Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Aku, Kamu, dan Sepucuk Surat dari Masa Lalu

Aku, Kamu, dan Sepucuk Surat dari Masa Lalu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (telltalecreations.com)
Ilustrasi. (telltalecreations.com)

dakwatuna.com – “Mas, aku udah beresin kamar kita nih, barang-barang kita udah bisa mulai kamu angkatin ke dalem”

Suara rumah tetap hening, tak ada suara jawaban dariku, laki-laki yang belum lama ia panggil “Mas”.

“Mas, kamu lagi di mana sih? Lagi ngapain sih kok aku panggil-panggil nggak jawab?”

Aku tetap bergeming. Aku masih abai dengan panggilan berulang dari wanita yang kini telah menjadi istriku. Aku masih memegang sepucuk surat dari dalam amplop berwarna hijau tosca yang kutemukan terselip di dalam sebuah bukuku yang kusimpan bersama dengan barang-barang pindahan lainnya di antara kardus yang berserak, karena kami baru saja pindah dari pondok indah mertua ke rumah milik kami. Pikiranku terbang melayang menembus batas waktu yang telah lalu. Aku tersenyum mengingat romantisme malam itu. Indahnya. Meski kala itu aku malu-malu menuliskan surat itu. Surat yang belum sampai ke tangan yang dituju.

***

DI RESTORAN

Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput
kau entah memesan apa.
Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras
kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
-Sapardi Djoko Damono-

Aku dan kamu. Tuhan tahu tapi Ia menunggu. Ia menunggu waktu yang tepat untuk mempertemukan hati kita, mungkin memang bukan sekarang. Tapi kuyakin pasti akan tiba waktunya nanti.

Aku dan kamu. Sepasang hati yang menunggu untuk saling bertegur sapa melebihi sapaan yang biasanya. Kita berdua mungkin sering berada di waktu dan tempat yang sama, tapi hati kita masih biasa saja, oh tidak, lebih tepatnya hatiku yang pura-pura biasa saja. Aku tidak tahu dengan hatimu, apakah biasa saja atau juga sedang berusaha biasa saja? Aku belum pernah menanyakannya padamu, mungkin suatu saat nanti akan kutanyakan dan kamu akan memberi jawab. Bila Tuhan memberi waktu dan kesempatan untuk itu.

Aku dan kamu. Kita tumbuh di lingkungan yang sama. Kita sering berada duduk di taman atau restoran yang sama, bahkan mungkin kita sering datang menghadiri undangan kumpul bersama, karena kita memang berada di lingkaran pertemanan yang sama. Maka wajarlah jika kita sering bertemu di forum yang sama. Aku bahagia karena sering bertemu denganmu, namun kadang aku mati gaya jika harus berhadapan atau bertemu pandang denganmu, tanpa sengaja. Kamu tersenyum, lalu aku mencoba berekspresi biasa saja. Kutundukkan pandanganku dan kualihkan perhatianku dari dirimu. Sadarkah kamu?

Sering kali aku kesal pada diriku kenapa aku harus bertemu denganmu hari ini. Di satu sisi aku bahagia bertemu denganmu, tapi di sisi lain aku sering merasa sesak karena harus menahan diri dan menutupi perasaan membuncah dalam hati. Aku memilih diam, entah sampai kapan. Aku memilih untuk memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, juga memesan rasa lapar yang asing itu. Karena aku tahu, bukan sekarang waktunya, aku harus bersabar menahan lapar selayaknya orang yang sedang menunggu waktu berbuka puasa. Aku tak ingin menodai cintaku padamu hanya karena ketidaksabaranku menunggu ikrar yang membuat cintaku halal untukmu, begitu pula cintamu untukku. Bagaimana dengan perasaanmu? Aku tak pernah tahu, lebih tepatnya belum tahu. Aku akan menanyakannya nanti.

***

“Ooh jadi kamu lagi sibuk baca surat, sampai tak dengar meski sudah kupanggil berkali-kali. Itu surat buat siapa, Mas? Hmm, diam-diam kamu dulu pernah jatuh cinta pada wanita lain ya?” tanyanya penuh curiga, kecurigaan yang membuatnya menyebutkan serentetan hipotesis sok tahunya, sambil berusaha merebut paksa surat itu dari tanganku. Aku kalah cepat dengannya. Kini surat itu telah berada dalam genggamannya, aku tak kuasa menghalanginya untuk membaca.

“Haha, kamu penasaran sekali karena cemburu ya? Ya, harus kuakui, aku dulu memang pernah menulis surat ini untuk wanita yang membuat hatiku merasa penuh dengan cinta tapi aku tak bisa menyatakannya saat itu juga. Tapi itu kan masa lalu, Sayang. Surat ini akhirnya hanya kusimpan kembali di dalam bukuku karena memang aku harus menunda untuk memberikannya. Bukan karena aku tak mampu, tapi karena aku tak mau menyerahkannya saat itu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat, hanya itu.”

“Iyalah aku cemburu, kupikir aku adalah yang pertama dan terakhir untukmu, ternyata ada wanita lain yang lebih dulu membuatmu jatuh cinta dan sempat membuat penamu bercerita di atas kertasmu. Selama ini aku tak pernah dengar kamu punya hubungan atau gosip dengan siapapun, bahkan teman kampus saja kaget kan ketika tiba-tiba saja kamu menyebarkan kabar akan menikahiku. Siapa sih perempuan yang dulu kau tunggu itu, Mas? Jika kamu dulu sangat mencintainya kenapa tidak segera kamu nikahi saja ketika itu?” nadamu mulai agak meninggi dan tampaknya kamu mulai kesal dengan jawabanku sebelumnya.

“Karena memang belum waktunya saja. Kupasrahkan saja dia bersama cintaku padanya kepada Sang Pemilik Cinta. Ternyata dia yang kupasrahkan itu pada akhirnya Allah takdirkan menjadi belahan jiwaku selamanya. Aku telah menjabat tangan ayahnya dan mengucap ijab-qabul di hadapan penghulu dan para saksi 1 bulan yang lalu.” jawabku hati-hati.

“Maksudmu…. Orang yang kamu tunggu itu adalah a…aku?” ia mulai menebak-nebak, matanya mulai berkaca-kaca, tinggal menunggu hitungan jari bulir-bulir air matanya akan menetes.

“Ya” jawabku singkat namun penuh makna kesepahaman.

“Aku tak menyangka, kamu tak pernah bilang padaku sebelumnya. Berapa lama dulu kamu menungguku, Mas?” suaranya mulai bercampur dengan upaya menahan haru. Aku tahu.

“Bertahun-tahun… Hingga kudengar dari temanmu bahwa kamu telah selesai sekolah dan telah siap menerima pinangan dari laki-laki baik dan bertanggungjawab yang berani datang mengetuk pintu rumah orang tuamu.”

Perempuan yang kupilih menjadi teman hidupku ini semakin berkaca-kaca. Aku menunggu kata darinya.

“Sejujurnya… Aku pun menaruh harap padamu sedari dulu. Tak sadarkah kamu?”

Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.

-Umar Ibn Khaththab RA-

(dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan UI Angkatan 2010 | Kaderisasi Salam UI 2014 | DPM UI 2013 | BPM FIK UI 2012 | FPPI FIK UI 2011 | BEM FIK UI 2011 | Lembaga Dakwah Sahabat Asrama UI 2010

Lihat Juga

Surat Terbuka untuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump

Figure
Organization