Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Doa untuk Cita Adinda

Doa untuk Cita Adinda

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (cdn.k.dk)
Ilustrasi (cdn.k.dk)

dakwatuna.com – Badan yang kecil aku selimuti dengan selendang, mengusap pipi dan dahinya untuk memastikan suhu badannya mulai turun. Keringat mulai bermunculan, seperti jamur musim hujan. Aku seka dengan kain selendang yang sama, wajah anak yang terbaring dalam pelukan. Wajah anakku. Matanya terpejam tenang, nafasnya teratur. Lega rasa menatap Lastri sudah lelap tertidur. Sementara mataku justru seperti terganjal. Tak bisa dipejamkan. Hanya berputar menatap semua isi kamar, atap daun nipah, lantai kayu, dinding kayu, Lastri dan kembali berputar terus demikian.

“Hm….semoga Lastri lekas sembuh.” bisikku.

Aku berusaha memejamkan mata. Tapi sekuat dicoba, sekuat itu pula mata meronta. Kembali Lastri jadi sasaran mata yang menolak dipejamkan. Aku halau setiap nyamuk yang hendak singgah di wajahnya. Sesekali aku seka lagi keringatnya. Dalam hati aku ulang berbagai doa. Semoga kesehatan terlimpah segera, pulih seperti kemarin hari. Tubuhnya bergerak, tangan Lastri terayun menyeka mata. Aku pandangi semua geriknya. Hingga dia membuka mata. Hari telah menjelang fajar, aku ketahui dari kokok ayam bersahutan.

“Mak, Bapak belum pulang ?” Tanyanya setelah selesai mengucek mata dan kembali pada kesadarannya.

Aku usap keningnya, Aku katakan padanya.“Belum Tri, Bapak baru berangkat malah, air baru pasang”.

“Jam berapa kah Mak?”

“Sudah menjelang subuh, Sebentar lagi mungkin Adzan.” Jawabku sekenanya agar Lastri segera beristirahat lagi.

Kembali selimutkan kain yang sempat terkoyak karena polah Lastri sewaktu bangun. Dan aku tepuk-tepuk pantatnya. Kata bidan kampung, Lastri harus banyak istirahat. Agar demamnya segera turun. Sore tadi terpaksa aku bawa Lastri ke bidan, panas badan Lastri sudah menghawatirkan. Sudah dikompres tapi tak juga reda.

“Sudah berapa hari bu demamnya Lastri?” Tanya bu bidan.

“Sudah empat hari Bu, dan belum turun.” Jawabku sembari mengusap Lastri yang sedang diperiksa bu bidan.

“Kenapa baru dibawa kesini?”

Musti dijawab apa pertanyaan demikian, memang akulah yang menunda membawa Lastri ke bu bidan. Mungkin Lastri akan pulih dengan sendirinya. Tapi anggapanku salah, tak ada yang dapat aku katakan. Hingga bu bidan kembali yang berkata.

“Tidak apa bu, hanya demam biasa, ini obatnya jangan lupa diminumkan sesuai aturan bu, sehari dua kali setelah makan.” bu bidan mengulurkan tangan dengan obat di gengamannya. Serta merta aku sambut.

“Terima kasih bu, berapa bu?” tanyaku ragu

Jikalau ditarik biaya, ragu juga membayar. Di saku hanya ada uang lembar hijau. Bukan biru bukan merah, itu pun penjagaan untuk satu pekan. Khawatir benar dibuatnya, sesekali menatap Lastri. Mengusir ketakutan akan biaya periksa dan obat ini. Tapi, bu bidan tak juga segera berkata. Hanya senyuman, dan kemudian pelan berkata

“Dibawa saja bu, semoga lekas sembuh ya Tri.”

Tiada dokter untuk desa ini, hanya ada bidan. Kepadanyalah semua masalah kesehatan diadukan. Setelah badan tak lagi kuat menderita sakit. Yah, setelah badan tak lagi mampu menyembuhkan diri. Barulah aku atau warga desa lain menuju ke bu bidan. Jikalau bu bidan mengeleng tanda tak mampu itu artinya pertanda. Tak bisa sembuh seperti semula, harus dibawa ke kota. Ke rumah sakit yang tak tahu seperti apa biayanya.

“Mak, makan mak.” pinta Lastri

Matanya lemah, apalagi tubuhnya seharian baru sekali makan. Seperti orang kebanyakan, dikala sakit semua makanan akan disediakan demi hadirnya kesembuhan. Meskipun tak aku miliki makanan yang cukup dikata enak.

“Dengan mie ya, Tri?“ tanyaku.

“Tak ada ikan kah mak?”

Kelu terasa mendengar pintanya, tidak ada yang lebih ingin dilakukan seorang ibu selain dari pada memenuhi apa yang dipinta anaknya. Terasa sedikit sesak, hanya sekedar ikan aku tak mampu menyediakan. Terlebih saat sedang sakit. Aku tarik nafas dalam-dalam, melegakan diri sendiri sembari berupaya menghibur Lastri.

“Bapak baru berangkat ke laut. Ikan kering juga sudah habis, dengan mie yah?”

“Bapak belum dapat ikan kah mak?”

“Musim angin ini, tahu kan sudah dua hari angin ribut dan hujan angin? Air pasang tiap pagi dan angin kencang di lautan, bapakmu juga baru mulai melaut lagi. Semoga nanti siang tangkapannya banyak yah.”

“Nanti bapak dapat ikan mak?” Keluh Lastri lagi.

Lugu lastri bertanya, tapi aku tidak ingin memberikan harapan palsu, meskipun melaut mencari ikan, tidak ada jaminan akan mendapatkan.

“Tak tahu In. Kita hanya bisa berusaha, ya kan?”

Lastri mengangguk, kutinggal Lastri sekedar memanaskan air, untuk menyeduh mie dengan air tampungan dari air hujan.

“Kelak mau jadi apa, Tri?” Sapaku menuju lastri dengan mangkuk isi mie di tangan.

“Jadi dokter mak, biar bisa sembuhkan mamak kalau sakit.” Jawab Lastri semangat.

“Nah kalau begitu musti cepet sehat yah, biar besok bisa mulai sekolah.” jawabku sambil menyuapkan mie.

“Kenapa musti sekolah mak? “

“Biar pinter nanti kalau pinter bisa jadi dokter, yah.”

“Uum. “ Sahut lastri, mulutnya telah penuh dengan mie, senang aku memandangnya lahap makan, sekali pun hanya mie.

“Dan kalau sudah jadi dokter tidak boleh lupa yah.”

“Hm?” Hanya kedipan dan gelengen saja, mie di mulutnya membuat Lastri tak bisa berkata.

“Lupa pada ini semua, ingat-ingatlah waktu sekarang, lihat kita tidur pakai tikar pandan, atap rumah daun nipah, dinding papan kayu hutan jangan lupa dari mana Lastri berasal yah. Ak?” Lanjutku tak ijinkan mulut lastri berhenti melahap.

“Lastri ndak akan lupa mak sungguh.” Lansung disambar suapan berikutnya.

“Dan janji yah akan jadi dokter yang baik? Janji?“

“Ada dokter yang jahat ya mak?”

“Dokter itu juga manusia nak, suntikan yang tadi pagi disuntikan padamu akan jadi manfaat dalam membantu orang jadi sehat, tapi jika orang yang tidak baik maka akan tidak baik juga kan?“

“Tapi kan bu dokter baik mak.”

“In, apa pun ilmu itu hanya alat. Tergantung yang memakai, bisa jadi baik dan bisa jadi buruk, dan mamak berharap lebih padamu.”

“hm..apa mak?”

“Jangan hanya obati orang yang sakit, orang jahat yang sakit pasti juga akan datang padamu minta diobati bukan? Jika demikian setelah sembuh bisa jadi berbuat jahat lagi, atau sebaliknya orang baik pun akan datang padamu jika sakit dan setelah sembuh melanjutkan kebaikannya pula .”

“Lastri ndak mau obati orang jahat mak.”

“Dari mana lastri tahu orang itu jahat atau baik? “

“Hm…hehe.”

“Nah karena itu jangan hanya obati orang yang datang padamu karena sakit, tapi datangilah mereka yang sakit. Bukan hanya sakit orangnya, tapi juga sakit masyarakatnya. Sakit iman nya, sakit pula kantongnya kayak kita ini.” candaku sembari tetap berusaha menyuapi Lastri.

“Ah mamak ini, hap.” Lastri menyambar suapan berikutnya.

“Tapi ini, ingat-ingat pesan mamak yah, jika jadi dokter jadilah dokter yang memiliki watak baik, mengobati setulus hati. Dan watak baik tidak bisa diwariskan, tak cukup dipelajari tapi musti dilakukan Tri. Jadilah dokter yang juga berwatak baik, ingat berwatak baik.” Sengaja aku tekankan bagian akhir agar kelak Lastri mengingatnya.

“U um siap mak… hihi “ gigi putih Lastri nampak rapi, tapi sepertinya belum lelah mengunyah.

“Mak lagi.” Katanya.

Barang kali sekarang belum, aku usap kepala selagi Lastri mengunyah mie dalam mulutnya. Kelak kau akan tahu, bahwa watak baik itu akan lebih penting dari semua yang telah kau pelajari, watak itu pula yang kelak menentukan manfaat ilmu. Kukecup keningnya, membaringkan dan menyelimuti lagi.

“Istirahatlah nak, pagi Lastri harus sekolah.“

Tak ada jawaban hanya anggukan. Dalam istirahat doa terpanjat. Dan apakah yang lebih aku punya dari pada doa, doa seorang ibu untuk anak tercinta. Separuh malam aku panjatkan untuk kesembuhan putriku. Di saat fajar menyingsing dalam hamparan sajadah lusuh, kembali aku panjatkan permohonan. Semoga Allah mengabulkan cita putriku. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Doa dan Munajat untuk Keselamatan Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

Figure
Organization