Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sisi Lain Militer Indonesia

Sisi Lain Militer Indonesia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Prajurit militer Indonesia dari berbagai kesatuan. (blogspot.com)
Ilustrasi – Prajurit militer Indonesia dari berbagai kesatuan. (blogspot.com)

Sebuah Catatan Kecil

dakwatuna.com – Tanggal 15 november lalu, saya dan adik tingkat saya melakukan semacam perjalanan mencari kitab suci, ini serius, karena memang adik tingkat saya kehilangan Alquran dalam suatu acara, dan dia meminta saya untuk menemani mencari Quran baru. Kami keluar dari kampus pasca maghrib, karena Bulan November, interval maghrib dan isya sangat singkat, pukul 18.40 sudah terdengar adzan isya di mana-mana. Secara kita muslim, sempat bingung kita mencari masjid, karena sepanjang jalan antara rumah sakit Dr. Oen Surakarta hingga Terminal Tirtonadi jarang ditemukan masjid milik warga, kecuali kalau harus masuk ke kampung-kampung. Kami pun mencari masjid sembari saya was-was melihat jam, khawatir jika sudah keburu iqomah. Hingga selepas Underpass Gilingan, kami melihat sebuah masjid berwarna hijau, cukup besar dari masjid-masijd kampung sepertinya, tetapi, saya rada takut, karena masjid tersebut berada di sebuah kompleks militer.

Karena kebutuhan untuk shalat, dan memang saya ingin sekali shalat di masjid itu, saya putuskan untuk berbelok kiri memasuki markas militer tersebut. Suasana militer jelas terasa berbeda dengan suasana sipil yang biasa saya alami di dunia kampus maupun masyarakat sekitar kontrakan. Bapak-bapak berwajah sangar dan bertubuh tegap (bahkan di usia senja) terlihat masih lalu lalang, baju loreng hijau khas angkatan darat juga terlihat berkerumun di sekitar masjid, saya dan adik kelas saya, cengar cengir memasuki markas militer tersebut, dan mengikuti instruksi untuk parkir di bawa Pohon Mangga. Guna menghindari rasa kagok, saya meyakin-yakinkan diri, bahwa saya sangat ingin shalat di masjid itu semenjak beberapa tahun lalu, dan akhirnya, karena kebetulan berdua, saya jelas malu kalau harus kagok di depan adik kelas. Akhirnya, kami memasuki kompleks masjid itu.

Sebelum menginjakkan kaki ke dalam masjid, saya menyalami seorang tua yang saya asumsikan sebagai orang sepuh yang dihormati di sana, sembari bersalaman, saya melihat tubuh-tubuh tegap tengah melaksanakan shalat sunnah qobliyyah. “Yang muda aja entah tahu atau tidak adanya sunnah mulia itu, ini tentara yang katanya hamba pancasila dengan khusyuk malah shalat sunnah”, gumam saya. Saya yang sudah wudhu di tempat parkir segera memasuki masjid, meletakkan tas dan mengamati serta menikmati nuansa Islami yang sedikit berbeda, suasana keislaman para tentara, pelindung negeri. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sempurnyanya posisi ruku’ dan sujud mereka membuat saya semakin kagok, apakah mereka ini yang menenteng senapan serbu dan menyisir perbatasan NKRI? Wajah-wajah mereka saat menghadap Allah benar-benar tidak jauh berbeda dengan wajah orang sipil di masjid-masjid kampung, benar-benar berbeda dengan kesan garang ketika mereka bertugas.

Saat itu, saya bersyukur kepada Allah telah dikenalkan kepada Islam, karena saat itu saya menyaksikan sendiri bagaimana nyamannya seorang muslim biasa, orang sipil (yang mungkin agak mencurigakan) bisa berbaur menyembah tuhan yang sama dengan kalangan militer (yang konon katanya menjadi sisi mata uang dari mahasiswa bersama polisi). Iqomah dikumandangkan, jama’ah bangkit, saya membatin, bapak tua yang saya salami di luar akan menjadi imam, pasti, dan, gumaman saya salah. Sesosok tubuh tegap dilengkapi wajah luar biasa kukuh memakai kopiah dan baju putih maju. Lengan kekar menghiasi baju putih yang dia kenakan, disertai sebuah cincin batu melingkar di tangan kanan. Saya sedikit terkejut, masya Allah, gumam saya, memang dasar manusia, selalu melihat dari sampulnya. Segera saya hapus keterkejutan saya ketika imam bersiap melakukan takbiratul ihram, niat dibacakan, shalat dimulai.

Biasanya, saya terfokus pada bacaan atau pikiran saya ketika tengah shalat, ya terkadang bacaan imam hanya numpang lewat saja di telinga, tapi kali ini berbeda, ketika basmalah dilantunkan, saya merinding. Lantunan basmalah terdengar syahdu dengan lenggok tajwid yang indah, bahkan dengan lagu yang bagus, sangat bisa dinikmati dan menyentuh hati, kemudian Al-fatihah melantun dengan indah, membawa kenangan ketika saya masih kecil dan pernah di imami seorang veteran perang, sekitar 15 tahun lalu. Ketika memasuki surat pendek, saya tersenyum ketika imam membaca At-takatsur, sebagai kalimat taujih illahi pada Shalat Isya’ itu, “jangan berlebih-lebihan”, kata Allah. Saya termenung dan tersenyum, hati saya seolah seperti disiram air dingin, sejuk sekali, membuang jauh prasangka ketika saya memasuki markas militer itu pertama kali. Shalat selsai, wirid dilantunkan, saya menikmati bapak-bapak tentara yang fasih dan sangat hafal dengan wirid mereka, dilantunkan sampai akhir, dan diselesaikan dengan salam-salaman beserta sholawat, saya diberi salam hangat oleh bapak-bapak di sana, disertai senyum di wajah kukuh mereka. Saya terharu, mungkin inilah manisnya iman, manisnya berislam.

Keluar dari masjid, saya masih merasa sangat bahagia, dan lebih terkejut ketika beberapa bapak-bapak masih melaksanakan shalat sunnah ba’diyyah. Karena waktu saya memang mempercepat waktu saya di masjid itu, lagipula sudah hampir memasuki jam malam markas militer. Saya berpamitan dengan bapak-bapak disana, memandangi arsitektur markas militer itu, dan dengan salam “monggo pak”, saya memacu kendaraan kembali ke keriuhan jalanan.

Pengalaman itu membawa saya kepada memori sekian puluh tahun lalu, ketika saya SD dan menonton sebuah siaran di televisi swasta tentang dakwah Islam. Seorang kepala suku muslim di Pegunungan Wamena bercerita sejarah beliau memperoleh hidayah dan masuk Islam. Paska perang melawan OPM yang ditunggangi asing, sang kepala suku berkenalan dengan resimen tempur dari Jawa yang ketika itu tengah shalat di tengah perjalanan. Orang Papua bisa berbahasa melayu dengan baik, jadi tidak ada kendala dalam berbahasa dengan Orang-orang Jawa itu. Sang kepala suku bertanya, apa yang mereka lakukan? Di jawab, ini Islam. Kemudian, kunjungan rutin ke markas militer, belajar membaca Alquran dan mulai menutup aurat merubah sang kepala suku menjadi kepala suku muslim, dan beliau di khitan. Kepala suku muslim ini berhasil memenangkan perang juga dengan suku lain yang ditunggangi OPM pada waktu itu. Jalan hidayah beliau datang dari bapak-bapak baret merah yang menenteng senapan serbu.

Pengalaman saya hari itu membawa wawasan baru kepada kalangan militer yang notabene seringkali “dihindari” untuk bergesekan dengan mereka, terutama saya sebagai orang sipil, mahasiswa, dan bertempat tinggal di masjid. Saya menyadari, memang ada beberapa catatan sejarah kelam yang melibatkan kalangan militer, seperti DOM Aceh (Daerah Operasi Militer), insiden Priok, dan Insiden Reformasi 1998 yang membawa kesan angker kepada kalangan militer. Akan tetapi, aksi-aksi heroik militer, yang sayangnya tidak terdokumentasikan di media, menjadi cerita tentang “sisi lain militer” yang luar biasa, dan mampu membuat kita berkaca.

Cerita masuk Islamnya kepala suku di wamena menjadi salah satu cerita kemuliaan militer, beberapa cerita lain saya dapatkan di buku yang menceritakan keheroikan Kopassus, yang ternyata dalam DIKLAT nya selalu beristirahat ketika adzan sudah berkumandang. Cerita tentang korps baret ungu Marinir yang mengawal mahasiswa dari kekejaman aparat lain menjadi cerita lain harmonisan hubungan mahasiswa dengan militer. Kejadian Banjir Jakarta yang membuat militer turut serta menjadi evakuator, menggunakan kapal-kapal karet menyisir korban, begitu juga dengan insiden Lumpur Lapindo yang melibatkan evakuasi dari militer di wilayah sana menjadi cerita lain yang menginspirasi. Yang terbaru, aksi militer mengamankan warga muslim dalam Konflik Tolikara, aksi heroik militer dalam memadamkan api di wilayah Sumatera dan Kalimantan, dan aksi penyelamatan korban hilang di Gunung Lawu yang terjebak kebakaran juga menjadi cerita lain. TNI Kuat Bersama Rakyat, slogan yang bukan isapan jempol saya kira.

Sikap objektif bisa menyelamatkan kita dari kejatuhan dalam melakukan justifikasi sekelompok orang, orang yang objektif perlu melihat dari berbagai sudut pandang agar mengahasilkan kesimpulan yang kaya dan tidak berat sebelah. Begitu juga dalam memandang entitas militer negara ini, entitas yang bertanggung jawab menjaga teritori dan kemuliaan bangsa dengan segala kekurangan ataupun kelebihannya. Cukup kejam jika kita mengenal militer dari kasus-kasus yang selama ini senantiasa terngiang seperti DOM, konflik Timor-timor, Priok, dan lain-lain, sedangkan banyak catatan gemilang yang telah ditorehkan oleh pihak militer, dalam berbagai situasi. Maka, sederhana saja sikap kita, terutama jika kita mencintai NKRI. Bantu tentara sebisa mungkin, doakan agar panglima mereka senantiasa dipimpin oleh orang muslim, doakan agar kematian mereka dalam bertugas dihitung syahid, dan doakan, kita tidak perlu bertempur dengan mereka, kecuali jika pemimpin yang dhalim telah berdiri tegak di NKRI, dan perlu untuk digulingkan demi kebaikan bangsa ini. Islam dan NKRI kita, harga mati, insya Allah. Wallahu ‘alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

mahasiswa strata satu di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lihat Juga

Kiat Menghafal Quran

Figure
Organization