Lingkaran Cinta

Ilustrasi. (ummunashrullah.blogspot.com)

dakwatuna.com – Lapangan sebuah kampung, kutatap lekat. Tampak di sana rumput yang tumbuh tak merata dan mulai tandus. Dapat kutebak lapangan ini sudah tak terawat lagi. Di bagian barat, nampak deretan rumah warga serta sebuah lahan persawahan. Dahulu, pemandangan inilah yang terpampang setiap aku menuju sekolah. Ya, jalan ini adalah jalan menuju sebuah sekolah yang terpencil dari pusat kota. Udara pagi ini terasa sejuk dengan semilir hembusan angin yang ikut memainkan kerudung merah jambu yang aku kenakan. Hari ini, aku memiliki janji dengan teman dekat semasa SMA untuk datang ke sekolah karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Sampailah aku di dalam gedung sekolah. Ada sebuah perasaan yang menyeruak di dalam hati. Rasa rindu akan banyaknya hal yang telah kulalui di sekolah ini. Letak ruang dan suasana pun tak banyak yang berubah. Hanya warna cat tembok yang tampak berbeda. Kutemui guru-guru yang berada di kantor dengan tujuan bersilaturrahmi. Para guru yang telah banyak mengajariku tentang segala hal. Bersua pula dengan ibu kantin yang sudah kuanggap seperti keluargaku. Selang beberapa lama, temanku pun datang. Tias Septiani, namanya. Kami mulai mengurus keperluan kami untuk mendapat izin mengadakan acara “Cakepers” dengan teman-teman ROHIS.

Setelah persuratan dan perizinan kami peroleh, kami memutuskan untuk mengunjungi masjid sekolah. Tempat dahulu kami biasa berkumpul dengan teman-teman dekat kami. Perbincangan mengenai berbagai hal mulai mengalir dari mulut kami. Masjid at-Tarbiyah ini adalah tempat kami untuk curhat, mengerjakan tugas sekolah, dan juga halaqah. Halaqah adalah sebuah kegiatan yang hingga saat ini kami lakukan. Dan semoga hingga nanti Allah SWT mewafatkan kami.

“Ni, inget ngga? Dulu kita sering kumpul bareng sama temen-temen ROHIS di sini, dan pertama ketemu buat diajak halaqah juga di sini.”  kami mulai berbincang mengenai saat pertama kali kita mengenal halaqah.

Teringat akan 6 tahun silam, saat kami bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang kami kenal sebagai guru pengajar keputrian di sekolah kami. Siang itu kami berkumpul ngerumpi di masjid. Wanita itu berkata, “Sedang apa di sini?”

Kami pun hanya tersipu malu karena tak tahu jelas dengan apa yang sedang kami kerjakan. Wanita itu tetap tersenyum dan melanjutkan obrolan, “Ukhty, daripada kumpul tak jelas lebih baik ikut halaqah yuk!”

Dalam benakku, halaqah adalah semacam kegiatan pengajian yang para siswanya duduk melingkari seorang ustadzah untuk mendengarkan kajian agama. Itu jelas akan sangat membosankan. Ada sedikit diskusi di antara kami.

“Gimana mau ikut ngga?” sahut salah seorang temanku.

“Udahlah ikut aja, ngga enak tau!” temanku yang lain ikut menimpali.

“Iya biar bisa insyaf.” Sahut Tias dengan sedikit bergurau.

Insya Allah, Bu. Minggu depan kami mulai ikut halaqah.” Jawabku dengan seulas senyum.

Sepulangnya dari sekolah, aku masih berpikir mengenai halaqah. “Semoga bisa betah ikutan halaqah kaya gitu.” Batinku bergumam.

Tiba pada hari saat pertama kali halaqah. Sejujurnya saat itu ada perasaan malas dan canggung yang menggelayuti diriku. “Tapi tak ada pilihan lain, teman-teman yang lain pun ikut. Masa aku ngga sih?” begitu pikirku.

Saat halaqah berlangsung, “Ukthy, nama ibu, Neneng Suprihatin. Ibu yang akan menjadi murabbiyah kalian.”

Kami menimpali dengan hanya tersenyum simpul. Materi yang disampaikan mengenai “Syahadatain”– pemahaman akan pentingnya penyaksian terhadap Allah Swt. Sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Tapi saat itu hatiku belum merasakan sesuatu, mungkin katakanlah jatuh cinta dengan kegiatan halaqah.

Halaqah-halaqah berikutnya aku masih merasakan hal yang sama seperti sebelumnya, belum jatuh cinta. Terkadang kami bolos halaqah hanya untuk hangout. Tetapi Umi Eneng (panggilan kami untuk murabbiyah kami) tak pernah berkata kepada kami dengan nada memperingatkan. Beliau justru berkata dengan lembut, “Solehah, kita hidup tak hanya untuk mencari kesenangan dunia semata. Kita pun perlu untuk men-charger rohani kita lewat halaqah ini.” Dengan kehalusan budinya, secara perlahan aku mulai dengan senang hati mengikuti halaqah. Aku mulai merasa jatuh cinta dengan halaqah.

Perlahan kuputuskan untuk mengganti jilbab alakadar dengan jilbab lebar yang menutupi dada sesuai dengan yang diajarkan-Nya dalam Alquran. Hari-hari yang kulalui berikutnya terasa berbeda dengan pilihanku untuk berjilbab lebar. Ada perasaan deg-degan saat aku keluar kamar dengan berjilbab. Tapi tanggapan dari kedua orang tua ku justru dengan hanya seulas senyuman. Sebuah tanggapan yang masih tak bisa kumaknai. Dengan perubahan ini, ada sebuah beban di pundakku, ‘bisa istiqamah atau tidak?’.

Pagi itu, matahari tampak malu menampakkan dirinya dan memilih berlindung di balik sang awan. Tetapi, kegiatan di sekolah tetap sesibuk biasanya meski mendung mengiringi. Hari ini, akan ada pemotretan para siswa sebagai perlengkapan administrasi ujian. Beberapa teman terlihat sibuk berdandan agar tampil baik di kamera. Sementara itu, aku berbincang dengan salah seorang kawan sambil menunggu giliran. Kami sedang asik berbincang saat Tias datang dengan wajah yang cemas, “Ni, ngga boleh pakai jilbab.”

Segera kami memutuskan untuk menemui salah seorang guru untuk meminta kepastian. “Pak, masa ngga boleh pakai jilbab?” tanyaku pada salah seorang guru kesiswaan.

“Peraturan dari pusat memang seperti itu.”

“Kalau kita pakai jilbab gimana?” lanjut ku.

“Tapi sekolah menyarankan untuk ikuti aturan. Karena jika ada permasalahan di kemudian hari, kami tidak akan bertanggungjawab.”

Kami paham akan kalimat itu, sebuah kalimat ancaman yang membuat kami semakin cemas. Tias menyarankan agar aku menghubungi Umi. Kuputuskan untuk mengirim pesan kepada Umi Eneng, “Umi, hari inikan kita akan foto buat ujian tapi kita ngga boleh pakai jilbab. Gimana dong Umi? Bantuin.” kutekan kirim dan berharap Umi segera membalasnya.

Balasan yang kami tunggu tak urung sampai. Sementara orang-orang terus memaksa kami agar segera foto, “Udah sih ngga apa-apa lepas juga, cuma sebentar nanti kita tutupin”.

“Ya Rabb, tunjukan kami pada kebaikan.” Kepalaku pening memikirkan harus bagaimana. Sementara kulihat handphone berharap ada pesan masuk dari Umi.

“Gimana Ni? Dibales belum?”

“Belum Yas.” Wajah Tias nampak semakin gusar.

Akhirnya kami adalah orang yang difoto paling akhir, dan yang paling menyedihkan adalah kami difoto tidak dengan menggunakan jilbab. Ada semacam perasaan kehilangan harga diri. Meski pun ikhwan dilarang masuk saat kami foto, tetap saja yang memotret adalah seorang ikhwan.

“Coba minta tolong ke Pak Sudin agar mau bantu bicara ke pihak sekolah.” Sebuah pesan masuk dari Umi Eneng.

“Ya Rabb ampuni kami.” batinku merintih.

Setelah dzuhur, Umi Eneng meminta kami menemui beliau di masjid. Entah apa reaksi yang akan diberikan beliau setelah mengetahui apa yang telah terjadi.

“Minta tolong ke Pak Sudin, beliau Insya Allah paham agama. Mungkin beliau bisa bantu bicara pada pihak sekolah”.

Umi Eneng terus saja melanjutkan pembicaraan kepada kami, sedangkan di antara kami tak ada satu pun yang mau memberitahukan yang telah terjadi. Akhirnya salah seorang dari kami angkat bicara dengan nada yang gemetar, “Umi, tapi kita udah foto tanpa jilbab.”

Bahu beliau langsung melorot dengan sorot mata yang redup serta tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kami dapat menangkap sebuah perasaan kecewa dari sikap beliau yang seperti itu. Entah sejak kapan air mata ini mengalir. Merasa kami belum dapat istiqamah dengan pilihan menutup aurat.

Tak lama, beliau berkata, “Tidak ada kesalahan yang terulang dua kali solehah, karena yang kedua kali tersebut bukanlah kesalahan tetapi pilihan.”

Nampak ada perasaan kecewa dari nada suaranya yang berat, namun satu yang kami tahu bahwa beliau sangat menyayangi kami. Aku azzamkan dalam hati untuk tidak pernah melepas kembali jilbabku dengan desakan seperti apa pun.

Saat aku dan Tias sedang asik berbincang mengenai kenangan kami, Allah menurunkan rahmatnya melalui hujan. Rintik hujan perlahan mulai deras, kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam masjid. Atmosfer kenangan halaqah beberapa tahun silam menyeruak ke dalam pikiran kami. Kami mengamati sekeliling.

“Nia, banyak kenangan kita di sini. Aku rindu.”

“Ya, aku pun rindu melingkar di sini dengan kawan-kawan.”

Mahasiswi.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...