dakwatuna.com – Dalam teori psikologi Barat, kita mengenal adanya konsep diri. Menurut Rogers (Feist & Feist, 2011:9), manusia mulai mengembangkan konsep diri yang samar saat sebagian pengalaman mereka telah dipersonalisasikan dan dibedakan dalam kesadaran pengalaman sebagai “aku” (I) atau “diriku” (me). Kemudian mereka secara bertahap menjadi sadar akan identitas mereka sesungguhnya. Mereka melakukan aktivitas yang menurutnya baik, buruk, menyenangkan, tidak menyenangkan, dan melakukan evaluasi atasnya. Pada fase telah menemukan struktur diri yang mendasar, lantas mereka memiliki kecenderungan untuk mulai mengaktulisasikan diri.
Ya, secara sederhana konsep diri adalah cara bagaimana kita mengenali potensi yang ada dalam diri kita untuk ditransformasi menjadi potensial dalam mencapai cita-cita. Di kalangan para sufi, “Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, pasti akan mengenal Tuhan-Nya”. Automatically, mengenal diri sendiri merupakan jalan strategis untuk mengenal Allah SWT. Sebutan muslim bagi umat Islam telah Allah sebutkan jauh-jauh sebelumnya, karenanya dalam proses pembentukan konsep diri seorang muslim perlu kita kaji ulang. Pun dalam hal menanggapi teori konsep diri yang mayoritas datang dari Barat, termasuk teori Rogers di atas, selayaknya kita ucapkan “tunggu dulu”.
Ada beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam konsep diri, yaitu “Apa tujuan hidup?” Dalam helicopter view teori psikologi, biasanya mereka menanamkan konsep diri dimulai dari pernyataan “Kita Ingin Menjadi Apa?”. Tapi coba tengok sejenak tujuan hidup dalam tubuh Islam. Ada pertanyaan mendasar yang perlu dilakukan kontemplasi cukup panjang menganggapi hal ini, “Siapa sebenarnya yang berhak menentukan tujuan hidup kita? Kita? Atau?” Jawabannya adalah semenjak kita memilih jadi Muslim, sebenarnya sejak saat itu pula kita sudah kehilangan pilihan-pilihan lain karena konsekuensi dari Muslim adalah kita menyerahkan segala sesuatu untuk diatur sesuai kehendak Allah.
Namun, dalam menafrsirkan peta pemikiran di atas, perlu hati-hati. Bukanlah golongan Qodariyah yang sejatinya segala sesuatu bermuara pada Allah, dan manusia tidak memiliki andil dalam proses menjalani kehidupan. Tidak. Manusia tetap berperan penting. Manusia-lah yang kemudian akan “menikahkan” takdir Allah dengan ikhtiar dan doa yang mereka lakukan untuk mewujudkan kehendaknya. Proses semacam itulah yang kemudian disebut pengembangan potensi diri.
Kembali lagi, secara sederhana ada tiga keyword dalam pembahasan ini, yaitu cita-cita (tujuan hidup), pengembangan diri, dan konsep diri. Secara struktural bisa kita berikan level dari atas ke bawah. Di mana goal merupakan tingkatan tertinggi dalam hidup manusia. Akhirat. Mereka; muslim yang menyadari akan eksistensi kehidupan setelah kehidupan pasti beriorientasi penuh ke sana, atau setidaknya aktivitas selama di dunia dilakukan semata-mata mencari nilai akhirat. Adapun pengembangan diri adalah fase transisi, proses transformasi dari kesadaran konsep diri untuk kemudian dilakukan perbaikan dan perbaikan dalam mewujudkan goal. Konsep diri? Kembali ke atas. Hehe.
Begitulah. Teori psikologi Barat tidak sepenuhnya salah. Pun konsep yang diajarkan Islam. Keduanya lagi-lagi bisa “dinikahkan” secara bijak. Hanya saja kita memang dituntut untuk jeli, flexible but principle. Dalam tulisan ini, secara terang penulis akan jauh lebih menyoroti tentang apa konsep diri, untuk kemudian dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan cita-cita hidup sebagai seorang muslimah.
Muslimah 3 Dimensi. Istilah ini memang baru saja terdengar akhir-akhir ini. Bahkan mungkin di antara teman-teman belum pernah mendengarnya. Sah saja. Istilah ini keluar saat ada kajian kemuslimahan dengan mengusung tema “Ibunda Peradaban, Ibunda Para Ulama” satu tahun silam di sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta. Secara spesifik, tidak ada orang yang mengetahui kecuali orang-orang yang hadir dalam forum tersebut. Meski demikian, mereka mencoba untuk membumikannya.
Dalam kacamata penulis, mengetahui dan menyadari akan konsep diri sebagai seorang muslimah ini penting untuk kemudian ia bisa mengembangkan potensi diri.
Dimensi pertama, sholihat pribadi. Artinya, seorang muslimah harus berusaha menjadikan dirinya memiliki nilai atas dirinya sendiri. Sholihat pribadi ini berkorelasi positif dengan hubungannya secara vertikal. Bentuk pengejawantahannya adalah dengan aksi-aksi perbaikan berupa amal sholih yang mampu dia lakukan, seperti shalat malam, shalat dhuha, shaum sunnah, tilawah, dan aktivitas lainnya.
Dimensi kedua, sholihat keluarga. Dalam hal ini, muslimah tidak lagi mengembangkan diri atas dirinya, melainkan memasuki lingkup yang lebih luas. Keluarga di dalamnya bisa ayah dan ibu, maupun suami dan anak, atau bahkan sesuatu yang lebih kompleks. Pada level ini, dia harus menyadari akan diri sebagai sesorang individu yang menjadi bagian ternteu dalam sebuah unit kecil dalam lapisan masyarakat. Keluarga menjadi tempatnya untuk berekspresi menebarkan benih-benih kebaikan yang menyegarkan anggota keluarganya. Bentuk ekpresi tersebut bisa dengan rajin membersihkan rumah, rajin memasak bagi anggota keluarga, mencuci pakaian, maupun aksi kebaikan lainnya yang bisa diterapkan dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan interaksi dengan mereka.
Dimensi ketiga, sholihat sosial. Pada fase ini lah kemudian seorang muslimah dituntut untuk tidak hanya diam di rumah membenahi diri dan keluarga. Melainkan, mereka harus mampu mengembangkan dan mengoptimalisasi diri di kancah yang lebih luas. Mereka bersinggungan langsung dengan masyarakat. Membangun basis dan mengedarkan wacana di tengah masyarakat, menerjemahkan permasalahan yang terjadi di dalamnya, dan ambil bagian secara konkret dalam merumuskan solusinya (Albatch dalam Husin, 2014: 19). Tidak jauh berbeda dengan peran mahasiswa pada umumnya memang. Begitulah sejatinya seorang muslimah harus peka, militan, dan sigap menghadapi realita zaman.
Dalam konsep diri semacam ini lah, kemudian muslimah harus mampu mentransformasi diri dengan kemampuan yang dimiliki untuk dikembangkan dengan asas integritas dan perbaikan. Jika merujuk lagi dalam teori Rogers, aktivitas nyata lapisan tiga dimensi ini lah yang kemudian seyogyanya menjadi perangkat aktualisasi diri muslimah. Proses-proses pengembangan diri diri ini diinternalisasi dan diejawantahkan dalam bentuk aksi.
Muslimah memamahi akan adanya tiga dimensi yang harus dipenuhi setiap entitas di dalamnya. Pun demikian kongruen, dimensi pertama dan kedua harus sudah clear, lantas memasuki dimensi ketiga. Hanya saja, tetap. Idealisme tertinggi adalah tercapainya secara utuh lapisan setiap dimensi. Peran dan aksi nyata harus terwujud agar tidak terjadinya kekeroposan dalam tubuh seorang muslimah. Maka adalah wajib hukumnya, setiap kita mulai dari saat ini, untuk menyadari akan kebutuhan diri dan zaman. Menurut penulis, konsep tersebut mengajarkan, menyadarkan, dan memberikan solusi konkret dan utuh dalam perjuangan perbaikan Negeri ini. Tidak main-main. Bukankah perempuan itu tonggak peradaban?
—
Referensi:
- Feist, Jess., Gregory J. Feist. 2011. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
- Husin, Luthfi Hamzah. 2014. Gerakan Mahasiswa sebagai Kelompok Penekan. Yogyakarta: PolGov Research Centre for Politics and Government, Fisipol UGM.
- Shofiyani, Siti Qulsyum. 2014. Catatan Kajian Umum. Yogyakarta: Pesantren Mahasiswi Darush Sholihat. (Pemateri: Ustadz Riyadush Sholihin, Markaz Quran Jakarta)
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: