Ketika Hati Bergerak untuk Memilih

dakwatuna.com – Suatu sore sepasang suami istri disertai stroller yang mengangkut seorang anaknya berjalan menyusuri trotoar salah satu pusat perbelanjaan kota. Sang istri baru saja menyelesaikan kegiatan berbelanja groceries yang stoknya kebetulan sedang menipis di rumah. Sedangkan sang suami menyusul sang istri berbelanja setelah sebelumnya menemani rekannya yang datang dari luar kota untuk bersilaturahim ke beberapa destinasi wisata di kota Manchester. Langit mulai gelap. Sementara jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan waktu sudah menunjukkan pukul 4.45. Niat awal ingin mencicipi seloyang pizza pun langsung kandas manakala melihat langit yang sudah gelap pertanda waktu maghrib segera tiba (memasuki musim gugur di UK terjadi perubahan waktu shalat yang cukup signifikan. Khususnya dikarenakan waktu siang yang menjadi lebih singkat dan malam yang lebih panjang.).

“Bun, masih mau beli pizza?” tanya sang suami.

“Hmm..Sepertinya nggak jadi juga nggak apa-apa deh bi. Alhamdulillah udah ada ayam  nih pemberian teman Abi tadi. (Di UK khususnya Manchester, mencari makanan halal Alhamdulillah relatif tidak sulit, sudah banyak vendor-vendor makanan yang menjajakan makanan dengan sertifikat halal resmi dari UHC).

“Baiklah. Sudah mau maghrib juga. Kita pulang saja ya,”

Sejurus kemudian ada seorang bapak usia 40-50an datang menghampiri. Perawakannya tinggi sedang, dengan pakaian dan jaket tebal menempel di badan, Ada tas ransel yang terlihat sedikit kotor membebani punggungnya. Awalnya sang istri mengira bapak tersebut seorang mahasiswa melihat setelan baju yang dikenakannya cukup rapi dan tas ransel yang bergantung rapat dipundaknya. Bapak itu tampak malu berjalan menghampiri suami, dan dengan suara lirih beliau meminta maaf dan mengatakan kalau beliau sedang membutuhkan uang untuk membeli makanan.

Hmm, hidup di negara maju bukan berarti lepas dari kemiskinan. Bagi yang beruntung pemerintah biasanya menyediakan santunan per keluarga sebesar 300 pound per bulan. Tetapi tidak semua penduduk disini memiliki KTP UK (BRP-istilah di UK) yang resmi teregistrasi. Banyak di antara mereka yang tidak mampu merupakan kaum pendatang yang beberapa di antaranya merupakan imigran gelap. Meskipun jumlahnya mungkin tidak banyak, namun sepanjang hidup di manchester suami istri tsb sudah beberapa kali bertemu pengemis dengan berbagai gaya pakaian dan pendekatan. Mulai dari yang British asli sampai imigran. Mulai dari yang mabuk-mabukan di pinggir jalan sampai pertokoan halal. Mulai dari yang meminta dengan santun sampai agak memaksa. Dan kali ini, di hadapan mereka ada sosok seorang bapak yang lumayan berumur yang dengan suara pelan memohon bantuan dengan bahasa yang sopan. Si suami istri kompak saling pandang. Entah hipnotis model apa yang membuat mereka segera merogoh saku jaket masing-masing. Memastikan apakah ada beberapa koin logam di dalamnya yang bisa diberikan.

Alhasil, berpindahlah beberapa keping pound ke dalam genggaman si bapak. Bapak itu mengucapkan terimakasih sambil berlalu pergi. Sambil berjalan pulang sang istri mendengar suaminya beristighfar.

“Maaf ya bi, bunda spontan ikuti kata hati,”  ucap sang istri.

“Ya Bun. Bismillah ya bun. Niatkan sedekah. Anggap saja yang tadi sebagai ganti makan pizza.” Jawab sang suami.

“InsyaAllah ya bi. Yang Allah lihat proses. Urusan kita adalah bagaimana uang itu bisa sampai ke tangan si bapak. Selanjutnya bagaimana si bapak menghabiskan uangnya itu urusan ia dengan Allah.”

“Alhamdulillah ini ada ayam juga dari teman abi. Insya Allah jadi kebaikan yang terus mengalir..”

Mereka mulai pindah topik pembicaraan ke hal yang lainnya. Namun demikian sesampainya di rumah, entah mengapa sang istri masih kepikiran wajah bapak bapak tadi. Bukan karena uang yang sudah berpindah, tapi karena cara meminta yang tidak seperti beggar-beggar yang biasa mereka temui sebelumnya. Kelihatan sekali bapak itu sangat malu untuk meminta, tapi sorot matanya yang sayu seperti nyaris kehabisan energi menyiratkan kebutuhan akan makanan yang tidak lagi bisa tertunda.” Ahh..mungkin seorang jobless..tapi kenapa ya..kok kepikiran gini..” pikir sang istri. Di waktu yang sama sang suami ternyata juga sedang memikirkan orang yang sama. Mereka duduk selonjor di atas karpet sekadar untuk beristirahat.

“Bun..tahu tidak.. tadi kenapa abi kasih uangnya..”

Tak disangka, sang suami memulai pembicaraan lagi.

“Abi mengira dia seorang refugee (pengungsi) abi perhatikan memang bule tapi beda dengan bule asli sini…wajahnya mengingatkan abi dengan orang-orang Syiria..”

Masya Allah. Sang istri lantas terdiam. Benar juga. Dilihat dari ciri-ciri fisiknya, memang sepertinya bapak tadi bukan seorang berkebangsaan Inggris ataupun keturunan Inggris. Pantas saja masih terbayang wajah bapak tadi di benaknya. Wajah yang mengingatkannya pada video-video perjuangan kaum muslimin syiria yang sering dilihatnya di media sosial. Kemudian cuplikan video mereka yang terpaksa mengungsi karena sudah tidak mendapat jaminan keamanan dari negara asalnya. Betapa kebebasan itu mahal harganya bagi mereka.

Mungkin ini kesimpulan yang kurang tepat. Di luar benar tidaknya ia seorang refugee, setidaknya mampu mengingatkan sang istri untuk tetap bersyukur. Bahwa saat ini mereka masih bisa mendapatkan hidup yang layak meskipun harus berhemat dengan uang beasiswa yang ada. Sedang saudara saudaranya di belahan bumi lainnya sulit mendapatkan kehidupan layak. Mereka yang sulit mendapatkan makanan. Mereka yang kehidupannya berada di bawah berbagai tekanan. Mereka yang menjadi korban kedzaliman para penguasa. Mereka yang keberadaannya di negara lain pun belum tentu mendapatkan sambutan yang hangat.

“Terima kasih ya Allah.. Atas tarbiyah luar biasa yang Engkau berikan hari ini” batin si istri sambil tersenyum.

Seorang ibu rumah tangga yang juga seorang pembelajar abadi di Universitas Kehidupan. Saat ini tinggal bersama keluarga menemani suami yang sedang melanjutkan pendidikan di Manchester, United Kingdom.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...