
dakwatuna.com – “Buk, mau beli buuk…” teriaknya di depan dapurku. Saat aku baru saja mau beres-beres sebelum mengajar. Sudah tiga bulan aku menetap di sekolah, menjadi penghuni ruang guru yang sebenarnya adalah posyandu. Selama itu juga aku senantiasa memperhatikan bagaimana keseharian Holiah. Siswa yang punya panggilan khas saat datang ke tempatku. Holiah biasa menjajakan gorengan yang dimasak oleh ibunya ke masyarakat yang ada di kampung ini. Setiap pagi sebelum sekolah Holiah sudah mulai mampir dari rumah ke rumah sambil menawarkan dagangannya.
Holiah merupakan anak ke-2 dari 5 bersaudara. Kakaknya Yanti sudah kelas IX MTs, sementara Holiah adalah siswaku di kelas VI MI, begitupun dengan adiknya Yuli siswa kelas III di MI yang sama, sedangkan 2 adiknya masih balita. Kehadiranku di sini lebih duluan dibanding Holiah dan keluarganya. Sejak pertama masuk di kelasku akhir semester lalu, Holiah sudah terlihat berbeda dengan teman-temannya. Dia tak banyak bicara namun dapat menyelesaikan tiap tugas yang diberikan dengan baik.
Kadang aku merasa malu dengan Holiah. Dia jauh lebih dewasa dibanding usianya. Kesehariannya Holiah sudah memulai aktivitas sejak jam lima subuh, sedangkan aku lebih sering masih terbuai mimpi di jam yang sama. Beres-beres rumah, bersih-bersih diri, menjajakan dagangan, baru berangkat ke sekolah. Untungnya sekolah dan rumah Holiah tidaklah jauh. Pulang sekolah mencuci pakaian, mengangkut air, mengasuh adik, mengaji hingga isya barulah dia bisa belajar sejenak sebelum kembali ke peraduan.
Begitu padat keseharian Holiah, meskipun dia punya saudara yang lain. Saya kagum sama orang tua yang mampu mendidik anaknya menjadi orang yang penuh tanggung jawab seperti Holiah. Meskipun mereka termasuk keluarga yang kurang mampu dari segi ekonomi, tapi mereka mampu dalam segi pembentukan karakter.
“Selama di sini saya belum pernah jajan, buk”, ucapnya padaku siang itu.
“Kenapa”, tanyaku.
“Gak papa, buk, cuma gak mau aja, saya gak pernah minta uang sama mama”, jawabnya.
“Trus kalau teman-temanmu pada jajan, kamu gak kepengen jajan juga, gitu,” Lanjutku.
“Saya pulang aja buk”, jawabnya lagi sambil berurai air mata.
Aku tak tahu mengapa tiba-tiba Holiah menangis di hadapanku, entah karena aku yang terus menghujaninya dengan pertanyaan atau karena yang lainnya. Holiah sang pembantu ekonomi keluarga kini luruh menjadi seorang anak kecil yang sangat butuh perhatian. Aku pun bingung tak tahu harus berbuat apa. Di mataku Holiah adalah sosok anak yang sangat mengerti dengan keadaan orang tuanya. Namun terkadang dia juga butuh kasih sayang dan diberi waktu untuk bermain dengan teman-temannya.
Satu nilai tambah lagi dalam diri Holiah adalah kesungguhannya dalam belajar, hingga kemampuannya mampu mengalahkan anak yang hidupnya damai tenteram dalam dekapan orang tua. Dia tak pernah malu meskipun ada temannya yang suka memberinya gelar “bakwan” seperti nama salah satu gorengan yang sering dijajakannya.
Kini bertambah lagi ujian yang Allah berikan kepada Holiah sang pemilik tawaran sebelum sekolah. Ayahnya yang dulu merupakan pegawai sebuah PT yang mengurusi monyet, kini telah kehilangan pekerjaannya. Apa mungkin itu yang membuat Holiah menangis di depanku. Mungkin dia memikirkan nasib keluarganya.
Aku pun mulai berpikir, jika nanti Holiah menawarkan dagangannya lagi, maka harusnya aku mengganti sahutan,
“Gak de,,,,ibuk lagi di kamar mandi,” yang sering kuteriakan, dengan
“iya de, ntar ya…
Mungkin semua ini akan sedikit bisa membantu Holia dapat tetap tersenyum menikmati hari-harinya. Meski kini lama sudah tak kudengar lagi tawaran khasnya. Aku rindu dengan tawaran Holiah sebelum ku mulai mengajar di sekolah.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: