Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Belajar dari Kisah Nabi Musa dan Khidir

Belajar dari Kisah Nabi Musa dan Khidir

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Masalah kepemimpinan lebih besar cakupannya daripada masalah kekuasaan, sebagaimana pengaruh lebih luas jangkauannya daripada kekuasaan formal. Seorang pemimpin tidak harus menduduki jabatan tertentu untuk membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk mencapai tujuan bersama. Sementara, seorang penguasa belum tentu mampu mengendalikan para pengikut yang dikuasainya secara formal. Kepemimpinan berkaitan dengan kualitas diri. Bahkan, seorang Nabi seperti Musa mengalami suatu proses pembelajaran yang panjang sebelum sampai pada puncak kesadaran akan pentingnya mencerna dan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan yang luhur.

Proses itu harus dilalui Nabi Musa bersama Sang Guru yang bernama Nabi Khidir. Suatu ketika Nabi Musa sedang berpidato di hadapan kaumnya, lalu seseorang bertanya: “Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?” Nabi Musa langsung menjawab, “Akulah orang yang paling banyak ilmunya.” Jawaban itu memperlihatkan kesombongan Nabi Musa dan ia mendapat teguran keras dari Allah, karena Nabi Musa saat itu belum menyadari keterbatasan ilmu manusia sebagai pemberian dari Allah. Maka, kemudian Allah memerintahkannya: “Sesungguhnya ada salah seorang hamba-Ku yang tinggal di pertemuan dua buah lautan yang lebih banyak ilmunya daripada kamu”. Dari sini kita dapat mengambil pembelajaran bahwa seorang calon pemimpin besar seperti Musa memang tidak boleh berhenti belajar, apalagi terjebak arogansi.

Teguran itu segera menyadarkan Nabi Musa, sehingga ia memohon petunjuk Allah, bagaimana caranya menemui Sang Guru yang tinggal di pertemuan dua buah lautan. Kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir diungkapkan secara menarik dalam kitab suci al-Qur’an (surat al-Kahfi, ayat 60-82) yang pada intinya, Khidir mengajak Nabi Musa untuk menjalani dan mengalami sendiri tiga peristiwa yang mengejutkan.

Peristiwa Pertama, Nabi Khidir dan Nabi Musa menumpang sebuah perahu nelayan secara gratis, tapi di tengah lautan ternyata Khidir merusak penampilan perahu itu. Nabi Musa tentu saja terkejut, karena tindakan itu dipandangnya sebagai sesuatu yang membahayakan, karena bisa membuat perahu bocor dan tenggelam.

Peristiwa kedua, Nabi Khidir dan Nabi Musa menjumpai seorang bocah di pinggir sebuah kampung. Tanpa ada alasan yang jelas, Nabi Khidir membunuh bocah itu, Nabi Musa tidak hanya terkejut, tapi emosinya tersulut, karena Sang Guru “membunuh” seorang anak yang tidak berdosa. Itu suatu pelanggaran hukum yang berat di mata orang awam.

Peristiwa ketiga ialah pengalaman pahit di suatu kampung, Nabi Musa dan Nabi Khidir tidak diterima dengan ramah, tidak diberi minum, apalagi ditawarkan tempat bermalam. Bahkan, penduduk kampung itu mengusir mereka dengan kasar. Tatkala berjalan meninggalkan kampung itu, di perbatasan keduanya menjumpai tembok yang mau runtuh. Tiba-tiba, tanpa ada yang menyuruh Nabi Khidir membetulkan dinding itu hingga berdiri tegak kembali.

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir adalah: Pertama, kata Khidir sebagaimana tercantum dalam Alquran, perahu yang mereka tumpangi adalah milik nelayan miskin. Di lautan ada raja perompak yang akan merampas setiap perahu yang dilihat menarik dan mungkin mengangkut muatan berharga. Karena itu, Nabi Khidir sengaja “merusak sedikit penampilan perahu” itu agar tidak menarik perhatian banyak orang, sehingga sang nelayan selamat dari serangan para perompak. Sangat mungkin Nabi Khidir membayar biaya kerusakan yang ditimbulkannya, karena tidak ingin menyulitkan sang nelayan. Nabi Khidir mengajarkan pentingnya menjaga “penampilan perahu”. Dikaitkan dengan kepemimpinan Nabi Musa, ia adalah pemimpin Bani Israel yang sedang mengalami penindasan berat dari rezim tirani di masa itu. Kondisi kolektif Bani Israel sangat rapuh, karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh tindakan kejam penguasa. Untuk itu, Nabi Musa harus menyusun barisan perjuangan dari awal secara rapi dan solid. Organisasi perjuangan yang akan mampu menggulingkan kekuasaan tiran dan membawa kebebasan bagi masyarakat lemah.

Pelajaran kedua bocah yang dibunuh oleh Nabi Khidir adalah anak nakal yang sering berbuat jahat dan ingkar kepada Allah, karena itu amat membahayakan posisi orangtuanya yang shalih. Pelajaran penting yang ingin diberikan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa ialah bibit kejahatan harus dihilangkan sejak dini, jangan dibiarkan hingga membesar dan melembaga.

Pelajaran ketiga, Nabi Khidir membangun dinding yang mau runtuh tanpa pamrih. Nabi Musa tidak mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu terdapat harta warisan yang sangat berharga, milik anak yatim. Nabi Khidir bermaksud mengamankan harta peninggalan itu, hingga anak yatim tadi tumbuh dewasa dan siap menerima warisan orangtuanya yang shalih. Demi kebahagiaan anak yatim itu di masa depan, Nabi Khidir bersedia kerja bakti, membangun dinding runtuh tanpa upah sepeser pun. Padahal, mereka baru saja dilecehkan oleh penduduk kampung setempat, tapi Nabi Khidir tidak terpengaruh. Nabi Khidir punya misi suci untuk menjamin masa depan generasi yang lebih baik. Demikianlah kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir semoga kita bisa mengambil pembelajaran dari kisah tersebut. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial UI angkatan 2012. Suka melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pengabdian masyarakat. Peserta Rumah Kepemimpinan Regional 1 Jakarta, angkatan VII.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization