Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Akhir Dari Sebuah Awal

Akhir Dari Sebuah Awal

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (helenfrost.com.au)
Ilustrasi. (helenfrost.com.au)

dakwatuna.com – Kujumpai dia di antara sebarisan pemuda, satu di antaranya aku dapat mengenalinya, guru sekolah dasar di desa Ampar, sedang pengendara motor yang dua adalah kemenakannya, selebihnya aku tidak tahu. Mereka muda, dan mengenakan rompi hijau layaknya anggota prajurit. Dua laki laki dan satu perempuan, dengan postur badan demikian aku semakin yakin bahwa itu bukan tentara, apalagi kopasus walaupun di dadanya tertera bendera nasional. Merah putih. Aku hanya melintas saja menatap mereka. Sepanjang jalan aku melihat mereka menyapa dengan senyum, juga dengan anggukan sesekali. Tapi tidak semua orang berompi itu tinggal di desaku, hanya seorang, yang paling kecil, laki laki paling kurus dan paling hitam. Senyumnya lebih lebar dibanding yang lain. Tapi tatapannya dingin dengan mata sayu seperti orang jarang tidur. Dia tidak memperkenalkan diri kepadaku, tapi aku tahu, suatu waktu dia akan datang menghadapku. Warga mengenalnya dengan nama Bayur, sebuah sebutan salah dari kata Bayu. Warga selalu menyamarkan bunyi R pada tiap kalimat, sehingga ketika dia memperkenalkan diri dengan menyebut Bayu, dikiranya Bayor alias Bayur. Seperti yang lain aku memandangnya sinis pula, apa yang bisa dibuat oleh anak kecil, hitam, kurus dan sendirian di desa paling ujung dari pulau terpencil ini. Kampung ini telah kenyang kehadiran mahasiswa, LSM, tak kurang kurang pejabat juga berkunjung. Dan yang didapat masyarakat tiada lain selain janji, janji yang terus diingkari.

Hari pertama Bayu tak banyak bicara, Dia hanya menyapa setiap orang yang dilewatinya dengan sebutan pak dan buk, hingga Halidi, si imam masjid menanyainya soal aliran islam yang dianutanya.

“Asli mana pak?” tanya Halidi

“Dari Jawa Pak”

“Ikut Islam Apa di sana?”

“Islam saja Pak, ndak pake yang lain”

“Islam kan sekarang banyak, ikut islam yang mana?”

“Islam garis lurus” jawab Bayu tegas

Tak cukup Halidi menanyai Bayu soal keislaman, malah juga didesak untuk menjadi imam shalat, sekedar untuk tahu Islam macam apa si Bayu. Kondisi masjid yang jadi rebutan masing masing orang yang mengaku Islam itu malah jadi makin riuh dengan Bayu sebagai imam. Artinya adalah jadi tambahan pengikut bagi kelompok yang berebut. Bayu adalah orang lebih asyik dengan diri sendiri, lebih tepat dibilang dingin. Aku tak tahu apa yang dibuatnya di rumah, yang pasti Bayu terlalu sering di rumah.

Dan seperti dugaan, dia datang menghampiriku.

“Saya hendak mengadakan TPQ di masjid pak” ujar Bayu.

“Silakan mas, asalkan baik saya dukung jika ada yang macam macam bilang saja Pak Neng Ilyas yang ijinkan” jawabku meyakinkan

Hanya itu pesanku, dia kembali setelah menghabiskan kopi, berikutnya dia menjumpai kepala desa juga kepala dusun, menyampaikan hal yang sama, seolah menyatakan bahwa Bayu butuh semua jenis dukungan. Kebiasaan lain bujang hitam ini lebih senang di masjid ketika selepas magrib, satu kebiasaan yang aneh bagi pemuda di kampung ini. Walaupun belakangan Bayu suka di masjid juga karena tetangga dekat suka memutar musik dalam volume kuat tiap malam. Tapi ia menepati kata katanya, mulai mengumpulkan anak anak dan mengajar mengaji dengan metode yang baru bagi desaku. Iqro.

“Ada duitnya ndak? Kalau ndak ada ajar aja sendiri”

Sinis jawaban warga, walaupun aku tahu itu bercanda, tapi yakin membuat terluka. Tidak disangka Bayu terus berjalan dengan TPQ-nya, selepas magrib dan mulai melibatkan pemuda desa. Tanpa biaya dan berlangsung lebih enam bulan lamanya. Selama itu Bayu tetap asik dengan diri, bahkan ketika ia meminta bantuanku untuk mengadakan perlombaan, dia masih saja tidak peduli bahwa masyarakat sinis terhadapnya. Aku ingatkan bahwa di sini lazim ada judi dan juga miras, tapi dia tetap mengurung diri di rumahnya, hingga aku yakin semua yang dia lihat tetap dalam keadaan baik baik saja. Apa yang bisa dilihat dari kamar ukuran dua kali tiga selain tetap begitu saja?. Sempat aku hampiri kerumahnya ketika ada LSM ke desa, di kamar hanya ada buku dan buku. Kau tahu? Tentu menghabiskan waktu di dalam rumah perlu kegiatan agar otakmu tidak membeku, dan Bayu memilih buku dan juga gambar, hanya dua itu untuk memastikan otak Bayu tetap berjalan normal. Kamarnya beralas tikar pandan, dengan dua bantal dan tanpa selimut selain kain sarung dengan lantai papan tak berkarpet.

“Pak Bayu tidak pake kasur?” tanyaku

“Sama saja Pak Neng di manapun tidur”

Rapat dengan LSM membahas keperluan warga, tentu warga desaku bangga karena ditanya apa yang dibutuhkan dan LSM ini menyusun apa saja yang menjadi keperluan warga. Tapi Bayu justru mendebatnya.

“Dari mana sumber dana kalian dan untuk apa kalian menanyakan banyak hal pada masyarakat?”

“Untuk memeperoleh data, ini memang tugas kita pak”

“Kalian hanya memanfaatkan wargaku untuk jual beli data, pada intinya kalian tetaplah kaki dari pemberi dana”

Kusentuh lengan Bayu agar dia tenang, dan menghentikan perdebatan, tapi itu ternyata tidak cukup,

“Kalian tidak memberi apa apa selain dari janji!”

Warga sedang senang karena diberi harapan, sedang Bayu mengganggu orang yang berharap, apa yang dimiliki orang desa selain dari harapan untuk hidup lebih baik?. Dan Bayu merusak itu. Semua menatap lebih sinis dari sebelumnya.

Sebenarnya tugas Bayu adalah mengajar di sekolah dasar, satu satunya sekolah. Cerita tentang sekolah malah tidak kalah. Sebagai guru Bayu kerap mengajar kelas berganda jika ada guru berhalangan, bagaimanalah jumlah guru pas pasan enam orang maka jadilah Bayu saling melengkapi, Bayu tetaplah Bayu seperti ketika datang dahulu, asyik dalam diam. Dalam diam, kelas menjadi berwarna, muncul display pajangan karya siswa. Tapi fakta perubahan fisik tak berlangsung lama, bahkan sirna selagi Bayu masih ada.

“Bukan fisik yang terpenting Pak Neng tapi orang, orangnya harus diubah”

“Iya, aku tau itu, lantas apa yang akan kau buat?”

“Mengubah orang pak” jawab Bayu yakin.

“Hm…bahkan kamu mati pun, orang sini belum juga berubah!”

“Tapi pasti berubah kan pak? Jika bukan orang yang tua, kita mulai dari yang muda”

“Caranya?”

“Membuat PAUD”

“Usahamu soal mendirikan paud tidak akan diterima Yu, orang sini sejak lahir sudah melaut, kau hanya akan kecewa hendak membuat sekolah yang bagus untuk anak anak kami”

“Pernah ada PAUD di sini?”

“Belum pernah dan tidak akan pernah ada Yu”

“Kalau belum ada ayo kita buat”

“Kau akan gagal Yu”

“Apa ruginya?,Jika gagal setidaknya telah mencoba, jika berhasil aku akan jadi yang pertama”

Bayu serius dengan kata katanya, berkali kali hubungi pemerintah desa untuk memulai. Kian hari jutru kian sering Bayu ke rumah pegawai desa, awalnya hanya sebulan sekali, kini dalam sepekan ia bisa dua kali menyambangi, untuk apalagi selain PAUD. Sedangkan TPQ yang dibangunnya mulai tumbang, orang orang mulai mencibir. Membenarkan bahwa usaha untuk membangun tidak akan bisa tanpa didukung dana. Halidi lebih bersorak lagi.

“Awal awal saja Yu, mereka itu mau, paling juga sebentar lagi bubar, terbukti kan makin sedikit yang ikut?”

“Mungkin pada jenuh pak, pengen istirahat”

“hehe coba saja, paling juga sebentar lagi bubar”

Benar apa kata Halidi, TPQ bubar setelah selesai puasa. Tapi Selepas lebaran Bayu justru menyalurkan parcel lebaran, dengan tiga buah ojek bingkisan itu di angkut, tidak ada moda transportasi lain yang bisa masuk desa ini selain dari ojek dan juga kapal air. Parcel berisi paket alat sekolah.

“Kenapa mau susah payah dikampung orang padahal bukan orang kampung sini”

Bayu tetap asyik dengan diri, terus dirumah, dan di masjid ketika magrib hingga isya. Setelah berulang menyambangi desa, usulan Bayu mendapat jawabnya. Pemerintah Desa memenuhi yang Bayu ajukan. Di luar dugaan, desa juga menganggarkan biaya pembangunan gedung dari APBN. Aku nyaris tidak percaya.

“Bayu in syaa Allah kita buat PAUD”

“Alhamdulillah”

“Desa telah mengalokasikan dana untuk PAUD seperti yang kamu usulkan”

“Syukur pak, kita akan memulai sekarang”

“Alhamdulillah pak, akhir yang baik”

“Belum Pak Neng, ini baru akhir dari sebuah awal”

Mekipun begitu aku tahu, Bayu justru kian sering di dalam rumah. Orang masih belum banyak menggubris langkah Bayu sekalipun telah membantu menyalurkan paket alat tulis bagi warga, warga masih saja menanti janji LSM. sampai semua melirik padanya karena satu hal. Sapi. Di saat anggota dewan menjanjikan sapi, dan kembali diingkari. Tanpa kata tanpa duga Bayu datang membawa sapi untuk desa, ini pertama kali desa kami menyembelih sapi. Semua warga berkumpul menyaksikan. Sejak itu Bayu mulai memiliki pengaruh bagi desa, dengan sikap dinginnya, dengan langkahnya.

Bayu mengundang orang tua yang memiliki balita, menyosialisasikan program pendidikan bersama pegawai desa.

“Aku memang tak cukup waktu untuk mengubah masyarakat tapi lulusan PAUD cukup” ungkap bayu, lain yang diucap lain pula yang ditanggap.

“Apa Pak Bayu akan tetap disini?” tanya seorang ibu-ibu

“Apa Pak Bayu akan kembali?” ibu ibu lain menimpali

Wargaku mulai merasa kehilangan Bayu yang hampir selesai masa tugasnya. Tanpa Bayu siapa yang akan peduli dengan warga desa pesisir pantai ini, siapa yang akan beri anak anak alat sekolah, siapa yang akan datangkan sapi qurban kesini dan siapa yang akan mengurus paud dan berderet siapa siapa lainnya.

“In Syaa Allah jika ada kesempatan lagi”

Jawaban retoris yang Bayu sampaikan sekadar membuat hatiku lega, tapi aku mulai menggalang dukungan warga aku kumpulkan tanda tangan satu demi satu warga dan kuserahkan, aku tahu hingga kini tak kurang kami sinis padanya, tapi surat ini aku serahkan menjelang kepergiannya.

“Aku nitip PAUD Pak Neng, semoga menjadi amal jariah”

“Aamiin..aamiin..aamiin” jawabku cepat sembari memeluknya

Hanya itu yang dipesankan, Aku menatapnya meninggalkan gerbang desa, gerbang dengan tulisan yang Bayu cetak sendiri dengan tangannya. Tertera “Selamat jalan semoga sampai tujuan”.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktivis Pendidikan. Pendidik di sekolah Guru Indonesia Angkatan 7.

Lihat Juga

Wahai Umat Akhir Zaman, Timur Bukan Barat!

Figure
Organization