalisasi informasi sudah mengalir sangat deras ke seluruh bagian dunia. Maka, bagi umat Islam yang memiliki pemahaman agama yang tidak kuat, akan mudah terbawa keluar dari ajaran Islam, meski mungkin tidak menjadi kafir secara keseluruhan.

Sebenarnya, ghazwul fikr sudah berjalan sejak lama. Kehancuran Kesultanan Turki Ottoman diduga kuat karena melemahnya agama di kalangan generasi muda sehingga paham sekuler merasuki pemikiran mereka. Akhirnya, Kesultanan Turki Ottoman digantikan oleh sebuah negara sekuler dan wilayahnya dipecah-pecah menjadi banyak negara. Umat Islam pun menjadi sulit untuk bersatu karena sudah dikotak-kotakkan ke dalam bingkai nasionalisme negara.

Berbeda dengan masa Ottoman yang membutuhkan waktu cukup lama, kini ghazwul fikr semakin mudah dan cepat terjadi. Setelah perang dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet, kekuatan Barat menjadi terpecah untuk menyerang hal lainnya. Salah satu isu yang muncul adalah paham Feminisme yang ingin mengangkat derajat perempuan. Sekilas, hal ini terkesan baik dan dipromosikan untuk membebaskan perempuan daripada kekangan adat, tradisi, atau bahkan agama yang menghambat kemajuan perempuan dalam karier. Namun, pada akhirnya justru membuat perempuan tidak lagi mau menaati suami karena alasan kesetaraan, perempuan menuntut tidak perlu mengenakan jilbab karena alasan hak asasi, dan hal lainnya. Secara umum, feminisme ini masih terus menerus didengungkan yang membuat perempuan lupa dengan apa yang menjadi hak, kewajiban, dan bahkan fitrahnya dalam Islam.

Feminisme ini sebenarnya adalah bagian dari tema yang lebih besar, yakni HAM. Sekali lagi, ini memang terdengar indah karena memberikan kesan membela orang-orang yang tertindas. Namun pada praktiknya, konsep HAM ini menjadi kebablasan dan ditrabakkan dengan agama Islam. Paham HAM ini kemudian menjadikan manusia sebagai poros daripada kehidupan. Jika HAM yang dibawakan seperti manusia harus merdeka dari perbudakan manusia lain, ini masih sejalan. Namun, setelah apartheid dan perbudakan tidak ada lagi, kini misi yang dijalankan justru menjadikan manusia merdeka dari Tuhannya. Manusia boleh bebas menjadi apapun karena dia pemilik tubuhnya. Manusia tidak boleh dikekang oleh apapun, temasuk agama. Akhirnya, manusia tidak lagi mau diatur oleh Tuhannya. Pada tahap ini, HAM diagungkan sedangkan Tuhan dihilangkan. Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena pada hakikat manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.

Di lain hal, karena Barat merasa tidak lagi memiliki ‘lawan’ yang sepadan karena Uni Soviet runtuh dan Russia dianggap belum mampu mengembalikan hegemoninya. Sedangkan di satu sisi mereka merasa perlu untuk menunjukkan kehebatan dalam persenjataan, muncullah istilah Global War on Terror (GWOT). Dimulai dari perang Teluk di tahun 1990-an, kemudian berlanjut memerangi teroris yang dimulai pada saat peristiwa 9/11 pada tahun 2001, hingga saat ini perang melawan ISIS. Perang melawan terorisme ini dapat dikatakan menjadi bias fokus. Yang justru nampak nyata adalah perang melawan Islam, karena hanya agama Islam yang diposisikan sebagai pelaku teror. Ghazwul fikr memainkan peran dalam membuat pandangan masyarakat dunia bahwa ajaran Islam penuh dengan kekejaman, agama disebarkan dengan pedang dan perang, dan ajaran jihad yang dijanjikan surga sebagai legitimasi untuk membunuh manusia lainnya. Pada akhirnya, yang terjadi bukanlah menghentikan terorisme karena pada kenyataannya terorisme tetap ada namun justru Islamophobia semakin tumbuh.

Dampak dari adanya Islamophobia ini adalah orang menjadi takut untuk bersentuhan dengan Islam. Pelajaran agama dianggap sebagai hapalan saja yang tidak perlu dipraktikkan. Orang-orang yang berdakwah dianggap penebar teror. Masjid dijauhi karena dianggap mengajarkan kebencian. Akibatnya, pemahaman masyarakat mengenai agama tidaklah sempurna yang membuat banyak orang yang tidak kaffah dalam beragama. Ghazwul fikr pun memainkan peran dengan membuat orang gerah dengan ajaran Islam sehingga menuntut adanya pembaharuan dalam ajaran agama. Islam harus dijauhkan dari pemahaman klasik dan harus dipahami berdasarkan nilai-nilai ilmiah yang menuntut adanya bukti secara empiris. Islam diliberalkan.

Liberalisasi Islam ini bukan tanpa dukungan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan kepada publik tidak lagi ustaz atau ulama yang menjelaskan Islam secara gamblang. Melainkan tokoh yang mendukung pluralisme dan liberalisme dalam beragama yang ditampilkan media massa kepada publik. Dampaknya, masyarakat yang baru belajar agama atau tidak memiliki akar agama yang kuat, menganggap bahwa ajaran Islam yang perlu dijalankan hanyalah yang damai saja, seperti toleransi, musyawarah, silaturahmi saja yang perlu dijalankan. Sedangkan ajaran jihad dianggap sudah usang karena mengajarkan perang, Ukhuwah Islamiyah dianggap menghilangkan nasionalisme terhadap negara, dan lainnya. Ghazwul fikr sukses membuat masyarakat takut untuk mendalami agamanya, apalagi menjalaninya.

Karena masyarakat sudah takut untuk mendalami agama, anak muda sebagai generasi selanjutnya pun tidak diajarkan agama dengan baik. Kesuksesan anak kemudian diukur ketika dia mendapat peringkat tertinggi tanpa peduli dari siapa nilai itu didapat atau ketika anak sukses kuliah di Eropa atau Amerika. Maka untuk mengejar segala ambisi kesuksesan itu ditinggalkanlah pelajaran agama karena dianggap mengganggu. Hilangnya pemahaman di anak muda ini membuat generasi ini menjauh dari nilai agama. Ketika sebuah generasi menjauh dari agama, maka mudah bagi paham dan ideologi lain seperti liberalisme, sekularisme, dan hedonisme merasuki otak generasi muda.

Generasi muda menjadi korban termudah dalam ghazwul fikr. Emosi yang masih labil ditambah lagi dengan mudahnya akses informasi dari gadget yang dibawa, membuat mereka terombang-ambing dalam beragam aliran dan paham. Kini, anak muda yang tidak pacaran dianggap tidak gaul, anak muda yang tidak minum kopi di kafe mewah dianggap kampungan, anak muda yang tidak pernah mencoba bir atau wine dianggap ketinggalan zaman, orang Islam yang tidak mengucapkan selamat natal dianggap tidak toleran, pemuda Islam yang tidak merayakan valentine dianggap tidak memiliki rasa cinta. Inilah hasil dari ghazwul fikr, generasi muda yang hedonis dan lepas dari agama. Uang menjadi tujuan utama, kekuasaan dianggap sebagai jalan termudah mencapai tujuan itu. Maka tidak perlu lagi heran, korupsi, suap, dan riba merajalela. Keberkahan dari harta yang dimiliki pun menjadi hilang.

Hilangnya keberkahan inilah yang kemudian menjadikan agama semakin tidak tersentuh generasi muda. Kini, setelah sukses dengan HAM, Terorisme, dan hedonisme mulailah diterjang umat Islam khususnya yang berada di Indonesia dengan isu LGBT. Ghazwul fikr yang dilakukan adalah kembali dengan isu HAM. Bahwa orientasi seksual seseorang merupakan hak dirinya atas tubuhnya sehingga tidak perlu dipermasalahkan oleh siapapun. Toh, yang terpenting dia cerdas, dia berkarir gemilang, dia berbuat baik kepada sesama. Inilah yang berusaha mereka tanamkan.

Di tataran lainnya, ajaran Islam kembali diusahakan untuk diliberalisasikan. Tokoh-tokoh yang mengaku sebagai ‘cendekiawan muslim’ justru mengkritik ayat Al Quran dan Hadist Rasulullah yang mengharamkan LGBT dan mengiaskan dengan kisah kaum Sodom. Mereka beranggapan, bahwa kaum Sodom diazab karena perilaku seks yang salah, bukan orientasi seksual yang menyimpang, toh azab tidak juga datang. Atau malah justru mengatakan bahwa cinta itu datang dari Tuhan, maka ketika cinta itu datang kepada dirinya untuk mencintai sesama jenis mengapa perlu dilarang? Inilah sesat pikir daripada argumen mereka. Harus dipahami bahwa yang Allah tidak ciptakan memang tidak semuanya sama. Ada yang berbentuk ujian yang harus dihadapi dan diperjuangkan agar kembali ke jalan yang normal. Manusia yang sakit pun adalah pemberian Allah, tapi bukan berarti kita pasrah saja ketika sakit, tetapi menjadi keharusan untuk berobat. Ini juga yang harus kita lakukan kepada pelaku LGBT. Mereka yang terkena penyakit secara sosiologis, psikologis, ataupun genetik pasti dapat disembuhkan. Kalau kita punya penyakit, lawan dengan obat, bukan justru menerima sambil menyalahkan Tuhan yang memberikan kita penyakit.

Demikianlah beberapa jalan baru dalam ghazwul fikr. Penting untuk dipahami bahwa inilah cara mereka untuk menghancurkan umat Islam secara perlahan dan tidak disadari. Media massa seperti televisi, surat kabar, dan majalah menjadi cara yang ampuh untuk melenakan umat daripada agama. Terlena dunia akan membuat kita lupa dari agama. Ditambah lagi, saat ini gadget menjadi hal yang sangat dekat dengan kehidupan seseorang. Konten-konten yang ada pun dibuat segemerlap dunia. Kabar-kabar yang disebarkan bersifat propaganda, atau justru disebarkan berita yang membuat umat Islam saling beradu domba dalam masalah khilafiyah yang sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar. Dampaknya, umat Islam menjadi ribut dengan sesamanya dan justru ditertawakan oleh umat lainnya.

Inilah ancaman umat Islam saat ini. Solusinya tentu dengan memasuki Islam secara kaffah, menyeluruh, paripurna. Pelajari Islam dari sumber yang terpercaya dan dari ulama yang teruji kredibilitasnya serta terhindar dari fitnah. Semangat dalam memajukan Islam harus disebarkan. Terakhir, mari kita lawan ghazwul fikr ini dengan keihsanan agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Tunjukkan bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Yakinlah bahwa Allah bersama kita dalam jalan kebenaran.

Wallahu a’lam. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Alumni SMA Pesantren Unggul Al Bayan.

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-3: Persoalan Jamaah dan Komitmen (Iltizam))

Figure
Organization