Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Lelaki yang Berutang Demi Menjamuku

Lelaki yang Berutang Demi Menjamuku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(Foto: Eko Wahyudi)
(Foto: Eko Wahyudi)

dakwatuna.com – Do you want chicken curry, fried chicken, or mutton curry for your lunch?” demikian suara Baba Aslam, pemilik house boat tempat kami menginap.

Dengan enteng, aku menjawab,

Chicken curry, Baba,” aku berjalan sambil tergesa karena Shikara sudah menunggu.

“Okay. Mama-mu akan masak yang lezat buatmu,” demikian Baba Aslam menjawab.

Ah, sudah seperti keluarga sendiri memang. Kedatanganku yang hanya terhitung hari ini ke Kashmir sejatinya sekadar untuk berwisata, membuktikan keindahan alamnya. Namun di luar dugaan, ternyata kami justru dianggap layaknya anak-anak mereka sendiri.

Sejak kedatangan kami di Srinagar (Ibukota Kashmir), kami disambut layaknya anak-anak mereka yang pulang dari perantauan. Satu per satu keluarga mereka berdatangan untuk menanyakan kabar serta beramah-tamah. Tentu saja hal ini sangat menimbulkan sisi kenyamanan bagiku. Serasa di kampung sendiri meski berbeda budaya dan bahasa.

Shikara yang akan kami tumpangi mengelilingi Danau Dal merupakan sebuah perahu dengan atap dan tempat duduk yang dihias sedemikian rupa. Tempat duduknya ada yang beralaskan busa, karpet tebal, hingga tak ubahnya seperti kasur. Sewa sebuah Shikara biasanya dihitung per jam. Soal tarif tidak terlalu mahal. Para Kashmiri pendayung Shikara tidak akan menipu kita dengan melambungkan tarifnya. Karena jelas, sekali saja pelanggan tidak setuju, Shikara-Shikara lain yang berjumlah ratusan di danau itu siap mengangkut.

Perlahan tapi pasti Shikara yang kami tumpangi mengarungi Danau Dal. Sang Pendayung mengayuh perlahan sambil terus berbicara mengisahkan tentang penduduk, keindahan alam yang berubah-ubah mengikuti musimnya, para pendiri house boat, tentang pendudukan Kashmir oleh otoritas India, serta banyak lagi hal menarik yang ia ceritakan sehingga kami tak bosan untuk menikmati keindahan Danau Dal meski menghabiskan waktu berjam-jam.

Di tengah danau besar itu kami disajikan hal-hal yang menarik. Ada floating market (pasar terapung), ada penjual bunga, ada penjual makanan ringan, sampai ada pula penjual batu akik, di samping banyak lagi Shikara yang digunakan untuk berjualan di atas perairan danau tersebut. Uniknya, para penjual itu walaupun berada di tengah danau, mereka memberikan layanan pembayaran dengan kartu debit dan kartu kredit. Sehingga tak perlu khawatir bila ketersediaan uang tunai kita tak cukup untuk berbelanja. Tinggal gesek kartu saja, maka transaksi selesai.

***

Hampir tiga jam kami menyusuri keindahan Danau Dal beserta segala cerita Sang Pendayung. Ada rasa puas luar biasa bisa menyaksikan banyak hal baru yang tidak ada di Indonesia. Namun keterbatasan waktu pulalah yang membuat kami harus merapat kembali ke house boat.

Belum lagi masuk ke house boat, Baba Aslam dan istrinya telah menyambut kami.

“Habis mandi langsung makan ya. Mama sudah masak chicken curry pesananmu,” katanya.

Benar saja, tak butuh waktu lama, sekitar lima belas menit setelah kami memasuki kamar, terdengar pintu kamar diketuk sambil mengucap salam.

“Saatnya makan,” kata Baba Aslam. Di tangannya kulihat beberapa rantang dan piring nasi yang tersusun.

Thank you, Baba,” ucapku sumringah.

Sepeninggal Baba Aslam, kami makan chicken curry dengan lahapnya. Ada perbedaaan rasa rempah-rempah pada masakan Kashmir apabila dibandingkan dengan masakan Indonesia. Namun justru cita rasa baru itulah yang memberikan kami gambaran lain tentang sebuah hidangan bernama Kari Ayam ala Kashmir.

***

Setelah makan, aku keluar dari kamar. Aku putuskan untuk duduk-duduk di teras house boat yang ada. Beberapa kali tanganku yang memegang kamera kuarahkan ke berbagai sudut Danau Dal. Hingga kulihat seorang lelaki tetangga Baba Aslam menghampiri.

“Sudah makan?” katanya.

“Sudah, Pak. Bapak apa kabar?” kataku berbasa-basi.

Perbincangan kami menjadi panjang karena tetangga Baba Aslam itu malah duduk tak jauh dari tempatku. Ia bercerita tentang bagaimana adat masyarakat Kashmir, hingga berujung pada bagaimana mereka memperlakukan tamu-tamu mereka.

“Kami sangat menghormati tamu-tamu kami. Keselamatannya, kenyamanannya, makannya, dan hal-hal lain sangat kami perhatikan. Termasuk bila kami tak memiliki uang sekalipun. Kami harus mengusahakannya,” katanya.

Pada kalimat terakhir lelaki itu aku mendapatkan kesan yang mengejutkan.

“Jadi, apakah Baba Aslam kira-kira sampai berutang untuk menjamuku?”

“Aku tak mau mengatakannya,” ungkap lelaki itu berusaha mengelak.

“Saya pikir tidak ada salahnya Anda mengatakan, Pak. Setidaknya kalau tahu, saya justru bisa membantu membayarnya,”

“Baiklah, aku sampaikan. Ia memang harus berutang supaya kalian bisa makan chicken curry itu,” ungkapnya datar. Sedikit pun tak ada pandangan matanya mengarah kepadaku.

Duh, hatiku langsung saja menjadi tidak karuan. Ada perasaan bersalah, kenapa pagi tadi harus meminta dimasakkan ayam segala. Padahal aku bisa saja mengambil pilihan mencari makanan yang dijual di Shikara-Shikara itu. Tapi tentu saja, sesal itu tak bermanfaat sama sekali buatku. Satu-satunya jalan tentu saja segera mengetahui berapa biaya makanku, sehingga aku bisa menggantinya kepada Baba Aslam dan keluarga.

Di malam hari, saat aku mencoba menanyakan berapa seluruh biaya makan dan tinggal di house boat miliknya, lagi-lagi aku disajikan keluhuran adat Kashmiri yang menakjubkan.

“Aku tak akan membiarkanmu bepergian tanpa uang hanya karena harus membayar kami,” demikian katanya membuka percakapan.

“Tidak bisa begitu, Baba,” sanggahku.

“Di sini, kalian adalah anak-anak kami. Jadi meskipun kalian pergi tanpa meninggalkan uang, tidak mengapa buat kami. Demikian sebaliknya, bila kalian ingin kembali setelah itu ke sini, tak perlu sungkan, datang saja kapan kalian mau,” demikian ungkapnya tegas.

“Bukankah house boat ini disewakan, Baba? Jadi sudah sewajarnya kami membayar,” aku berusaha mengejar.

“Memang begitu. Namun kami percaya, Allah swt yang memberikan kami rezeki, termasuk berapa nilainya. Ini warisan dari orang tuaku, nanti akan kuwariskan juga kepada anak-anakku. Namun soal tarif, memang secara resmi ada tercantum. Tapi tidak semuanya seperti apa yang tertulis,” terang Baba Aslam.

“Bila kalian meninggalkan Kashmir ini, lalu kalian menemukan kesulitan di wilayah manapun dan kapan pun di India ini, hubungi saya. Insya Allah kami akan membantumu. Soal utang kami supaya bisa menjamu kalian, biarlah itu menjadi urusanku,” ia melanjutkan.

Luar biasa rasanya mendapati orang-orang seperti ini. Secara pribadi, aku memang meninggalkan uang kepada Baba Aslam sebagai ganti sewa penginapan dan biaya makan kami selama di Srinagar. Bagaimanapun, tak bisa kukhianati kebaikan-kebaikan itu. Kebaikan yang langka, kebaikan yang bahkan sulit kudapati di tanah kelahiranku. Kebaikan yang tertanam karena keyakinan akan sebuah persaudaraan, sebuah ajaran mulia dalam agama Islam yang mereka yakini kebenarannya. Kebaikan yang bersandar pada keyakinan akan Allah swt.

Tetapi kebaikan itu pula yang sering disalahartikan, bahkan oleh para wisatawan dari negeriku. Aku mendengar sendiri, beberapa orang Indonesia yang datang ke Kashmir mengaku sebagai orang miskin, habis kecopetan, hingga mengaku kehabisan uang di perjalanan. Demi mendapat tumpangan gratis, demi mendapat kebaikan-kebaikan para Kashmiri, padahal sejatinya tidaklah demikian. Ironi memang! (*)

 

 

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Eko Wahyudi atau yang akrab disapa Kang Ewa ini merupakan blogger, penulis, pecinta baca, dan traveler. Menjadi Penulis Lepas merupakan aktivitas pria penikmat bidang Ilmu Komunikasi Jurnalistik ini selain mengemban amanah sebagai Direktur Utama pada salah satu perusahaan swasta nasional. Tulisan pria kelahiran Pangandaran, Jawa Barat ini juga dibukukan dalam antologi cerpen Cinta dari Cikini (Indie Publishing, 2010), Kisah Inspiratif Pahlawan dalam Diam (Indie Publishing, 2014), serta Kisah Perjalanan From New Zealand to Netherlands (Halaman Moeka, 2015), dan Surga yang Tersembunyi (Gramedia Pustaka Utama, 2015). Untuk bersilaturahim dengan Kang Ewa bisa melalui email: [email protected]

Lihat Juga

Manisnya Ramadhan

Figure
Organization