Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Emakku, Sosok Pekerja Keras

Emakku, Sosok Pekerja Keras

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(Foto: Sunardi)
(Foto: Sunardi)

dakwatuna.com – Emakku kini engkau tak muda lagi. Kerutan kulitmu mulai terlihat dengan jelas. Uban menghiasi di sana sini dari rambutmu. Tubuhmu kini pun sedikit ringkih karena seringnya penyakit menghampiri. Bahkan, saat ini hampir tak ada lagi gigimu yang asli, gigi pasanganmu itu pun pernah hancur karena kecelakaan saat berkendara, alhamdulillah kini sudah dipasang yang baru lagi. Namun, di usiamu yang hampir kepala lima itu, engkau masih saja bekerja keras membanting tulang, memeras keringat. Meski anakmu ini sudah berkali-kali memintamu untuk ‘pensiun’ dan ikut denganku di Jayapura. Engkau tak perlu lagi bekerja, jika engkau mau menjaga cucumu itu pun sudah lebih dari cukup. “Emak malu, emak masih bisa bekerja,” itu kalimatmu menolak permintaanku.

Aku pun sudah lama membujuknya agar adik bungsuku, satu-satunya adikku yang masih bersekolah untuk pindah sekolah ke Jayapura. Semua biaya sekolah dan biaya hidupnya biar menjadi tanggunganku. Alhamdulillah, emak mengizinkan adikku pindah ke Jayapura saat ia lulus SMP, dan melanjutkan SMA di Jayapura. Bahkan, saat itu emak pun ikut ke Jayapura menemani si bungsu agar kerasan di sini. Namun, setelah empat bulan berjalan tiba-tiba emak meminta pulang ke Sorong. Ingin bekerja, ingin menabung untuk kebutuhan kuliah adik bungsuku kelak, katamu. Kalau emak sudah bertekad bulat, tak ada lagi bujuk rayu yang mempan. “Baiklah mak, nanti kalau kangen sampaikan ya, biar kukirim biaya transportasinya,” kataku menyerah pada kemauannya.

Sosoknya yang pekerja keras dan tak mau diam kembali terlihat saat emakku sampai di Sorong. Begitu mendengar ada perusahaan pemborong dermaga baru Kota Sorong yang membutuhkan tenaga, emakku pun langsung melamar. Emakku bersama sejumlah pekerja perempuan lainnya ditempatkan di bagian dapur bertugas menyiapkan makan bagi hampir ratusan pekerja di sana. Gajimu saat itu tidaklah besar, namun betapa engkau bersyukur karena setiap akhir bulan uang gaji itu bisa engkau sisihkan dan ditabung.

Setelah dermaga itu selesai engkau memilih untuk bekerja di rumah, berjualan nasi kuning dan bensin eceran. Sementara setiap Sabtu dan ahad jadwal keliling dari rumah ke rumah mengkreditkan pakaian. Untuk pekerjaan yang terakhir ini sebenarnya sudah lama dijalani emakku, seingatku sudah sejak aku masih bersekolah di bangku SD. Ia mengambil pakaian dari sejumlah bos kenalannya dengan harga miring di kota dan menjual kembali secara kredit di desa kami dengan harga lebih tinggi. Ada hal yang menarik, bahwa bos-bosnya di kota sudah sangat percaya emakku. Emakku bisa membawa berapa pun jumlah baju yang dikehendaki tanpa harus membayar terlebih dahulu. Setelah dua pekan atau bahkan sebulan kemudian emakku baru membayarnya.

Dahulu emak bisa hampir setiap hari berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lain, seakan sudah dijadwalkan harinya, untuk menjual pakaian. Namun, saat ini emak hanya berkeliling di desa kami saja, dan itu pun hanya di hari Sabtu dan ahad. Sudah banyak pedagang yang sama, yang menjadi alasan emakku.

Emak, usiamu sudah tak muda lagi. Kerut kulitmu semakin nampak, putih ubanmu juga semakin banyak. Tapi.. Tapi semua itu tak lantas menjadikanmu mau menuruti kata-kata anakmu, istirahat dan menikmati masa tua dengan lebih santai.

Sosoknya yang pekerja keras, bertanggung jawab kepada keluarga, ingin memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya, sudah aku lihat sejak aku mulai bisa mengingat peristiwa dalam memori yang lama yaitu di saat usiaku sekitar 3 tahunan. Saat itu sawah keluarga kami gagal panen, emak pun berpikir keras mencari solusi. Dengan sisa-sisa minimnya uang yang dimiliki, ia ingin agar dapur kami tetap bisa ngebul. Saat itu bukan berarti ayahku berpangku tangan, ayahku pun mencari solusi dengan menjadi buruh proyek jalan dan irigasi. Namun, bos ayahku menghilang dengan membawa lari semua gaji para pekerjanya. Walhasil, kerja ayah sebulan lebih itu tak menyambung nyawa dapur kami. Padahal emakku setiap hari harus membekali ayahku dengan masakannya meski sederhana adanya.

Keluarga kami saat itu sampai tak mampu lagi membeli beras, dan beralih makanan pokok kami ke sagu dan gaplek dari singkong. Ayah yang bertanggung jawab menohok sagu di hutan dan mencabut singkong di kebun kami.

Saat itu, emak mengambil keputusan menjadi pedagang kue keliling di desa sebelah yang baru saja dibuka transmigrasi baru. Jarak dua kali 20 km pun setiap hari ditempuhnya pergi pulang dengan berjalan kaki karena saat itu kami tak memiliki kendaraan meski hanya sebuah sepeda. Bangun pukul 3 dini hari bergelut di dapur meracik kue bahan jualan, dan harus sudah berangkat ba’da shalat subuh setiap hari di jalaninya.

Saat keluarga kami mampu mengumpulkan sedikit modal, emak dan ayah memberanikan diri menjadi pengumpul telur ayam kampung dan telur bebek dan menjualnya ke pasar Sentral di kota Sorong. Tak menggunakan rak telur, karena tak cukup modal untuk membelinya, telur-telur itu pun diletakkan di kotak kayu besar. Agar tak pecah karena saling berbenturan di antara telur itu disusun daun pisang kering. Saat itu kami sudah mempunyai sebuah sepeda, berdua ayah dan emak mendorong sepeda menuju kota berjarak 40 km. Dari situlah emak mulai memiliki sejumlah kenalan, dan dipercaya untuk membawa pakaian dari tokonya di kota untuk dijual keliling dari satu desa ke desa lainnya.

Itulah salah satu episode yang menunjukkan betapa emakku adalah pekerja keras ingin memperbaiki ekonomi keluarga kami. Selain pekerja keras, bagiku emakku adalah guru pertamaku, dialah yang mengajariku membaca, mengaji, menggambar maupun bercerita sebelum aku mendapatkannya dari bangku sekolah. Emakku juga adalah sosok penyayang keluarga dan anak-anaknya. Untuk hal yang terakhir ini, banyak peristiwa yang menggambarkannya. Namun, kesempatan ini tak cukup untuk menyampaikannya, Insya Allah di suatu kesempatan aku akan menuliskannya. Emakku juga adalah sahabatku, ia tak canggung untuk curhat tentang berbagai masalahnya denganku karena sudah sangat percayanya ia padaku. Ahh, episode-episode ini pasti akan lebih indah diceritakan, semoga di suatu saat nanti.

Emak, maafkan aku masih belum bisa membahagiakanmu. Aku sebenarnya tak tega membiarkanmu terus bekerja sekeras itu. Namun, aku pun tak mampu menghentikan kemauanmu yang membaja. Maafkan aku yang hanya bisa mengirim sejumlah rupiah yang tidak besar angkanya setiap bulannya.

Kerja kerasmu begitu membekas bagiku, terutama saat di masa kuliah strata satuku di Jayapura. Biasa sebagai anak kos tentu menunggu-nunggu kiriman dari emaknya. Setahuku engkau tak pernah telat mengirimi kebutuhanku. Dan, aku tahu untuk itu engkau yang saat itu tinggal di kota, harus setiap akhir pekan pulang ke kampung membawa pakaian dijual keliling. Saat pulangnya, keranjang karungmu di bagian belakang motor pun penuh dengan berbagai hasil pertanian. Engkau menyetir sendiri jarak hampir 40 km itu untuk menjual sayur mayur itu ke kota. Terima kasih mak, atas semua perjuanganmu. Meski di pertengahan kuliahku, aku sudah memiliki penghasilan dari mengajar privat dan mengajar di bimbingan belajar dan aku pun mendapatkan beasiswa dari kampus, dan aku memintamu tak lagi mengirimiku namun engkau menolak. “Adik-adikmu semua mendapat biaya bulanan dari emak, kamu pun harus tetap mendapatkan jatah,” katamu ketika itu. Akhirnya, hingga aku menyelesaikan kuliahku, emak terus mengirimiku biaya bulanan.

Emak, engkau adalah ibu terbaik bagi anakmu ini. Dengan kerja kerasmu itu, kini anakmu sudah menjadi orang. Meski saat aku akan berangkat kuliah dulu, banyak tetangga yang meragukanmu akan mampu membiayai kuliahku hingga selesai. Namun, kerja kerasmu membuktikan, kini bukan hanya sarjana anakmu ini bahkan sudah menyelesaikan jenjang pasca sarjana dari sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Makasih emakku yang hebat. Kerja kerasmu telah menghantarkanku menjadi seperti sekarang ini. Doakan aku tetap bisa berbakti, berdoa dan berbagi denganmu.

Terima kasih untuk semuanya, mak. Terima kasih untuk kasih sayangmu, terima kasih untuk cintamu, terima kasih untuk persahabatan darimu. Tak mungkin aku bisa membalas untuk semua kebaikanmu. Hanya doa yang mampu kulantunkan untukmu, semoga Allah anugerahkan semua kebaikan padamu, diberkahi kehidupanmu, dan dipanjangkan usiamu dalam keridhaan-Nya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Peluk cium dari anakmu.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang guru Fisika di Madrasah Aliyah Darud Da�wah wal Irsyad (DDI) Jayapura, Papua. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Program Studi Fisika dari Universitas Cenderawasih tahun 2004, dan pasca sarjana di bidang yang sama dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2011. Dalam bidang tulis menulis, Sunardi pernah menyabet juara pertama Lomba Penulisan Essay untuk Guru Tingkat Nasional pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah bekerja sama dengan Maskapai Lion Air. Tulisannya saat itu yang berjudul �Menyongsong Fajar Baru Pendidikan di Papua� yang dilengkapi dengan data-data akurat dan dengan gaya bahasa penulisan �semi sastra� telah menambat hati Taufik Ismail sebagai salah satu juri lomba untuk memberikan nilai tertinggi. Sunardi menikah dengan Husnul Khotimah dan dikaruniani seorang putri bernama Billahi Tahya Haniiah (5 tahun).

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization