Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ya Allah, Mutiara-Mu Tidak Pernah Berhenti Bersinar

Ya Allah, Mutiara-Mu Tidak Pernah Berhenti Bersinar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (addinie.wordpress.com)
Ilustrasi. (addinie.wordpress.com)

dakwatuna.com – “Apa sekarang kau sudah lapar Nak?” Sesaat kutatap istriku yang sedang asyik menggendong si kecil marwah selepas shalat maghrib dari surau di depan kontrakan kami.

“Marwah sayang ayo baca bismillah bareng Umi ya…?” Marwah kecil hanya terdiam saja, sesekali ia hanya tersenyum manis seperti senyum khas kebanyakan bayi berumur empat bulan seusianya. Aku hanya ikut tersenyum kecil melihatnya.

“Bismilla..hirahma..nirrahim….pinter, sekarang marwah minum ASI dulu ya, biar sehat dan pinter..” Aku tersenyum sekali lagi kepadanya, aku hanya mengangguk dan membiarkan ia asyik menunaikan kewajibannya sebagai seorang Ibu. Istriku selalu mengingatkanku bahwa tugas menjadi orangtua bukanlah tugas sepele atau tugas asal-asalan. Mendidik anak berarti sedang memupuk pohon pewaris peradaban islam. Anak yang kita didik haruslah kita tanamkan misi keagungan Allah dan Islam, sehingga ketika besar kelak ia menjadi garis terdepan pembawa panji kemenangan islam. Terserah, jika ia mau memilih menjadi profesi apapun, mau menjadi dokter seperti abinya atau apaun itu yang terpenting ia selalu membawa Allah dan islam dalam pekerjaanya. Ah..betapa besyukurnya aku mendapatkan istri seperti dia.

“Nah marwah sayang, Marwah tau gak, kalo makanan itu masuk ke cavum oris marwah, terus ke faring, oseofagus, terus ke gaster, duodenum, jejeneum, ileum terus ke saecum dan anus….nah itu semua atas kehendak dan keagungan Allah Nak..” Hah..ada ada saja isrtriku ini. Anak usia empat bulan sudah diajarkan terminology kedokteran. Aku memaklumi hal tersebut. Karena mungkin sudah terbiasa, aku jadi hapal sendiri pola kebiasaan yang ia tanamkan pada marwah beberapa bulan ini. Ketika shalat malam ia pasti membawa marwah kecil yang sedang tidur lelap ke mushola, saat ditanya apakah tidak mengganggu tidurnya? Ia hanya menjawab sambil tersenyum kecil, “Tidak apa-apa suara bacaan surat yang Abi baca terdengar merdu layaknya gelombang alpha yang bisa menguatkan memori otaknya, dan yang terpenting ia bisa mengenal Allah dari bacaan-bacaan itu”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk tak berdaya dengan segala alasan kuatnya.

Jika tiba waktu shalat lima waktu, ia pasti akan membawa ikut marwah shalat berjamaah, walaupun marwah kecil hanya diam di sampingnya belum mengerti apapun. Setiap kali akan memberikan ASI, ia pasti segera berwudhu terlebih dahulu. “Air suci yang mengalir di setiap permukaan kulit dan daging ini akan membuat rileks syaraf-syaraf kita, ketenangan jiwa akan membuat produksi hormone prolaktin dan oksitosin yang berfungsi untuk produksi dan pengeluaran ASI bekerja maksimal, insya Allah ASI yang dikeluarkan lebih barokah dan berkualitas untuk Marwah”. Subhanallah… begitulah istriku tercinta. Hikmah-hikmah itu mengalir begitu saja. Bahkan selama enam tahun menimba ilmu di fakultas kedokteran aku jarang memaknai sampai sedalam itu. Allahuakbar, sesungguhnya ilmu-Mu pasti akan membuat semua hamba-Mu brtekuk lutut memuji-Mu.

Tapi sesholehah apapun istriku ia tetap seorang manusia biasa. Terkadang ia marah-marah kepadaku saat aku selalu telat pulang ke rumah, “Apakah pasien-pasien Abi tidak merasakan bahwa Abi juga seorang manusia biasa? Bahwa Abi juga memilki keluarga di rumah yang harus dipenuhi hak-haknya? Marwah dari pagi belum mendengar suara Abi, jadi Umi mohon Abi bisa mengatur kembali rencana harian Abi, atau bila perlu Umi yang buatkan jadwalnya sekalian”. Kalau sudah seperti itu aku memilih untuk berdiam dan mendengarkan apa yang ia katakan, karena secara psikologis apaun nasihat yang kita berikan pada orang yang sedang marah akan seratus persen ditolaknya mentah-mentah. Aku hanya menyuruhnya untuk duduk bersama dan mendengarkan dengan seksama semua keluhannya sampai selesai. Biasanya ia akan menangis tersedu-sedu. Setelah ia selesai bercerita barulah giliranku masuk untuk meminta maaf dan mengajak berdiskusi untuk mencari solusi bersama. Ah..begitulah seorang suami istri dalam berbagi peran. Jika salah satu menjadi api, maka yang satu lagi harus menjadi airnya.

Ketika baru satu bulan kami menikah, karena kesibukanku bertugas menjadi dokter jaga UGD membuatku kadang terlupa untuk menghubungi Ibu dan Bapak di kampung halaman, maka dialah orang pertama yang yang tidak pernah berhenti mengomel dan menyuruhku untuk secepatnya menanyakan kabar Ibu di rumah. “Bukankah surga itu di telapak kaki Ibu?”. Itulah senjata adalannya.

Siang itu aku memutuskan untuk segera pulang ke kontrakan. Bukan karena tidak ada pasien di rumah sakit, melainkan ada sesuatu hal penting yang harus segera aku diskusikan dengan istriku. Kulihat dia sedang asyik memasak sambil menggendong marwah kecil dan mengenalkannya dengan sayur-sayuran yang baru saja ia beli dari pasar.

“Ini namanya apa Nak..? Ini namanya Wor..wor..wortel…, wortel warnanya ku..ning dan punya vitamin A yang baik untuk kesehatan mata. Siapa yang membuat wortel ini menjadi kuning? Ayo siapa Nak? Siapa lagi kalo bukan All…ah..”. Aku hanya bisa tersenyum kecil, entahlah yang jelas ia sedang mengenalkan keagungan Allah dan ilmu pengetahuan lewat barang-barang di sekitarnya kepada marwah. Masih kuingat ketika tiga bulan pertama ia mengandung marwah, ia begitu sangat ngotot minta dibelikan MP-3 dengan kualitas suara terbaik. Aku sendiri bingung biasanya orang mengidam makanan atau minuman, tapi ia malah mengidamkan MP-3. Setelah satu hari kubelikan, barulah aku paham maksud ia meminta dibelikan MP-3,

“Ketiga umur tiga bulan atau trisemester pertama, Allah mulai menciptakan organ-organ dari bayi yang sedang dikandung atau kita sering sebut trismester pertama dengan istilah organogenesis, umi ingin ketika Allah mulai menciptakan telinganya, maka suara yang pertama ia dengar adalah asma Allah…”. Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata, sebegitu indahnya kah islam?

“Kok Abi pulang cepat? Alhamdulillah..berarti orang-orang sudah sehat ya Bi? ” Selepas shalat berjamaah dan makan bersama, aku mengajaknya untuk berdiskusi di teras depan kontrakan kami. Marwah dengan pulas tidur di pangkuannya, nampaknya ia senang dengan kerudung kecil yang baru dibelikan uminya di pasar tadi pagi.

“Hehe..bukan Dek, Mas ingin mendiskusikan sesuatu yang penting bagi kita”. Aku mengeluarkan secarik kertas dari dinas kesehatan provinsi, kujelaskan secara detail bahwasannya aku ditugaskan untuk mengabdi sebagai dokter puskesmas ke daerah terpecil di sebuah pulau di kepulauan Riau sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

“Gimana, Adek siap ikut?” tadinya aku berpikir bahwa ia akan merenung dan memikirkan hal ini masak-masak, kerena ku tau dia sudah memiliki planning besar untuk pendidikan Marwah dan dirinya. Dalam peta hidup yang sama-sama kami buat, ia ingin meneruskan S2 nya stelah marwah menginjak usia dua tahun. Alasan utama kenapa harus sampai dua tahun karena ia bersikeras ingin memberikan ASI eksklusif untuk marwah sampai usia dua tahun. “Di dalam Alquran kan sudah dijelaskan bahwa kita harus memberikan ASI ekslusif selama dua tahun, tidak kurang dan tidak lebih. Secara medis juga sudah terbukti bahwa kadar kandungan gizi susu ASI lebih baik dari pada susu sapi, apakah Abi ingin anaknya sesehat dan sepintar Umi apa sapi?”. Begitulah argumentasinya. Ia juga sudah menyiapakan sekolah mana saja yang bisa mensuplai kebutuhan akademik dan agama yang baik bagi marwah. Tapi siang itu ia menjawab spontan, tegas, mantap tanpa berpikir panjang.

“Alhamdulillah..Siap. Umi sama marwah siap ikut berdakwah, mengabdikan ilmu bareng Abi kesana”. Ia mengelus-elus pipi marwah kemudian membangunkannya, “Bangun sayang..Marwah harus ikut mendengarkan diskusi penting terkait dakwah Umi dan Abi”. Belum sempat aku bertanya, ia sudah mengeluarkan statementnya lagi.

“Abi gak usah khawatir sama umi dan marwah. Keputusan Abi harus mantap. Kita tidak sedang berjual beli dengan manusia tapi dengan Allah, Barang siapa menolong agama Allah maka Allah akan menolong di setiap kesulitannya serta meneguhkan kedudukannya. Perkara pendidikan marwah, Abi jangan cemas. Kita sudah berjual beli dengan Allah, yakin Allah yang akan memenuhi apapun yang dibutuhkan marwah termasuk pendidikan agama dan akademisnya”. Ya Allah.. sungguh aku tidak bisa berkata-kata lagi. Kulihatnya matanya memancarkan aura semangat yang menggebu-gebu. Tak lama setelah itu kami meneteskan air mata. “Bismillah…, semoga Allah meneguhkan niat kita dalam jalan ini ”. Setelah itu kami bersujud syukur bersama. Ya Allah…istiqamahkanlah kami.

“Bi sudah terdengar suara adzan, kita shalat dulu ya,”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Saat itu kami sudah sampai di pelabuhan Riau dan siap berangkat ke pulau tempat dimana aku ditugaskan menggunakan perahu kecil. Aku sempat bertanya apakah tidak ada kendaraan yang lebih aman dan lebih besar untuk menju kesana, tapi petugas pelabuhan menjawab bahwa hanya perahu kecil itulah yang dimiliki dinas perhubungan untuk menuju kesana. Aku sempat khawatir dengan kondisi istriku dan marwah, tapi lagi-lagi dia mengingatkanku “Tidak apa-apa Bi, insya Allah Allah yang akan menjaga kita”. Selepas shalat dzuhur berjamaah kami berangkat.

“Subhanalallah..lihatlah Nak, laut membentang luas nan biru, ada ikan-ikan indah dan terumbu karang di dalamnya, Kau tau siapa yang membuatnya seperti ini? Betul Nak, Allah-lah yang membuatnya” Aku tersenyum kembali padanya. Tidak kulihat sedikitpun ketakutan dalam hatinya. Padahal kami hanya menggunakan perahu kecil berisi dua orang penumpang bersama dua orang supir.

“Bi sepertinya marwah sudah mulai lapar, boleh Umi melepas baju pelampung ini? Umi ingin memberinya ASI sebentar, Alhamdulillah Umi masih punya wudhu”. Aku sedikit ragu untuk mengiyakan karena kutahu resikonya sangat besar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wajahnya kembali memelas, matanya melihat marwah yang terus membuka mulutnya sebagai penanda bahwa ia sudah ingin makan.

“Baiklah, jangan lupa terus berdzikir ya, Minta Allah membersamai perjalan kita”. Ia mengangguk tersenyum, dibukanya pelampung kemudian seperti biasa ia mengajak marwah mengucap basmallah, dengan jilbab besarnya ia menutupi marwah untuk memberikan ASI.

Allahuakbar. Benarkah ini sebuah firasat? Dalam beberapa menit awan yang tadinya cerah berubah sedikit demi sedikit menjadi hitam mendung. Perjalanan tinggal lima belas menit lagi. Aku melihat istriku yang sedang asyik menghapal juz amma sambil memberikan ASI kepada marwah. Belum sempat aku ingatkan untuk segera memakai pelampung. Hujan deras tiba-tiba datang. Aku panik. Dan segera kudekap istriku beserta marwah. Kami berdzikir melantunkan doa berharap pertolongan-Nya. Dalam hitungan detik perahu kecil yang kami tumpangi oleng di terjang ombak yang semakin mengganas liar tanpa ampun. Kepalaku terbentur keras pada sisi badan perahu. Saat itu aku tak sadarkan diri.

Di alam bawah sadar memoriku teringat akan istri yang sangat aku cintai, akan si kecil mungil marwah yang sangat lucu dengan kerudung kecil barunya. “Ya Allah bagaimana nasib istri dan anaku? Mereka tidak memakai pelampung? Ya Allah.., jika aku dihadapkan pada dua pilihan maka aku memilih dipanggil duluan, sedangkan mereka, biarkanlah mereka menjadi pengukir peradaban islam. Biarkanlah istriku menjadi seorang ibu yang tangguh yang bisa mendidik anakku menjadi pilar-pilar pembangkit kejayaan islam. Biarkanlah anakku tumbuh menjadi srikandi muslimah yang berjuang untuk dakwah di jalanMu”. Tiba-tiba ada cahaya putih yang sangat terang, kulihat wajah istriku bercahaya, ia melambai-lambai kearahku, saat itu aku kembali berdoa, meminta pertolongan kepada-Nya.

Aku tersadar. Rasa sakit mulai mengerogoti daging tubuh ini. Mediator inflamasi mulai bekerja memberikan rangsangan sakit pada syaraf-syaraf disekitarnya. Pandanganku kabur. Sayup-sayup terdengar suara istriku melantunkan juz amma hapalannya. Benarkah dia istriku? Allahuakbar, mahasuci engkau zat pemilik setiap kehendak dan takdir. Benar dia istriku. Kulihat sekilas ia baru selesai shalat, dimana aku berada? Dalam hitungan menit pandanganku mulai jelas kembali. Alhamdulillah puji syukur Allah pemilik setiap sel dan organ tubuh ini. Istriku mulai melirikku, kemudian bergegas menghampiri sambil menangis tersedu-sedu.

“Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar..maha besar engkau ya Allah, kuatkan hati dan iman kami, simpulah hati kami dengan iman dan jalan dakwah ini. Allhamdulillah engaku sudah sadar Mas?” Dia bersimpuh menangis di atas perutku.

“Alhamdulillah semua atas pertolongan Allah, di mana kita sekarang Dek? Marwah gimana kondisinya?” Ia hanya tersenyum, kemudaian menjelaskan apa saja yang mereka alami saat kejadian itu. Alhamdulillah atas pertolongan Allah marwah tidak tenggelam bersamanya istriku, marwah ditolong pengemudi perahu yang kebetulan saat itu melihat marwah tersangkut di tas pakaian kami, istriku dan aku tenggelam tapi setelah itu banyak warga nelayan yang ikut membantu mencari kami. Istriku ditemukan terdampar beberapa meter di bibir pantai. Sedangkan aku ditolong pengemudi perahu stelah beberapa menit tenggelam, untungnya posisi perahu kami tidak jauh dari pantai sehingga banyak warga nelayan yang menolong kami. Terlepas dari itu semua kami bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya memberikan kami kesempatan hidup di dunia ini.

Lima hari aku dirawat di puskesmas tempatku bekerja. Marwah sudah pulih dan riang kembali seperti biasa. Ia masih terus mengobrol bersama uminya.

“Dek, bagaimana mau tetap lanjut?”

“Bismillah Mas, rintangan ini tidak boleh mnurunkan semangat kita untuk terus berjuang. Mungkin Allah ingin mengajarkan kepada kita bahwa musibah ini belum ada apa-apanya dibandingkan ketika kita nanti terjun di masyarakat. Bismillah kita lanjutkan perjuangan ini”. Aku hanya tersenyum dan mengangguk setuju. Kami sepakat tidak memberitahukan kabar kecelakaan itu kepada kedua orangtua kami.

Setahun, dua tahun, sampai lima tahun telah berlalu. Suka duka dalam perjuangan berdakwah dan mengabdikan ilmu ini telah kami lalui bersama. Marwah tumbuh menjadi gadis kecil yang sholehah. Dari sejak kecil uminya sudah mengajarkan bagaimana menjaga diri, menjaga agama dan kehormatan dengan bingkai syariat islam yang indah. Ia diajarkan untuk kritis dan peka terhadap lingkungan seperti ibunya. Jika pagi samapai siang ia sekolah maka setelah dzhuhur ia mengajari mengaji anak-anak dinawah umurnya. Selepas ashar ia akan mebantu uminya memasak di dapur kemudian belajar dan mengaji.

Betul apa yang dikatakan istriku. Allah tidak akan tinggal diam menelantarkan orang-orang yang berjual berli dengan-Nya. Walaupun sekolah di daerah terpencil, ia tumbuh menjadi sosok yang mau berkompetisi, sehingga ia terkadang mampu mengalahkan teman-temannya di tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional.

Masa-masa itu akan menjadi kenangan tak terlupakan bagiku. Usiaku kini sudah tujuh puluh tahun. Bidadariku yang selama ini selalu meneguhkanku, menenangkanku dan selalu mebersamaiku ketika suka dan duka telah tiada. Begitu indah Allah memanggilnya dengan tersenyum saat sujud shalat tahajud berjamaah. Aku memang sangat kehilangan, tapi di sana Allah mengajarkan bahwasannya makhluk dan dunia ini adalah fana. Cukuplah Allah yang menjadi teman sejati kita.

Walaupun ia telah pergi, tapi sinarnya tidak pernah hilang. Sinar itu semakin bersinar saat aku diajak berdiskusi oleh anakku marwah,

“Bi, Alhamdulillah marwah sudah lulus menjadi dokter sepesialis bedah, marwah juga Alahamdulillah atas restu Abi dan Umi sudah berkeluarga. Bi ijinkanlah marwah beserta suami untuk mengabdikan profesi dan ilmu ini dengan berjuang sebagai tenaga medis ke Palestina, jika Abi mengizinkan insya Allah minggu depan marwah bersama tim medis Indonesia berangkat kesana”.

Allahuakbar…saat itu juga aku menangis, aku sungguh tidak berhak memberikan jawaban ini seorang diri, karena seharusnya Ibumu lebih berhak memberikan jawabannya. Dan aku tau apa jawaban Ibumu jika ia masih hidup.

“Berangkatlah, karena engkau bukan sedang berjual beli dengan manusia, engkau sedang berjual beli dengan Allah. Jangan cemas, jangan khawatir, Allah tidak akan menelantarkan orang-orang yang berjual beli dengannya. Siapa menolong agama Allah maka Allah akan menolong di setiap kesulitannya serta meneguhkan kedudukannya”.

Akuu kecup kening anakku marwah, aku tau Ibumu di sana tersenyum melihatmu. Aku tahu walaupun mutiara itu telah pergi, sinarnya tidak akan pernah padam, dan aku tahu sinar itu ada dalam dirimu anakku. Selamat berjuang, jalanmu tidak akan pernah mulus, Allah akan mengujimu. Karena ujian adalah syarat kelulusan bagi orang-orang yang beriman.

Kosa Kata:

  • cavum oris: Istilah anatomy tubuh masnusia untuk mulut
  • faring: Istilah anatomy untuk saluran pencernaan yang menyambungkan mulut dengan oeopagus
  • oseofagus: Istilah anatomi untuk saluran pencernaan yang menghubungkan faring dengan lambung
  • gaster: Lambung
  • prolaktin : Hormon untuk memproduski ASI
  • oksitosin: Hormon untuk membantu mnegeluarkan ASI
  • organogenesis: Proses pembentukan organ-organ tubuh
  • Mediator inflamasi: Zat kimia yang di produsi tubuh sebagai reaksi atas terjadinya peradangan/ infeksi

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang petualang, pencari ilmu asli tanah pasundan yang sedang menjejakan langkah kakinya di kota pendidikan Jogjakarta.�

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization