Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Tertangkapnya Ular Jadi-Jadian

Tertangkapnya Ular Jadi-Jadian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Tertangkapnya Ular Jadi-Jadian".
Cover buku “Tertangkapnya Ular Jadi-Jadian”.

Judul buku: Tertangkapnya Ular Jadi-Jadian
Jumlah Halaman: 112 halaman
Penulis: Bambang Joko Susilo
Penerbit: Penerbit Bestari Kids (Anggota IKAPI)
Tahun Terbit: 2012
Jenis buku: Fiksi (Cerita Petualangan Anak)
ISBN: 978-979-063-342-1

dakwatuna.com – Bonang, Seorang anak kelas VI SD sangat prihatin melihat kondisi di desanya. Penduduk di desanya, yaitu Desa Cangkring, masih mempercayai takhayul. Celakanya, sahabat karibnya sendiri yang bernama Topo, ikut pula mempercayai takhayul tersebut.

Bonang berusaha keras untuk menyadarkan penduduk, tapi ia malah ditertawakan. Apalagi setelah munculnya ular raksasa di Bukit Gagak. Ular itu sering muncul secara tiba-tiba pula. Masyarakat desa yang percaya takhayul menganggapnya ular jadi-jadian. Penduduk pun resah, mereka menganggap ini pasti akibat dari ulah beberapa warga yang berani melanggar aturan atau adat istiadat desa, sehingga muncul ular jadi-jadian itu.

Bonang pun terpaksa menuntaskan rasa penasarannya dengan mendatangi Bukit Gagak sendirian sambil mencari rumput. Sesampainya di Bukit Gagak betapa kagetnya Bonang, dia melihat pemandangan yang tidak biasanya. Seekor ular raksasa sedang bergelung cantik di bawah onggokan batu cadas. Dia pun kaget bukan kepalang, tanpa sadar Bonang pun langsung ambil langkah seribu meninggalkan Bukit Gagak. Tak lagi dihiraukannya keranjang rumput yang tertinggal, hingga badannya yang jatuh bangun.

Saking mengerikannya Bukit Gagak di mata penduduk desa hingga tak satu pun yang berani untuk mendekat ke sana. Tapi cerita tentang Bonang yang bertemu ular jadi-jadian itu memancing rasa penasaran teman-temannya yang lain untuk datang ke Bukit Gagak. Topo yang sudah bersumpah tidak akan mendekati Bukit Gagak pun terpaksa melanggar sumpahnya. Sesampai di sana, mereka pun dikejutkan lagi oleh kehadiran ular-ular kecil sepanjang perjalanan. Di Bukit Gagak, Topo pun menjerit karena melihat ular. Maka jadilah teman-teman Bonang berkesimpulan bahwa semua itu karena Topo telah melanggar sumpahnya.

Anak-anak biasa berkumpul di rumah Bonang untuk mendengarkan dongeng dari nenek. Malam ini nenek pun berkisah tentang sepasang Onggo dan Inggi, yaitu sepasang ular jadi-jadian yang hidup di sungai dekat Bukit Gagak. Mereka yang mendengarkan mulai bergidik ketakutan. Menurut cerita nenek, Onggo dan Inggi suka memangsa anak-anak seumuran mereka yang berenang di sungai dengan cara melilit badan mangsanya dengan rambut lalu membawanya ke gua di dalam sungai dan membolongi ubun-ubunnya. Malam ini anak-anak sangat ketakutan, sehingga tak ada satu pun yang berani pulang.

Cerita ular masih berlanjut hingga esok di sekolah, karena kebetulan hari ini mereka belajar biologi dengan pak Tardi. Dari penjelasan pak Tardi, ada banyak sekali jenis ular yang ada di dunia. Ular merupakan predator tikus yang sangat handal, jadi tak selamanya ular hanya berbahaya saja.

Sepulang sekolah, Bonang melihat mbah Patmo membawa sesajen untuk menyadren. Mbah Patmo merupakan petani kaya di Desa Cangkring, namun sayang beliau sangat pelit. Masyarakat Desa Cangkring masih percaya dengan takhayul, roh-roh ghaib dan tempat-tempat keramat. Namun terlepas dari itu semua, Bonang dapat kenyang menikmati makanan yang dijadikan sesaji tersebut. Tak jarang mereka pun saling berebut satu sama lainnya.

Hari libur sekolah pun tiba, Bonang dan Topo mengembalakan kambing sambil memancing di kaki Bukit Gagak. Namun, setiap hari selalu saja ada kejadian yang menggemparkan. Hari pertama Sukab pun kehilangan satu anak kambingnya. Namun orang kampung semakin mempercayai bahwa itu hukuman untuk Sukab yang selalu meresahkan warga. Esoknya mbah Patmo pun kehilangan seekor induk kambingnya yang sedang bunting. Masyarakat pun berkesimpulan bahwa semua itu terjadi karena mbah Patmo terlalu pelit.

Topo pun semakin percaya bahwa penghuni Bukit Gagak hanya marah kepada anak-anak nakal, orang-orang kikir dan yang mempunyai niat jahat dalam hidupnya. Makanya Topo masih berani mengembalakan kambing di lembah Bukit Gagak. Hari itu, hanya Bonang berdua dengan Topo yang mengembalakan kambing di lembah Bukit Gagak. Sementara anak yang lain tidak ada lagi yang berani sejak hilangnya kambing Sukab dan mbah Patmo.

Saat akan pulang, ternyata jumlah kambing Topo tidak cukup. Satu anak kambing Topo hilang sementara kambing Bonang masih cukup jumlahnya. Bonang dan Topo pun berusaha menyusuri sungai dengan arah yang berlawanan untuk mencari anak kambing yang hilang. Saat bertemu bongkahan batu cadas paling besar, Bonang pun terkesiap dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Seekor ular raksasa sedang bergelung nyenyak di sebalik batu cadas itu. Sepertinya dia sedang kekenyangan setelah melahap anak kambingnya Topo. Akhirnya kejadian pontang-panting yang kedua kalinya sejak hebohnya kemunculan ular jadi-jadian di Bukit Gagak.

Singkat cerita, ramailah tempat itu dengan warga yang penasaran. Semula ada warga yang ingin membunuh ular itu bahkan sudah ada yang sempat menggebuknya. Akhirnya datanglah pak Mantri Kehutanan yang melepaskan tembakan ke udara untuk menenangkan warga. Ular itu pun ditangkap dan dimasukkan ke dalam karung untuk dibawa ke kebun binatang. Sejak kejadian itu, ramailah wartawan datang ke kampungnya Bonang hingga dia pun menjadi orang yang terkenal.

Akhirnya, terpecahkan sudah misteri ular jadi-jadian di Bukit Gagak. Ternyata itu adalah ular beneran. Beberapa hari setelah itu penduduk pun menemukan dua ular raksasa lainnya di sebuah gua dekat Bukit Gagak. Ular ini termasuk jenis Python yang besarnya melebihi pohon kelapa. Menurut kabar dari Dinas Kehutanan, ular itu berasal dari hulu sungai. Lalu karena hutan ditebangi, kehidupannya pun terusik dan berpindah ke tempat lain. Dengan adanya penemuan ular raksasa itu, masyarakat pun jadi sadar bahwa sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization