Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Jejak Guru 12 Purnama

Jejak Guru 12 Purnama

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Tim Pandeglang – Banten, dari Kiri ke Kanan: Heriyanto, Ulfa Wardani, Nurhasanah, Fitrianti, Januarita Sasni, Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo.  (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)
Tim Pandeglang – Banten, dari Kiri ke Kanan: Heriyanto, Ulfa Wardani, Nurhasanah, Fitrianti, Januarita Sasni, Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo. (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo)

dakwatuna.com – Satu tahun masa pengabdian terasa begitu singkat, rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di tanah gersang Ciherang. Ciherang adalah nama kampung tempat aku mengabdi di sinilah aku mengukir kisah dan meninggal jejak selama beberap bulan terakhir ini, banyak cerita dan kenangan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata, pahit getir menjadi relawan di tanah sunda adalah rahmat yang luar bisa bagi pejuang sejati.

Sejak januari 2015 Dompet Dhuafa mengirim aku ke tempat ini untuk menjadi relawan pendidikan selama satu tahun, bulan pertama aku mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru yang aku tempati, memulai dari mengenali orang di sekitar satu persatu, mengenal mereka bukan sekadar mengenal nama melainkan harus mengenal sifat dan karakter tiap indibvidu, beginilah cara yang aku lakukan agar aku bisa masuk menjadi bagian dari mereka, walaupun demikian untuk masuk menjadi bagian masyarakat di tempatkanku mengabdi bukanlah hal yang mudah, kesulitan yang aku hadapi selama beberapa bulan adalah sulitnya membangun komunikasi dengan masyarakat karena kemampuan berbahasa Indonesia rendah sehingga aku sedikit kesulitan untuk masuk dan bergaul, walaupun demikian aku tetap berupaya untuk memanjakan diri dan harus siap memutuskan urat malu agar aku benar-benar bisa diterima. Dalam keadaan seperti itu satu hal yang menjadi target utamaku yaitu mampu memberikan sedikit perubahan dari hari-hari biasanya agar aku bisa tampil di tengah-tengah mereka dengan demikian akan tumbuh kepercayaan dan tentunya bisa diterima dengan baik.

Awal februari lalu aku memulai peranku sebagai guru dengan mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris, dengan mengajar 128 siswa, walau aku sadari sarjanaku bukan background pendidikan tapi di sinilah aku buktikan kwalitas SGI yang telah berhasil membina kami selama kurang lebih 7 bulan di bogor, dengan bekal ilmu itulah sehingga aku bisa tampil di depan anak-Anak sebagai sorang guru relawan, aku memegang teguh kepercayaan itu sebagai sebuah kesempatan yang aku percayai tidak semua orang punya kesempatan melakukannya, menjadi relawan ternyata asik-asik susah, jangan memabayangkan ketika di beri amanah untuk memegang satu mata pelajaran lalu anda akan mengajar mata pelajaran itu saja, selama masa pengabdian aku sering mengajar semua kelas mulai dari kelas 1 hingga kelas 6, lebih-pebih ketika musim hujan, karena rumah guru-guru di sekolah penempatanku cukup jauh sehingga mereka tidak bisa masuk setiap hari karena kondisi jalan yang sangat tidak mendukung, menjadi guru relawan adalah guru yang serba bisa, 11 tahun yang lalu aku menamatkan sekolah dasar sebagai Ilmu itu sudah sirna dari ingatanku, tapi ketika aku menjadi relawan aku kembali belajar melebihi intensitas belajarku sewaktu SD dulu, begitu banyak pelajaran yang sangat berharga yang aku temui di tahun ini. Peranku sebagai guru telah menuntutku untuk belajar mengembangkan potensi diri mengupgret pengetahuan, karena aku tidak boleh kalah dengan siswaku, aku harus lebih dari mereka karena aku adalah panutan, yang mana setiap yang aku berikan akan diterima tanpa disaring terlebih dahulu.

Sejak awal masuk ke sekolah ini berbagai masalah yang aku temui, mulai dari personal siswa, guru, hingga fasilitas belajar, namun yang paling krusial adalah gedung sekolah tempat siswa-siswi menyemai harapan, kondisinya yang sangat memperihatinkan membuat aku berpikir semakin dalam, nuraniku tidak mengijinkan aku hanya memandang dengan mata telanjang tanpa harus berbuat lebih, Masih sangat jelas terlihat sebuah bangunan yang separuh bagiannya hampir rubuh, bangunan yang hanya memiliki luas kurang lebih 400 M2 ini bagian atasnya sudah sangat rapuh, dinding-dinding sudah mulai retak sehingga kondisi tersebut menciptakan suasana belajar yang tidak nyaman, karena sewaktu-waktu bisa saja roboh dan menimpa setiap jiwa di bawahnya tanpa ampun, setiap musim hujan menambah pekerjaan siswa di sekolah, karena sebelum memulai kegiatan belajar mereka harus membersihkan sisa-sisa air di meja belajar yang berasal dari atap yang bocor serta lantai yang berlumuran lumpur , bahkan saat pertama aku datang ruang kelas dipenuhi dengan gunungan tanah dan tumpukan sampah di sana sini, lalu aku mengajak siswa membersihkannya mereka melakukan itu dengan penuh kesabaran.

Pembiasaan-pembiasaan yang aku lakukan setiap hari mampu mengantar mereka pada tingkat kesadaran yang tinggi, mereka menjadi sadar bagaimana harus merawa lingkunga belajar dengan tidak membuang sampah sembarangan tempat, memasukan baju agar tetap terlihat rapih, membersihkan kuku agar tidak mudah sakit, serta pembiasaan-pembiasaan lainnya yang aku lakukan setiap hari, walaupun hal itu sangat sederhana namun hasilnya cukup terlihat minimal kita memulainya dari hal-hal yang kecil. Namun sangat di sayangkan tidak semua elemen sekolah mendukung kegiatan sederhana tersebut sehingga tidak mampu bertahan lama, ini adalah salah satu masalah baru yang muncul dari sekian banyak masalah yang ada, tugasku semakin bertambah bukan saja siswa yang harus punya kesadaran tapi guru juga harus punya kesadaran untuk mengajak siswa Minimal mereka memulai diri sendiri.

Sepuluh bulan berlalu masa pengabdian itu PR ku sebagai relawan belum juga tuntas, di semester pertama tahun 2015, aku berinisiatif membuat program rutin mingguan di sekolah berupa diskusi mingguan, minimal dengan program-program tersebut bisa menjadi ajang untuk merefleksi diri, awal agustus 2015 aku mengundang guru-guru di sekolah termasuk kepala sekolah untuk memusyawarah rencanaku tersebut, sebagian besar guru-guru mendukung rencanan tersebut adapun rencana yang akan di lakukan di sisa waktu masa pengabdianku adalah melaksanakan kegiatan diskusi mingguan dan lesson study setiap 2 kali seminggu, hal ini aku lakukan untuk mengajak guru-guru di sekolah penempatanku mengupgrade pemikiran bahwa menjadi guru bukan sekedar masuk kelas memberi catatan lalu memberi tugas kepada siswa kemudia selesai, tapi bagaimana kita sebagai guru mampu mengembankan amanah ini sebagai sebuah tanggu jawab yang tidak boleh disepelehkan, berharap dengan bekal ilmu yang aku miliki bisa aku bagi kepada mereka kemudian bisa diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar sehari-hari, selain itu aku mengajak guru-guru terlibat dalam setiap kegiatan pembiasaan yang aku lakukan setiap hari dengan memberikan mereka tanggung jawab sesuai jadwal yang akan dibuat, saat itu aku menjadi orang paling bahagia karena guru-guru di sekolah penempatanku bersedia menjalankan rencana-rencana yang kami buat, di bulan pertama aku mengambil kesempatan pertama untuk menjadi guru model dalam kegiatan lesson study, aku bersyukur karean guru-guru bisa hadir dan melaksanakan kegiatan lesson study hingga selesai, hal yang sangat aku banggakan adalah mereka mampu membuat penilaian secara obyektif dan pada saat refleksi aku berikan kesempatan kepada mereka untuk mengomentari hal-hal yang kurang selama aku mengajar berdasarkan lembar observasi yang ada dan mereka tidak ragu-ragu memberikan komentar itulah yang aku banggakan, walaupun mereka tidak menamatkan sarjana tapi kemampuan berpikirnya sudah sangat lumayan,

Mereka adalah guru honor yang setiap 3 bulan sekali menerima gaji yang sumbernya dari dana BOS, dan jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dikeluarkan setiap harinya dan hanya cukup untuk satu hari jika dikalkulasikan dengan kebutuhan dapur dan lain sebagainya, bahkan sudah memasuki bulan keenam mereka sudah tidak pernah dibayar, aku tidak bisa berbuat banyak karena sebagai relawan aku tidak punya kapasitas lebih untuk memberikan advokasi terhadap permasalahan yang terjadi di sekolah penempatanku, entah siapa yang harus di salah, yang jelas terlambatnya keluar dana BOS sangat merugikan para guru honorer ini, walaupun demikian mereka tetap berusaha masuk sekolah untuk memenuhi tanggung jawabnya sbeagai seorang guru, walaupun terkadang dalam seminggu hanya beberapa hari saja mereka bisa masuk karena di samping punya tanggung jawab mendidik siswa di sekolah mereka juga punya tanggung jawab menafkahi keluarganya di rumah. Sehingga aku sangat memahami keadaan mereka karena jika aku berada di posisi mereka mungkian aku akan merasakan hal yang sama.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Relawan Pendidikan, Sekolah Guru Indonesia angkatan 7-Dompet Dhuafa, bertugas disalah satu daerah marginal, MI Ciherang Kabupaten Pandeglang-Banten, Daerah asal Sumbawa Barat-NTB, dari kampung kekampung �untuk pendidikan indonesia.

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization