Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Kebutuhan dan Peran Auditor Syariah

Kebutuhan dan Peran Auditor Syariah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (plus.google.com)
Ilustrasi. (plus.google.com)

dakwatuna.com – Ekonomi Islam atau yang biasa disebut dengan kata syariah, tumbuh dengan pesatnya di seluruh negara. Dengan kata lain, ekonomi syariah sudah menjadi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang ada. Selain ekonomi syariah yang berkembang, didukung pula dengan pertumbuhan entitas syariah 15 Bank Unit Syariah (BUS), 22 Usaha Unit Syariah (UUS) dan 163 BPRS. Selain itu lembaga zakat juga berkembang di Indonesia sebanyak 1 BAZ tingkat nasional, 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) nasional, 33 BAZDA Provinsi, 240 BAZDA tingkat kota. Di Indonesia entitas syariah yang berkembang dengan pesatnya sebagai alternatif dari mengentaskan kemisikinan dan mengurangi dampak penggunaan riba. Dalam hal ini, bagian yang kurang dalam menjalankan sistem ekonomi syariah syariah adalah kurangnya tenaga Auditor Syariah. Dalam melakukan audit di entitas syariah, tenaga yang dibutuhkan menjadi dua yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai orang yang paham akan fiqh Islam dan muamalah, serta peran auditor dalam mengaudit entitas syariah. Dalam hal ini masing-masing dari DPS dan auditor memiliki kekurangan, DPS kurang akan ilmu audit dan auditor kurang akan pengetahuan ilmu fiqhnya. Maka yang dibutuhkan dalam mengaudit entitas syariah adalah orang yang paham akan ilmu fiqh dan audit, oleh karena itu dibutuhkan tenaga auditor syariah. Yaitu seorang auditor yang paham akan terkait ilmu audit dan ilmu akuntansi, tetapi paham juga akan fiqh Islam dan muamalah dalam memahami transaksi keuangan Islam.

Auditor yang kita kenal saat ini, disebut juga dengan sebutan auditor tradisional. Perbedaan yang mendasar tentang auditor tradisional dengan auditor syariah adalah pertanggungjawaban dari auditor tersebut. Auditor tradisional memiliki cakupan tanggung jawab hanya pada klien saja, sedangkan auditor syariah memiliki cakupan tanggung jawab yang luas. Pertama auditor syariah bertanggung jawab kepada Allah SWT terkait kejujurannya dalam bekerja. Kedua, auditor syariah juga bertanggung jawab kepada pemodal terkait kinerja perusahaan tersebut. Terakhir, seorang auditor syariah bertanggung jawab dengan masyarakat. Auditor syariah juga menilai praktik manajemen yang dilakukan perusahaan, apakan perusahaan tersebut menerapkan manajemen syariah atau tidak. Auditor syariah juga memiliki peran yang tidak ada pada auditor tradisional, yaitu menilai kepatuhan syariah suatu entitas syariah. Penilaian kepatuhan suatu entitas syariah, dilihat dari sejauh mana entitas tersebut mengikuti syariat Islam. Penilaian ini mencakup terkait usaha dari kliennya tersebut apakah sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Penilaian selanjutnya terkait laporan keuangan entitas / perusahaan tersebut, jika perusahaan tersebut adalah lembaga zakat maka apakah laporan keuangannya memenuhi standar akuntansi keuangan syariah atau tidak.

Tugas seorang auditor syariah dalam mengaudit laporan keuangan entitas syariah adalah menghitung nisab zakat perusahaan setelah mencapai nisabnya. Dengan jumlah kekayaan yang besar pada entitas syariah, maka auditor syariah melakukan perhitungan wajib zakat untuk perusahaan. Agar menjadi seorang auditor syariah maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) Pemahaman seorang auditor terkait akuntansi, mulai dari akuntansi perusahaan jasa, barang, manufaktur, dan lainnya. Pemahamam akuntansi ini menjadi modal dasar bagi seorang auditor dalam mengaudit laporan keuangan suatu entitas. 2) Pemahaman akan teori dan praktik manajemen, pemahaman ini mengenai bagaimana manajemen yang dilakukan perusahaan. 3) Fiqh Islam dan ushul fiqh, di mana ini menjadi landasan untuk auditor syariah memahami terkait ilmu fiqh dalam perusahaan. Pemahaman akan fiqh Islam dan muamalah menjadi nilai tambah seorang auditor syariah, karena auditor harus wajib memahami transaksi-transaksi yang dilakukan oleh entitas syariah. 4) Teori dan praktik audit, dimulai dari bagaimana cara mengaudit hingga memberi opini audit terkait laporan keuangan perusahaan tersebut. Agar lebih independen dalam menjalankan tugasnya, maka auditor syariah harus dibuat yayasan yang menaungi kerja seorang auditor syariah. Fungsi dari yayasan ini adalah melindungi para auditor dari intervensi para klien yang meminta jasa audit, karena masih banyak auditor yang melakukan jual beli opini ke klien. Sehingga masih ada perusahaan yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian walaupun masih ada kesalahan dalam laporan keuangannya. Selain itu yayasan ini juga menerapkan standar auditing untuk auditor syariah, serta menerapkan sistim pembayaran dimana yayasan ini yang membayar auditor langsung sesuai kapasitasnya bukan klien yang membayar auditornya.

Dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan auditor syariah sangat penting melihat pertumbuhan perusahaan atau entitas syariah di Indonesia ini sangat pesat. Melihat kebutuhan ini, maka para calon auditor syariah harus memenuhi persyaratan yaitu pemahaman akan akuntansi, fiqh Islam dan muamalah, audit, dan manajemen perusahaan. Serta harus adanya lembaga yang menaungi auditor syariah dalam menjaga independesi auditor dan melindungi dari tekanan para klien yang menginginkan opini yang baik dari laporan keuangannya. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa.

Lihat Juga

Fintech Bagi Muslim

Figure
Organization