Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Istri, Disayangi Bukan Diadili

Istri, Disayangi Bukan Diadili

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Twitter)
Ilustrasi. (Twitter)

dakwatuna.com – Menjalani mahligai rumah tangga memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tidak segampang yang kita bayangkan. Meniti rumah tangga bagai mengarungi laut lepas. Berombak besar. Berangin kencang. Kapal terombang-ambing. Tak heran, jika kemudian dibumbui pertengkaran, adu mulut bahkan sampai “perkelahian”. Dalam perkelahian rumah tangga, dapat dipastikan yang menjadi pemenang adalah suami. Istri yang memang memiliki tubuh tidak seperkasa suami sering menjadi korban. Istri babak belur. Tubuhnya penuh dengan warna hitam legam.

Jika hal itu terjadi, pihak yang paling berhak disalahkan adalah suami. Meski istri juga berperan dalam terjadinya pertengkaran itu. Sebab, suami adalah nahkoda kapal rumah tangga. Keselamatan rumah tangga sangat bergantung kepada kepiawaian suami. Jika suami orang yang bijak, pertengkaran pasti bisa dihindari. Memang, dalam Islam ada sikap tertentu yang harus dilakukan suami ketika istri nusyuz. Termasuk memukul dalam rangka mendidik. Akan tetapi, pukulan itu tidak sampai menyakiti (mubarrih). Jika pukulan itu sampai menyebabkan legam dan warna hitam di kulit, berarti sudah keluar dari tuntunan syariat.

Hal paling utama yang harus dipahami suami adalah istri itu manusia biasa. Pasti banyak salah dan dosa. Dalam budi pekerti pun pasti banyak kekurangannya. Bahkan dalam banyak Hadis, wanita diumpamakan tulang rusuk yang bengkok. Artinya, wanita itu pasti memilki perilaku yang tidak baik. Perilaku yang tidak disukai suami. Akan tetapi, hal itu bukan berarti seorang suami bebas mengadili istri. Mentang-mentang istri orang yang “kurang ajar”, suami boleh menghajar. Mentang-mentang istri memilki sifat buruk, suami boleh mengepruk. Tidak. Dalam konteks ini, yang dikedepankan adalah kasih sayang. Bukankah “kebengkokan” istri sudah menjadi sunnatullah? Penulis yakin, semua istri ingin menjadi istri yang baik. Tapi, mereka memiliki “penyakit bawaan” yang pasti hadir dalam kehidupan mereka. Sehingga keinginan itu tidak sepenuhnya tercapai.

Oleh karena itu, marilah kita renungi Hadis berikut. “Sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk. Tidak akan lurus bagimu pada suatu jalan (yang kamu inginkan). Jika kau bersenang-senang denganya, kau bersenang-senang dengannya dan dia tetap bengkok. Jika kau bangkit untuk meluruskannya, kau akan memecahkannya. Dan, memecahkannya adalah menelaknya.” (HR. Imam Muslim) Mengomentari Hadis tersebut, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Syarh an-Nawawî ‘Alâ Muslim, bahwa Hadis ini mendorong agar menyayangi istri, lemah lembut padanya, berbuat baik kepadanya, sabar atas perilaku bengkoknya, menerima kelemahan akalanya, tidak menceraikannya tanpa sebab, dan tidak agresif untuk memperbaikinya. Gampangnya, harus ekstra hati-hati menghadapi kebengkokan istri. Harus dihadapi dengan kasih sayang yang mendalam.

Hadis berikut juga senada dengan Hadis di atas. Rasulullah bersabda, “Perlakukanlah wanita dengan baik, karena mereka dijadikan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya paling bengkoknya sesuatu di tulang rusuk itu yang paling atas. Jika kau ingin meluruskannya, kau akan memecahannya. Jika kau membiarkannya, dia akan terus bengkok. Maka perlakukanlah wanita itu dengan baik.” (HR. Imam Bukhari). Dalam Hadis ini Rasulullah menginformasikan bahwa perempuan itu bengkok. Memiliki perilaku buruk. Tapi bukan masalah itu yang menjadi pembahasan utama. Yang lebih ditekankan adalah bagaimana suami menghadapinya. Yaitu, dengan memperlakukan perempuan dengan baik, menyayangi mereka, dan berusaha memperbaiki mereka sedikit demi sedikit. Imam Muhammad Ali bin Muhammad bin ‘Allan as-Syafi’i, dalam kitabnya, Dalil al-Falihin, mengatakan ketika mengomentari Hadis tersebut bahwa suami tidak boleh membiarkan istri tidak baik. Suami harus memperbaikinya, tapi dengan cara yang lembut, dengan kasih sayang, dan pelan-pelan. Sehingga tidak menyebabkan masalah yang lebih besar, seperti pertengkaran hebat dan perceraian.

Selain itu, Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Orang laki-laki mu’min tidak (boleh) benci pada perempuan mu’min. (Sebab,) jika dia menbenci suatu budi pekerti darinya, dia juga menyukai budi perkerti yang lain.” (HR. Imam Muslim) Imam Nawawi mengatakan bahwa Hadis ini merupakan larangan pada suami. Larangan agar tidak membenci istri karena memilki akhlak yang tidak baik. Sebab, selain memiliki akhlak jelek, istri pasti memiliki akhlak yang baik. Dengan demikian, seharusnya suami tidak hanya menghitung-hitung kejelekan istri, tapi juga kebaikannya. Tidak hanya menilai kekurangannya, tapi juga kelebihannya. Terimalah perilaku baiknya. Terima pulalah perilaku jeleknya.

Kalau kita menilik sejarah, hal serupa juga terjadi pada Nabi Ibrahim. Suatu ketika beliau mengadu kepada Allah swt.. Beliau bermunajat bahwa istri beliau, Sarah memiliki suatu akhlak yang kurang baik. Allah swt. pun menjawabnya, “Sesungguhnya, perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kau biarkan, kau membirakannya bengkok. Jika kau meluruskannya, kau akan mematahkannya. Maka, terimalah apa adanya.”

Walhasil, istri hanya manusia biasa. Pasti memiliki kekurangan. Di samping juga memiliki kelebihan. Oleh karena itu, terimalah dia apa adanya. Sayangi dia. Sayangi kelebihan dan kekurangannya. Kekurangan mereka bukan untuk diadili, tapi untuk difahami. Kekurangan mereka memang dari sononya. Dari sang pencipta. Orang bijak mengatakan, “Istri itu manusia biasa. Sama dengan anda. Jika kau menyukai kelebihannya, kenpa tidak rela pada kekurangannya?” Meski demikian, seorang suami harus tetap berusaha memperbaiki perilaku istri yang kurang baik. Pelan-pelan tapi pasti. Dengan lembut, kasih sayang, dan ketulusan. Agar tidak menyebabkannya patah dan melahirkan masalah. Menyayangi bukan berarti membiarkannya. Menyayangi yang sesungguhnya adalah selalu berusaha agar istri menjadi orang baik, sehingga kelak bisa bersama-sama masuk surga. (dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Waktu kecil belajar ilmu agama pada ayah. Ketika berusia tujuh tahun, dititipkan pada mbah, tujuannya agar bisa sekolah. Setelah lulus MI (Madrasah Ibtidaiyah), melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Sidogiri, Kraton Pasuruan. Setelah lulus MA (Madrasah Aliyah) di Sidogiri bertekad untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Alhamdulillah, sekarang sedang menjalani program studi Pendidikan Agama Islam semester satu di Universitas Sunan Giri Surabaya. Dan, bergabung dengan HMASS (Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) Surabaya.

Lihat Juga

Tangan Ribamu Mengikis Keadilan dan Kesejahteraan

Figure
Organization