Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ketika Keteladanan Telah Sirna

Ketika Keteladanan Telah Sirna

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sigaretastop.ru)
Ilustrasi. (sigaretastop.ru)

dakwatuna.com – Sejatinya setiap diri mempunyai panutan agar dia tahu kemana arah hendak dituju. Bagaimana seharusnya sikap hendak berlaku, agar selamat dan tak terlanggar rambu-rambu. Kita ambil contoh ketika perintah shalat diterima, di dalam Alquran hanya diperintahkan untuk mendirikan shalat, “Aqimisshala” sementara bagaimana cara pelaksanaannya belum dijelaskan. Di situlah kita butuh keteladanan untuk menjadi ikutan bagaimana seharusnya yang akan kita kerjakan. Rasululluah menyampaikan dalam sunnahnya bahwa “Shallu kama raaytumuni ushalli”. Shalatlah kamu sebagaimana melihatku shalat.

Jadi cara kita shalat sesuai dengan cara rasululluah shalat dahulu. Para sahabat terdahulu mencontohkan kepada kita bahwa setiap tindak tanduk mereka bukan tanpa landasan. Ada Rasul Muhammad SAW yang senantiasa dijadikan teladan dalam hidup mereka. Generasi tabi’ pun menjadi teladan bagi generasi tabi’ tabiin, begitulah semuanya terus berlanjut hingga sekarang masih bisa sampai di generasi kita. Setiap orang punya figur-figur pilihan dalam hatinya. Ada idola yang membuat mereka termotivasi untuk menjadi seperti idolanya, baik dari segi dandanan, sikap bahkan gaya hidup sekalipun.

Lalu bagaimanakah sekiranya jika keteladanan itu telah sirna? Kemana penglihatan akan diarahkan, kemanakah langkah akan dijejalkan. Meskipun tak seharusnya hidup selalu figuritas, karena jikalau ditemukan kesalahan pada figur panutan maka hanya akan menuai kekecewaan. Lalu hidup hilang arah dan tujuan, tapi fitrahnya manusia yang sarat dengan petunjuk yang harus diikuti. Mereka akan terus mencari siapa kira-kira sosok yang pas dihati untuk diikuti.

Orang-orang terdekat dalam hidup seseorang menjadi figur paling penting sebagai contoh nyata untuk bertindak dalam hidupnya. Sudah pasti keluarga menjadi teladan utama dalam pembentukan kepribadian seseorang. Lingkungan dan pergaulan ikut jadi andil sebagai pelengkap kehidupan. Jangan heran jika di rumah anak tidak mau disuruh shalat, meski diancam sekalipun karena dia tak pernah melihat orang tuanya melaksanakan shalat. Karena orang tua adalah teladan terdekat bagi anak. Jika kita inginkan anak yang benar maka kita juga harus jadi orang tua yang benar. Carikan mereka nafkah dengan jalan yang benar juga.

Di sekolah anak punya peran sebagai siswa, dia bakal bergabung dengan siswa lainnya yang berasal dari keluarga dengan status sosial yang berbeda-beda. Dia akan berusaha beradaptasi agar terus diterima oleh temannya. Maka siapakah teladan dalam keseharian siswa di sekolah? Ya tentu saja warga sekolah pada umumnya tapi gurulah yang paling penting. Lalu guru? Akan mengambil teladan lagi dari sesama rekan kerja dan juga kepala sekolah sebagai atasan di sekolahnya.

Tak perlu tercengang melihat siswa yang tidak peduli dengan lingkungan jika gurunya saja masa bodo dengan semuanya. Apalagi jika mengaharapkan siswa bakal berubah menjadi lebih baik jika kita sebagai guru yang menjadi teladan mereka pun tak peduli untuk memberikan contoh yang baik. Sudah menjadi pepatah umum bahwa “jika guru kencing berdiri maka siswa akan kencing berlari”.

Begitupun jika kepala sekolah inginkan guru mengajar dengan kinerja yang profesional maka harus juga dimulai dari diri sendiri. Tak mungkin guru bakal disiplin jika kepala sekolah juga tak disiplin. Begitulah tak bisa dipungkiri bahwa sangat besar partisipasi figur yang dijadikan teladan dalam hidup seseorang. Lalu bagaimanalah jika tiada lagi sosok yang dapat dijadikan sebagai teladan dalam kehidupan? Mungkinkah setiap pribadi akan berusaha menjadi teladan untuk dirinya sendiri atau pun orang lain? Setiap kita tentulah punya jawabannya sendiri.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Antara Islam, Muslim dan Perilaku Islami

Figure
Organization