dakwatuna.com
Ada insan yang menyolatkan
Jenazah manusia yang pernah memenjarakannya
Ada jiwa yang mengislamkan
Keluarga manusia yang pernah menghinakannya
Pahitnya menjadi pelajaran
Keheningannya menjadi tamparan
Diamnya menjadi tindakan
Kematangan sikapnya menjadi nilai kebudayaan
Mereka melihat katamu
Tapi mereka tak menyaksikan gesturmu
Mereka menilai jejak perbuatanmu
Tapi mereka tak membaca narasi pikiranmu
Mereka telah menyentuhmu, dari bayang-bayang istana penuh kaca
Mereka telah mengenalmu, dari gema kehidupan yang maya
Mereka telah menyapamu, dari sinyal rasi dan faksi gemintang
Mereka telah memperhatikanmu, dari layar imajinasi para punggawa
Dan kini …
Indahnya cerita dan makna bersama, ternyata sebatas euforia
Kata terlanjur merasuk dan perjalanan waktu menjadi binasa
Koneksi dalam koneksi seolah menjadi proxi, dan terbiarkan terjadi
Kebenaran menjadi milik hegemoni yang tidak terakui
Alang-alang kini beterbangan dan garuda kian gagah melayang
Raga-raga berpapasan dan jiwa-jiwa hening berhempasan
Rakyat menyeruput kopi dan raja bergerilya hingga berkarat di jalan darat
Kawan peraduan saling menerjang dan sungkan bersua kopi darat
Mari raib sejenak, bukan hilang atau lari kepalang
Ada ajaran Rabb yang asasi, tak boleh hilang karena sekadar sibuk berperang
Mari rehat sejenak, bukan sembunyi atau melarikan diri
Ada beda yang tak asasi, karena berbeda tak selalu mengkhianati
Mari tersenyum dan berpikir jernih merdeka
Selaksa prasangka tak mungkin merubah permasalahan bangsa
Mari lupakan perbedaan, dalam sisi dan ruang sentuh yang berbeda
Karena negarawan punya sisi kehidupan dan rasa keluarga, sebagai rakyat luhur berbudaya
(dakwatuna.com/hdn)
Konten ini telah dimodifikasi pada 15/02/16 | 06:45 06:45