Jumat , 4 Oktober 2024
Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Aku Rindu, Tapi Malu

Aku Rindu, Tapi Malu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (elementaryos-fr.org)
Ilustrasi. (elementaryos-fr.org)

dakwatuna.com – Sepi suasana rumah, susunan kamar tidak ada yang berubah, masih dengan ranjang yang sama, karpet yang sama, dan lukisan dinding yang sama. Masih ada akuarium dengan ikan air tawar yang kian bertambah besar, akuarium yang dibuat dari kaca pelapis meja ruang tamu. Aku buatkan khusus untukmu. Saat itu kondisi ekonomi kita masih buruk, dan untuk memenuhi keinginanmu atas akuarium Aku terpaksa membelah kaca pelapis meja ruang tamu. Akuarium dengan ikan dan gelembung yang bertebaran di dalamnya. Memang tidak sebagus yang dijual di toko, tapi kau selalu menyukainya, katamu

“Aku suka akuarium ini, karena ini buatanmu”

Hanya sekali kau mengucapkan, dan selalu Aku kenang, sehingga kini ketika Aku memandang akuarium disudut kamar, terngiang kembali kata itu, sepertinya peristiwa itu baru terjadi tadi pagi, walaupun nyatanya telah berhitung tahun lamanya. Lukisan kayu di dinding juga Aku belikan, tiada lain selain buatmu. Kau pernah bilang menginginkan lukisan kayu, maka sekarang lukisan itu ada di dalam kamarmu. Aku tidak mengerti apa bagusnya lukisan ini, hanya bergambar daun dan rias motif, dengan kulit kayu sebagai media lukisnya. Aku hanya menurut saja, karena memang tidak punya selera soal kesenian. Hanya sepeda merah yang sudah tiada di rumah. Padahal saat kau ingin, sampai terbawa demam. Membuatku berulang kali ke puskesmas membawamu, dan ternyata penyebab semua demam itu adalah sepeda, kau ingin bisa bersepeda keliling desa di saat libur, setelah Aku belikan, kau segeralah sembuh dan benar-benar bersepeda berkeliling desa, tidak ada yang lebih membuatku bahagia selain daripada melihatmu bahagia. Tidak lama kemudian setelah kau sibuk dengan pekerjaan, kau ingin berikan sepeda pada tetangga, maka itulah jadinya.

Kau bukan orang yang rajin, jangankan untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tiap bangun di pagi hari selimut dan seprei tak pernah di lipat, bantal guling entah ke mana larinya, langit-langit kamar entah apa pula rupanya. Hanya Aku yang kadang geli memandang, hingga tiap pagi Aku juga yang merapikan. Begitulah setiap pagi, sepulangmu, semua sudah rapi.  Saat pagi, segelas teh sudah pula siap di meja, dengan kudapan seadanya. Sekalipun tidak pernah diminta, Aku tahu kau memerlukannya. Kita selalu berbincang pagi, membahas apapun, memainkan peran apapun, kadang kita membahas soal negara, seolah kita adalah pejabat penting, kadang kita bahas bencana terkini seolah kita adalah satu satunya orang yang sanggup menolong, apapun akan kita bincangkan, bukan kita tapi Aku, sekedar untuk memperlambat waktu agar lebih lama bersamamu. Saat kau pergi kerja, Aku sudah tahu kebiasaanmu, kembali ke kamar, mengambil tas dan mengucapkan

“Aku berangkat dulu”

Tanganku masih juga tergeletak di meja makan tiap peristiwa itu terjadi, tak hendak Aku memaksamu mencium tanganku, meskipun Aku ingin. Lebih ingin bagiku mengecup kening, tapi tak mengapa asal kau bahagia, apa juga yang buatku berat menerima.

Ketika sore tiba, saat pulang kerja di depan pintu Aku menunggumu, jika di rata-rata lebih sering pulang larut dibandingkan dengan pulang sesuai jadwal, toh Aku masih juga menunggu, sesampai rumah Aku telah menyediakan camilan sekedarnya, dan teh tawar kesukaanmu, meskipun masih muda, kau selalu berkata

“jangan terlalu makan banyak gula”

Berbeda dengan ketika hendak berangkat kerja, saat pulang kita tidak banyak berbicara, Aku selalu menunggumu mengatakan apapun tentang pekerjaanmu, apapun. Tapi lebih sering tidak ada cerita, malahan selesai makan langsung bergelut dengan gadget dan entah dengan siapa kau bercerita, tetapi sudah cukup bagiku, memandangmu ketika makan, seolah menjadi bekal untuk dapat menjadi mimpi, saat malam tiba nanti.

Malam kau selalu tidur sembarang, mungkin capek seharian bekerja yang seharusnya menjadi tanggung jawabku, sering kali tertidur dilantai ruang tamu, saat Aku bangunkan untuk dipindahkan selalu kau beralasan

“Tidur di bawah itu dingin”.

Kadang juga di kursi sofa, sejak tahu kau terlalu lelah tak lagi Aku ingin membangunkanmu, langsung Aku gendong dan pindahkan ke dalam kamar, dan entah tahu atau tidak kau langsung saja terlelap di kamar, Aku selimuti dan mematikan lampu, memastikan kenyamanan buatmu. Jika liburan tiba dan kita punya cukup waktu bersama, kerap kau mengetesku dengan pertanyaan sepele, padahal banyak bahan bisa dibicarakan, banyak obrolan bisa dilakukan tapi toh Aku tetap saja kena tes sederhana yang rumit jawabnya, sederhana tapi selalu berakibat denda, karena kau akan meminta denda setelah Aku gagal menjawabnya,

“Masak tanggal lahirku tidak tahu?” katamu manja.

Sekalipun Aku berupaya mengingat, tetap saja lupa, sekedar untuk mengingat Aku menjadikannya password hp, tapi lain waktu kau ajukan pertanyaan lain, bukan soal yang sering kita perbincangkan,

“Hm….apa jurusan kuliahku dulu?”

Dan hampir lagi Aku selalu salah menjawab, Aku mengakui kurang tahu banyak tentangmu, tiap Aku salah kau ajukan permintaan hadiah atas kesalahanku. Apapun bentuknya asalkan hadiah. Harus diwujudkan, Aku tahu kau teramat ingin perhatianku, dan sejujurnya Aku sudah memberikan perhatian terbanyak hanya untukmu

“Kenapa kaos kaki hadiahnya?”

“Kan hadiah? Suka-suka yang beri dong”

Sehari berikutnya, kau sudah lupa di mana hadiah itu berada, tapi tetap saja Aku memberikan hadiah untuk setiap pertanyaan yang gagal Aku jawab.

Jika libur, kau merayau ingin berlibur jauh, sesekali Aku memenuhi dengan syarat berlaku, karena Aku tahu, sulit untuk tetap menjagamu agar selalu di rumah, di luar sana ada banyak hal yang tidak bisa Aku bawa ke rumah, dan lebih mustahil lagi memberikan semuanya untukmu, tapi ketika Aku selalu memberimu ijin, kau akan bertanya juga

“Kenapa Aku selalu boleh melakukan apapun?” ucapmu.

“Iya boleh, tapi kan ada syaratnya?”

“Tapi cobalah dilarang, masak dibolehin terus, nanti kalau Aku minta yang aneh-aneh gimana?”

Tak bisa dijawab memang, jika permintaanmu tidak diturut, kau akan jadi murung, meminta berulang apa yang menjadi keinginan, tapi jika selalu diturut, kau akan mengatakan hal seperti itu, dan membuatku menjadi bingung, bagaimana membuat bahagia untukmu.

Soal ibadah kau paling rewel, terutama soal shalat lima waktu, saat waktu shalat tiba, kau akan memberikan pesan singkat, memastikan aku mengerjakan shalat, malahan jikalau kau sakit, selalu saja kau bercanda, sakitmu karena berkurangnya doaku buatmu.

“Pasti sudah ndak pernah doakanku lagi kan? Jadinya Aku sakit begini” keluhmu.

Bahagia rasanya, ketika kau selalu menghubungi dan mengingatkanku akan ibadah, itu menjadi perhatian yang sering Aku nantikan.  Dan saat giliran Aku yang sakit kau begitu rewel, selalu saja menuntut melakukan ini itu, semua demi kebaikanku katamu, terlebih karena sakit magh yang mendera lambungku kau jadi rewel soal makan. Kadang jika sudah larut tak kunjung sembuh, dan Aku enggan minum obat kau akan mulai menekanku

“Jangan panggil-panggil kalau belum mau minum obat”

Lucunya Aku menurut saja, dan kembali memanggilmu, padahal Aku tidak pernah bermaksud untuk tidak ingin sembuh, aku hanya merasa nyaman jika saat seperti ini, kau akan juga memberikan banyak omelan perhatian untukku, meluangkan sedikit waktu juga di antara banyak waktu sibukmu.

Kini kamar ini sepi, dan tetap aku bersihkan setiap hari, sembari melamunkanmu ada di sini, sebelum kau pergi, kau tanyakan lagi padaku

“Ibu sayang denganku tidak?”

“Iyaa”

“Iya apa?”

“Iya sayang”

“Bohong!”

“Bohong gimana?”

“Kalau sayang kenapa musti ditanya dulu baru bilang sayang?”

Kau selalu menuntut agar aku mengucapkan kata sayang, dan seperti biasa Aku akan diam, karena cinta tak perlu diucapkan, bahkan diam sekalipun akan bisa menunjukkan cinta, Tersenyum sendiri jika Aku mengenang, apalah arti sayang jikalau hanya muncul di ucapan.  bagiku sayang tidak perlu diucapkan, hanya perlu diwujudkan, memang, Aku sulit mengucapkan kata sayang, lagipun ibu mana yang tiada sayang dengan anaknya. Demikian juga jika Aku belum lagi meneleponmu, kau akan segera memprotes begitu telepon terhubung

“Kok baru telepon, tidak kangen denganku yah?”

Bisa terbayang wajah ketika kau mengucapkan kata itu, dengan wajah manja memelasmu membuatku tak bisa berkata, hanya menghela nafas saja. rasa riduku sering kali memuncak, tapi Aku malu untuk mengakui, aku berharap sebaliknya kau juga merinduku, sehingga meluangkan waktu untuk meneleponku, tapi lebih sering aku yang terlebih dahulu menghubungimu. Tidak apalah, tidak penting siapa yang lebih dahulu menelepon, yang jelas aku selalu merindu kepulanganmu.

“Pulanglah anakku, Ibu merindu” gumamku, setelah sambungan telepon mati.

Aku tak bisa memaksa membuatmu segera kembali, Aku tahu kau akan sedih memikirkannya, dan itu menjadikanmu tidak lagi fokus dengan pekerjaanmu, hanya sesekali Aku mengungkapkan dengan bahasa samar, agar kau ingat selalu akanku. Segera kembali bersama, di saat Aku menjelang senja usia.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Merindu Baginda Nabi

Figure
Organization