Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Sajak Kebebasan; Harga Sebuah Keadilan

Sajak Kebebasan; Harga Sebuah Keadilan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (aktual.co)
Ilustrasi. (aktual.co)

dakwatuna.com – Malam ini Tuhan sedang bermurah hati. Rintik hujan mengukir guratan di atas tanah merah. Melukis wajah kehidupan yang bergembira atas turunnya rahmat. Namun, di belahan bumi sana hujan memberi arti berbeda. Bumi menangis. Dia merintih sakit atas kematian sebuah ekspresi. Sebuah kelaliman terjadi. Kali ini, institusi yang katanya menjadi tonggak kebajikan wajahnya tercoreng oleh oknum keji pemegang kuasa.

Dunia intelektual berduka. Kampus pendidikan sebagai pelopor cendekia terjebak dalam kubang hitam neo-otoriterisme. Jalannya terpingkal. Dia tergopoh-gopoh berusaha melepas diri dari cengkeraman keji pemangku kebijakan yang terhormat. Ya, kali ini dia berteriak berseru. Memanggil nurani para pahlawan yang menjadikan idealisme sebagai senjata dalam melawan kebatilan. Sudahkah nurani kita terpanggil untuk menyambut seruannya?

Saya sebenarnya tidak memiliki kepentingan dalam menulis ini. Ini hanya tulisan naif yang menggambarkan kekecewaan atas matinya demokrasi kampus. Lupakan aklamasi. Karena peristiwa ini bernilai lebih tinggi dari sebuah dagelan pemira fakultas. Saya merasa prihatin atas bangkitnya arogansi sebuah rezim birokrat dalam merespon kepedulian mahasiswa atas apa yang terjadi pada rumahnya tercinta. Mengutip pandangan dari kawan mahasiswa, Ade Yulfianto, bahwasanya peristiwa luar biasa ini bisa kita lihat sebagai salah satu upaya birokrat untuk melanggengkan cara pandang mereka yang menempatkan mahasiswa hanya sebagai objek dari wacana akademik. Mahasiswa dalam cara pandangnya, tidak lebih seperti adonan yang hendak dicetak dengan nalar positivisme.

Nalar positivis menjadikan diri kita laksana komunitas yang harus tunduk dan patuh terhadap nalar para pemilik kuasa kampus. Daya kritis kita dibungkam dan pola pikir kita direkayasa dengan serangkaian kebijakan dan menjadi pragmatis. Perlahan tapi pasti. Akhirnya secara tidak sadar ruang berpikir kita akan membentuk pribadi berwacana “mahasiswa yang dimerdekakan” bukan “mahasiswa yang merdeka”.

Kampus memang bukan surga. Ia adalah wadah eksperimen sosial. Ia adalah tempat yang wajar bagi terjadinya kesalahan, baik oleh mahasiswa, dosen, dan birokrat sekalipun. Kesalahan dipandang sebagai sesuatu yang mulia saat ada itikad baik untuk belajar dan memperbaikinya. Kesalahan bisa menjadi awal hubungan yang lebih mesra saat dua pihak mampu menyikapinya dengan lapang dada. Itu manusiawi dan perlu diapresiasi.

Namun, kesalahan menjadi sesuatu yang jahanam saat hanya menambah kerusakan dan tidak ada itikad baik untuk memperbaikinya. Ia menjadi bencana besar bagi sebuah kebenaran. Nilai kebenaran perlu diperjuangkan jika memang menyangkut maslahat umat. Karena ini bukan hanya tentang pemenuhan gengsi bagi sebagian orang. Ini adalah sebuah panggilan untuk menegakkan kebenaran atas rongrongan jahat kebatilan. Ini adalah upaya menghentikan lagu kematian atas sebuah kebebasan. Dan perjuangan ini menuntut sebuah perlawanan yang elegan.

Jika memang jasad belum mampu membersamai perjuangan mereka. Jika memang kepalan tangan belum mampu dijunjung tinggi di atas tanah yang sama. Sudikah kita panjatkan doa sebagai pesan rindu untuk bergerak, melawan, dan bersama menyongsong surga dunia; KEADILAN.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini diberi amanah sebagai Menteri Sosial Politik BEM Undip 2017

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization