Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rahmat atau Musibah?

Rahmat atau Musibah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (gallery.naslno.com)
Ilustrasi. (gallery.naslno.com)

dakwatuna.com – Sebenarnya keberadaan kita ini sebagai apa? Apakah rahmat atau justru musibah?

Coba kita kilas balik sejenak kepada kisah Nuh dan putranya. Bagaimana seorang Nabi diuji dengan kedurhakaan sang anak. Bukan. Bukan hanya durhaka sang anak kepada bapak, melainkan durhaka anak kepada Sang Khaliq. Sang pengutus ayahandanya sendiri. Dengan kesombongannya anak Nabi Nuh bersikeras menolak untuk ikut serta masuk ke dalam kapal. Berusaha naik ke gunung tertinggi pada saat itu, namun tetap saja air meninggi. Sampai akhirnya ia tenggelam bersama kaum Nabi Nuh yang juga ingkar pada masa itu.

Lalu kita siapa? Apakah kita anak seorang Nabi? Bukan. Tentu bukan. Kita hanya anak dari seorang pekerja dakwah, seorang pejuang dakwah, seorang penyeru kebenaran. Itulah pekerjaan kedua orang tua kita. Tidak akan jauh dari jalan dakwah.

Oh tentu tidak. Saya tidak akan membandingkan kita dengan anak Nabi Nuh. Melainkan selagi kaca itu masih ada didunia ini cobalah untuk berkaca. Jika anak Nabi Nuh saja bisa memiliki kesombongan untuk membangkang dari orang tuanya, bagaimana dengan kita yang bukan anak dari siapa-siapa?

Keimanan itu tidak mampu diturunkan. Keimanan juga tidak pernah bisa dititiskan. Karena keimanan itu hanya bisa dilahirkan oleh masing-masing individu ke dalam hati mereka sendiri. Tidak akan pernah bisa seorang ayah menitiskan keimanan kepada anaknya. Ia hanya bisa mengajarkan makna iman, memberi kabar soal penciptaan dan hari kiamat, memberitakan kepada sang anak tentang Rabbul Izzati, namun tetap tak mampu menciptakan iman dalam hati sang anak. Karena jika sang anak pandai mengambil hikmah, maka sudah pasti iman itu akan hadir dalam hatinya sendiri seiring menerima pelajaran dari sang ayah.

Lalu buat apa sang ayah bersibuk diri mengabarkan perihal iman dan cabang-cabangnya kepada sang anak kalau bukan karena perintah Allah?

Quu anfusakum wa ahlikum naaro..                

Sejatinya seorang ayah hanya mengamalkan perintah Rabb-nya.

‘ud’uu ila robbika bil hikmati wal mau’idzhotil hasanah

Satu sisi ia menyerumu kepada kebaikan karena kau adalah bagian dari keluarganya, disisi lain ia menyerumu kepada kebaikan karena kau adalah bagian dari agama yang juga ia pegang. Agama Islam.

Lalu di mana kita memosisikan diri sebagai anak? Di mana kita memosisikan diri sebagai seorang muslim. Sedang membedakan antara yang haq dan bathil saja kita takut! Takut! Bukan tidak tahu. Karena sudah barang tentu tanpa keraguan lagi kedua orang tua kita telah mengajarkan banyak sekali perbedaan antara yang haq dan yang bathil, bahwa yang haq tidak akan pernah bercampur dengan yang bathil. Sudah berapa kali kedua orang tua kita mengabarkan itu kepada kita? Sudah berapa banyak waktu, usaha, uang dan kerja keras yang mereka korbankan demi memahamkan itu semua kepada kita?

Sayangnya, sudah terlalu banyak pemakluman di zaman kita hidup saat ini. Hal ini dianggap maklum, hal itu dimohon untuk tetap maklum. Akhirnya kita hidup dengan penuh pemakluman. Padahal, tidak pernah ada pemakluman dalam dosa dan pahala.

Jika kita adalah rahmat, maka keberadaan kita akan menjadi kebaikan yang terus mengalir dalam sungai dakwah ini. Namun jika keberadaan kita adalah musibah yang “selalu menuntut pemakluman”, maka mungkin kita perlu memperbaiki istighfar dalam setiap detak nafas. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi LIPIA Jakarta | Garuda Keadilan | Gkreatip | KAMMI

Lihat Juga

Musibah Pasti Membawa Hikmah

Figure
Organization